Oleh : Mega Lestari
Aktivis Muslimah Peduli Generasi
wacana-edukasi.com, OPINI– Lagi-lagi korupsi, seakan korupsi kini telah menjadi tradisi di sistem demokrasi. Dilansir dari media Republika, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT. Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT. Waskita Karya Tbk. (WSKT) dan PT. Waskita Beton Precast Tbk. (WSBP).
Tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pun melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi dirut WSKT selama dua periode setelah ditunjuk pada medio Februari 2023.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, DES ditetapkan tersangka pada Kamis (27/4/2023). Namun, yang bersangkutan baru dapat dilakukan penahanan pada Jumat (28/4/2023).
Adapun mengenai PT. Waskita Karya, perlu kita ketahui bahwa perusahaan tersebut merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang bergerak di bidang kontruksi. Kegiatan usaha PT. Waskita Karya memiliki cakupan yang luas diantaranya pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, pabrik, jembatan, bendungan, perumahan dan fasilitas industri lainnya. Perusahaan ternama ini telah berdiri selama lebih dari 60 tahun dan telah melakukan banyak proyek infrastruktur besar, hampir seluruh jalan tol di Indonesia dan beberapa bandara yang ada merupakan realisasi dari proyeknya.
PT Waskita Karya juga telah mengembangkan usahanya yang hingga saat ini memiliki 4 anak usaha yaitu terdiri dari PT. Waskita Karya Infrastruktur, PT. Waskita Karya realty dan PT. Waskita Toll Road, dan PT. Waskita Beton Precast Tbk. yang menjadi sumber dana pengisi saku si tikus berdasi baru-baru ini.
Berbicara mengenai korupsi memang seakan tiada habisnya. Kasus-kasus korupsi terus muncul menyeruak ke publik seiring berjalannya waktu, padahal kasus-kasus korupsi di masa lampau pun belum juga menemui titik terang.
Siapapun pasti masih mengingat beberapa kasus korupsi fenomenal seperti pada kasus korupsi E-KTP. Kasus korupsi satu ini masuk ke dalam daftar 10 kasus korupsi terbesar di Indonesia versi harian Kompas. Kasus korupsi KTP elekronik ini begitu menarik perhatian publik, pasalnya bukan hanya karena nilainya yang cukup fantastis, namun korupsi ini juga dilakukan tidak hanya oleh satu orang saja, melainkan ternyata dilakukan secara berkomplotan. Dilansir harian detiknews pada akhir tahun 2018 lampau, KPK menyebut pengembalian aset atau asset recovery dari perkara korupsi proyek e-KTP belum maksimal. Kerugian keuangan negara akibat korupsi itu sebelumnya disebut mencapai Rp 2,3 triliun.
Dalam pusaran perkara ini, KPK sudah memproses hukum 8 orang dengan rincian sebagai berikut : 1) Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman; 2) Mantan pejabat Kemendagri Sugiharto; 3) Mantan Ketua DPR Setya Novanto; 4) Andi Agustinus alias Andi Narogong; 5) Eks Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo; 6) Keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo; 7) Pengusaha Made Oka Masagung; 8) Anggota DPR Markus Nari.
Melirik kasus korupsi fenomenal lainnya, salah satunya kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19. Seperti yang kita tahu bahwa Covid-19 merupakan pandemi global yang melanda seluruh negara di dunia termasuk tanah air Indonesia sejak bulan April 2020 lalu, hingga resmi dinyatakan berakhir pada awal Mei 2023 ini. Pandemi yang terjadi begitu cepat berdampak pada segala aspek kehidupan masyarakat mulai dari sosial, pendidikan, bahkan perekonomian.
Bahkan saat pandemi memuncak, perekonomian masyarakat pun kian merosot.
Meningkatnya kasus corona virus di Indonesia membuat pemerintah harus mengambil kebijakan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seluruh daerah. Sehingga sebagian pekerja harus bekerja dari rumah, sebagian besar lainnya justru kehilangan mata pencaharian mereka karena PHK, sedangkan para pengangguran masih menjadi permasalahan utama saat itu.
Pemerintah pun segera membuat kebijakan mencoba untuk meringankan beban masyarakat dengan mengadakan pemberian bantuan sosial salah satunya berupa sembako. Namun, siapa sangka sungguh tega saat-saat genting seperti itu dana untuk bantuan sosial Covid-19 justru dimanfaatkan segelintir orang, masuk ke dalam saku pribadi untuk keuntungan mereka pribadi. Masyarakat dan negara telah dirugikan sekitar 5,9 triliun rupiah karena korupsi dana bantuan sosial tersebut. Dalam kasus ini nama Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial dan dibantu oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyodo dalam menjalankan aksinya.
Sudah bukan lagi rahasia publik bahwa korupsi di Indonesia adalah suatu “penyakit kronis” yang akan sulit ditumpas tuntas. Bukannya berkurang, korupsi di negeri ini justru malah semakin menjamur dimana-mana, terutama dalam tatanan negara.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu sebanyak 533 kasus. Dari berbagai kasus tersebut, ada 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri.
Bahkan menurut laporan Transparency International, Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34 dari skala 0-100 pada 2022. Skor ini menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Transparency International melakukan survei indeks korupsi di 180 negara. Skor 0 menunjukkan negara yang sangat korup, dan skor 100 artinya sangat bersih dari korupsi. Menurut laporan tersebut, rata-rata IPK global pada 2022 sebesar 43. Dengan demikian, indeks korupsi Indonesia lebih buruk dari rata-rata dunia.
Negara memang telah berusaha mengambil tindakan hukum bagi para koruptor, namun sayangnya mengapa kasus korupsi ini masih saja menjamur semakin menjadi? Ketegasan hukum negeri ini perlu dipertanyakan. Negara merugi hingga triliunan namun para koruptor tidak tegas ditindak. Proses hukum yang lambat bahkan begitu mudah disuap menjadikan para koruptor masih bebas berkeliaran.
Banyak yang masih mengingat kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Gayus Tambunan. Namanya menjadi sorotan karena nilai rekeningnya yang fantastis, yakni mencapai Rp 28 miliar. Padahal pangkatnya saat itu masih golongan IIIA. Dengan status itu, gaji yang dia terima dari Kementerian Keuangan seharusnya hanya sekitar Rp 12,1 juta setiap bulan atau Rp 145,2 juta setahun.
Ternyata, Gayus bisa mendapat insentif hingga Rp 100 miliar atau, jika dihitung dengan gajinya terakhir sebagai pegawai negeri sipil, setara dengan gajinya selama 688,7 tahun. Kasus yang menjerat Gayus membuatnya menjadi sosok yang melejit pada 2010-2011.
Pengungkapan kasusnya membuat banyak pihak menyadari ada persekongkolan jahat antara petugas pajak yang seharusnya mempunyai integritas dengan para pejabat dan perusahaan swasta korup.
Namun yang paling menarik adalah saat harusnya ia menjalani hukuman sebagai narapidana terkait kasus korupsi tersebut, ia justru terekam oleh beberapa media tengah berkeliaran. Dilansir dari media KOMPAS, berita tentang terpidana kasus mafia pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan yang menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali membuat masyarakat Indonesia tersentak. Padahal saat itu seharusnya Gayus mendekam di Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, untuk menunggu proses hukum terkait perkara itu.
Sempat juga beredar foto dan video orang mirip Gayus dengan menggunakan rambut palsu sedang menonton pertandingan itu. Gayus kemudian mengakui dia memang pergi ke Bali. Sebelumnya, Gayus sempat pergi ke Singapura sebelum ditahan. “Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada ibu majelis, ketua, dan anggota karena keluar dari tahanan. Saya tidak berbuat macam-macam. Saya kangen keluarga. Saya cuma mau refreshing. Saya stres,” kata Gayus seperti diberitakan Kompas, 15 November 2010.
Sungguh miris hidup dalam cengkraman sistem kapitalis yang secara tidak langsung menumbuhkan sistem korup dalam tatanan negara. Korupsi kronis akan terus bertambah parah seiring berjalannya waktu jika masih mempertahankan sistem kapitalis demokrasi dengan ketidaktegasan hukumnya. Lantas bagaimana Islam menyikapinya?
Jelas dalam Islam, tindak korupsi merupakan dosa besar karena telah berlaku dzalim dengan mengambil harta orang lain secara bathil. Allah SWT berfirman;
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188).
Mengutip tulisan dalam buku Al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi yang berjudul “76 Dosa Besar Yang Dianggap Biasa”, bahwa termasuk dalam dosa besar ini adalah para pemungut liar (pungli bea cukai), perampok jalanan, pencuri, pengangguran (yang meminta-minta dari orang lain), pengkhianat, dan penipu, orang yang meminjam sesuatu lalu mengingkarinya, mencurangi timbangan dan takaran, pemungut sesuatu (lalu mengambilnya) dan tidak mempublikasikannya, orang yang menjual sesuatu dengan menyembunyikan cacatnya.
Maka korupsi jelas merupakan tindakan pencurian dan termasuk dosa besar. Dalam syari’at Islam, tindak korupsi merupakan “Ghulul” yaitu penghianatan atas amanah yang seharusnya dijaga (amanah umat).
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa diantara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan) lalu mereka menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dibawa pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Mengutip pembahasan sebuah video dari kanal youtube “Muslimah Media Center”, menurut Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat, sanksi terhadap koruptor yaitu ta’zir yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Hakim. Bentuk sanksinya dari yang paling ringan sampai yang berat. Berupa teguran atau nasehat dari hakim, hukuman penjara, dikenai denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan publik, hukuman cambuk, hingga yang paling tegas ialah hukuman mati. Berat atau ringannya hukuman ta’zir adalah sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Sistem Islam telah mengatur langkah pencegahan/preventif serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Pertama aparatur negara diberikan tunjangan yang memadai sehingga cukup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak melakukan tindak korupsi.
Kedua, sistem kepala daerah/negara tidak memerlukan dana yang besar, karena kepala daerah dalam Islam dipilih langsung oleh khalifah dengan syarat memiliki keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT yang tercermin dalam akhlak mulia, Amanah, jujur, tawadhu, rendah hati, qona’ah, sehingga mampu membentengi diri untuk tidak melakukan tindak korupsi, suap, dan kedzaliman lainnya.
Ketiga, sistem Islam mengadakan kebijakan perhitungan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Keempat, sistem Islam menetapkan hukuman yang sangat tegas bagi para pelaku korupsi sehingga memiliki efek jera sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain.
Maka sudah sangat jelas bahwa sistem kapitalis-demokrasi ini yang menjadi sumber menjamurnya korupsi. Hukuman yang tanpa ketegasan bagi para tikus berdasi berpotensi besar perilakunya berulang. Layakkah bertahan dengan sistem kapitalis-demokrasi yang membuat korupsi semakin menjadi? Ataukah kembali pada sistem Islam yang sumbernya jelas, masuk akal dan terbukti memiliki aturan yang adil dan tegas. Bahkan pernah ditegakkan dalam naungan institusi.
Wallahu’alam bishowab.
Views: 25
Comment here