Opini

Korupsi Akan Tetap Eksis dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nia Umma Zhafran

wacana-edukasi.com, OPINI– Pembahasan korupsi nampaknya tetap eksis di negeri ini, bak gosip artis. Selalu ada potensi lahan basah dalam korupsi. Tak hanya pada tingkat pusat, malah sampai menjalar pada perangkat desa. Dilansir dari analisnews.co.id (21/02), Kasi Intel Kejaksaan Negeri kabupaten Bandung, Mumuh Ardiansyah menyatakan adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Bumiwangi Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Tersangka Kades yang berinisial RT diduga telah melakukan tindak pidana korupsi Dana Desa tahun Anggaran 2022 serta ADPD Tahun Anggaran 2022 Dengan kerugian Negara mencapai Rp 884.506.518. Mumuh mengatakan, pihak penuntut umum telah meneliti limpahan berkas dari penyidik Polres Bandung dan berkas pemeriksaannya telah dinyatakan lengkap. Tersangka akan dikenakan pasal tentang tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana maka tersangka akan di ditahan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandung dengan nomor PRINT-01/M.2.19/Ft.1/02/2024 selama 20 hari ke depan.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2022, kasus korupsi di sektor desa merupakan kasus terbanyak yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Terdapat 133 kasus berkaitan dana desa dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa, dari 155 kasus korupsi desa pada 2022. Korupsi dana desa tersebut menyebabkan kerugian sebesar Rp 381 milliar. Bila dilihat dari pelaku, kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus korupsi, sedangkan posisi pertama dan kedua ditempati oleh pegawai pemerintahan daerah dan swasta. (Katadata, 8-4-2023).

Persoalan korupsi di negeri ini terus menggurita. Peran penting kepala desa dalam menyelenggarakan tata kelola wilayah yang dipimpinnya menjadi lahan basah tindak pidana korupsi. Upaya kucuran dana dari pemerintah dalam membangun desa tentunya tidak pernah main-main. Namun setelah ditelaah, besarnya Dana Desa selama ini belum dikelola dengan baik. Dana yang seharusnya dipergunakan untuk memajukan dan membangun desa, malah diselewengkan. Seringnya alokasi dana meningkat tapi minim pemangfaatannya.

Selama sistem demokrasi kapitalisme tetap berlaku, karut marutnya dana desa akan terus berpolemik. Karena sistem ini membuka banyak celah korupsi. Coba bayangkan saja, UU atau peraturan bisa direvisi sesuai kepentingan, minimnya pengawasan, serta belum ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi. Alhasil, korupsi tidak hanya terjadi pada tingkat pusat tapi juga pada tingkat desa. Sistem demokrasi jugalah yang membuka angka korupsi makin marak. Mengapa demikian?

Pertama, pelaksanaan pemilihan kepada desa seperti halnya dengan pilkada yang rentan dengan politik uang. Seseorang dalam pemilihan model demokrasi, jamak kita ketahui tidak melihat kapasitas dan kapabilitas individunya, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat dan citra yang dimunculkan sepanjang kompetisi dan kampanye. Dari sinilah celah praktik politik uang terbuka, yakni “membeli” suara masyarakat dengan pemberian sembako ataupun uang.

Kedua, gaji yang menggiurkan tentunya menjadi persaingan sengit antar tokoh desa. Hal ini menjadikan politik pencitraan di tingkat desa hingga menjadi kebiasaan bawaan dalam pemilu demokrasi. Ketiga, pendidikan yang berbeda memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran tentnya akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu. Sehingga dana desa berpotensi tidak tepat sasaran akan terjadi. Serta penyalahgunaan dana desa juga riskan terjadi.

Model pemilihan Kepala desa dengan mengacu sistem demokrasi, tentu memerlukan dana kampanye yng tidak sedikit. Maka cara paling mudah juga cepat untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa tuntas.

Dalam pemerintahan Islam (Khilafah), setiap penguasa yang berafa di bawah Khalifah akan dipilih langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi . Selain menunjang efisiensi dan efektivitas waktu, hal tersebut mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi.

Terkait permasalahan korupsi, islam memiliki tata cara dalam memberantas korupsi dengan tuntas. Yang pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan yakni dengan ketakwaan pada setiap individu. Dimana loyalitas kepemimpinan harus bersandar kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan golongan, kelompok atau kerabat/keluarga. Amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kamaslahatan rakyat. Hal ini karena amanah yang diberikan akan ada pertanggung jawaban kelak.

Kedua, menjalankan Badan Pengawas Keuangan secara optimal sebagai mana fungsinya. Karena salah satu faktor terjadinya korupsi adalah minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem Islam , terdapat Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Setiap aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam sehingga tidak ada celah untuk membuat, merancang, atau jual beli hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan baku.

Ketiga, melaksanakan sanksi dari sistem Islam yang mampu memberikan efek jera serta pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi. Hukuman yang diberikan merupakan wewenang Khalifah, yakni takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Sanksi bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.

Dengan penerapan Islam secara kaafah, korupsi bisa terselesaikan tanpa banyak drama dan episode yang berlarut-larut. Untuk membabat permasalahan korupsi, haruslah dengan mencabut akar masalahnya, yakni dengan mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematik kehidupan yang kian pelik. Kemelut korupsi ini hanya bagian secuil potret dari rusaknya sistem hidup yang jauh dari tuntunan syariat Islam. Tanpa syariat, kekuasaan menjadi ajang mengeruk manfaat. Kezaliman dan kerusakan merajalela hingga kehidupan masyarakat dipenuhi dengan berbagai kesempitan. Sungguh benar firman Allah Ta’ala,

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha: 124)

WalLaahu’alam bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here