Oleh Meitya Rahma
wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus korupsi di negri kita ini seolah-lah tak ada habisnya. Dari korupsi tingkat bawah sampai atas, suap menyuap sudah biasa. Seperti baru- baru ini kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara. Dari kadus ini semakin mempertegas bahwa masih terbukanya “celah kongkalikong” antara pengusaha dan pejabat. Dalam perkembangan penyidikan pada Rabu (9/8), Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, sebagai tersangka.
Ridwan disebut membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsensi milik PT Antam Tbk. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp5,7 triliun. ambang nikel ilegal itu berada di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.(CNN Indonesia, 11/8/23)
Pantaslah jika orang menyebut “korupsi berjamaah” karena satu kasus bisa menjerat banyak oknum. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara ini menunjukkan masih adanya ” kongkalikong” yang sudah lama terjadi, tapi tidak pernah ada penegakan hukum yang tegas. Seharusnya ini menjadi pintu masuk untuk mengusut praktik korupsi yang serupa. Lemahnya penegakan hukum, ditambah “bekingan aparat” dan pejabat” salah satu pemicu utama menjamurnya tambang-tambang ilegal. Kementerian ESDM pernah merilis data bahwa terdapat lebih dari 2.700 titik penambangan ilegal di seluruh Indonesia. Walaupun sudah terdeteksi tidak bisa ditindak.
Permasalahan tambang nikel ini bukan saja terkait kasus korupsi, namun juga maslah lingkungan. menunjukkan bahwa kehadiran tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo telah berdampak terhadap ruang hidup warga. Laut di sekitar wilayah tambang telah tercemar akibatnya hasil laut menjadi minim. Selain itu, sumber air bersih warga tetcemar bahkan ada yang parah sampai kehilangan sumber mata air.
Deforestasi pun terjadi akibat ekspansi pertambangan nikel di kawasan hutan secara ilegal. Analisis dari Auriga Nusantara menemukan bahwa pertambangan nikel menyebabkan hilangnya 24.811 hektare hutan dalam 20 tahun terakhir. Aktivitas tambang di Blok Mandiodo sudah sering diprotes oleh warga, tapi tidak pernah direspons baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum (BBC News,11/8/23). Dengan adanya dampak lingkungan yang muncul, seharusnya penerapan pidana bagi para pejabat dan pengusaha yang terlibat juga memperhitungkan kerugian-kerugian yang dialami oleh masyarakat. Jadi tidak hanya memperhitungkan kerugian negara yang hilang.
Satu kasus bisa menyeret banyak oknum. Inilah korupsi berjamaah ala negri kita. Berjamaah dalam korupsi telah menjadi tradisi pejabat, pengusaha. Mereka bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan tanpa mempedulikan lagi hasil dari tambang yang semestinya menjadi pemasukan negara. Bukan hanya untuk pemasukan negara saja tapi juga tambang ini merusak lingkungan sekitar. Dampak lingkungan akibat eksplorasi tambang yang terus dilakukan ini menjadikan lingkungan sekitar tercemar. . Inilah keserakahan manusia yang bernama para kapital. Mendapatkan keuntungan yang besar, merugikan negara. Para kapital dengan wujud pengusaha ini bekerjasama dengan pejabat negara untuk mencari untung sendiril. Sehingga negara mengalami kerugian. Hukuman, sanksi pun tak mempan bagi mereka. Seolah-olah memang sudah tersistim, saling melindungi karena memiliki kepentingan.
Sebenarnya dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 telah jelas disebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hasil sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun pada faktanya sumberdaya alam dikuasai swasta untuk kepentingan kapital. Aturan tinggalah aturan yang tertulis saja. Dalam pelaksanaannya jauh sekali. Diperparah para pejabat, pengusaha yang tidak memiliki akidah dan keimanan yang kuat.
Islam pun, memiliki aturan bahwa sumberdaya alam dalam Islam hanya negara yang menguasai dan digunakan untuk kemaslahatan umat/rakyat. Dalam sebuah hadist Rasulullah bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Artinya bahwa sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh segelintir orang, perusahaan swasta seperti di Indonesia saat ini. Semua dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Bisa dibayangkan jika dikelola oleh negara saja dengan tidak memperbolehkan para kapital mengelola, maka kondisi Indonesia tak akan seperti saat ini, menanggung utang dan kemiskinan. Namun apalah daya, inilah sistem yang semuanya hanya berhitung untung rugi kepada rakyat. Sistem yang bobrok ini berasas pada aspek manfaat semata. Yang mana seluruh kegiatan dalam meriayah rakyat harus memberikan keuntungan bagi mereka pemegang kekuasaan. Mereka tidak memperdulikan lagi, apakah itu harta milik umum ataukah tidak. Maka sudah saatnya negri ini berbenah dalam tata kelola tambang agar dapat memberikan kemakmuran bagi negri, bukan untuk para kapital.
Views: 7
Comment here