Oleh: Humaida Aulia, S. Pd. I*
wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus korupsi seolah menjadi permasalahan yang tidak berujung. Tak hanya di kota-kota besar, Kota Bekasi sebagai kota satelit penyangga ibu kota pun tak luput dari masalah korupsi. Awal tahun 2024 ini buku korupsi sudah terisi. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi menetapkan empat tersangka kasus korupsi di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) tahun 2021. Empat tersangka terseret dugaan tindak pidana korupsi pengadaan ekskavator standar dan buldozer. Dana yang dikorupsi merupakan dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta. Satu dari empat tersangka merupakan mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Kota Bekasi Yayan Yuliana. Akibatnya negara merugi 5,1 M (megapolitan.kompas.com 6/01/2024).
Akibatnya, Anggota DPRD DKI Jakarta mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) menghentikan sementara pemberian dana hibah kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. “Wajib lakukan moratorium untuk pelaporan anggaran yang telah dikeluarkan. Dana pajak warga Jakarta harus dipertanggungjawabkan,” ujar Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Eneng Malianasari dalam keterangannya, Jumat (5/1/2024) (megapolitan.kompas.com 5/01/2024).
Tak hanya DLA, ada juga tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat di Pemkot Bekasi yang sedang ditangani Polres Metro Bekasi Kota. Ditambah banyak yang dilaporkan masyarakat ke Polres termasuk kasus dugaan korupsi peralatan olahraga senilai Rp. 5 miliar di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota BekasiBekasi (inijabar.com 5/01/2024).
Korupsi Melenggang, Menggurita
Banyaknya kasus korupsi yang ada di Bekasi sejatinya membuat kita bertanya, ada apa sebenarnya. Korupsi seolah menjadi budaya, dari jajaran rakyat kecil, hingga terbesarnya. Terbukti dengan banyaknya kasus korupsi di Bekasi dari mulai wali kotanya, kasus toilet mewah, kasus dinas LH, dan masih banyak lagi.
Inilah realitas sistem politik negeri ini yang seolah tidak pernah bisa dipisahkan dari praktik korupsi. Sebab jika ditelisik lebih dalam, akar persoalan korupsi di Indonesia bukan semata terletak pada individu pejabatnya yang tidak bermoral. Lebih dari itu, budaya korupsi lahir dari rahim sistem politik demokrasi.
Sistem politik demokrasi lahir dari pemikiran sekularisme, yaitu paham yang menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara. Sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri para politisi, pejabat, dan aparatur. Ibaratnya, ketua KPK nya saja sebagai benteng korupsi di negeri ini bobol, apalagi yang lain.
Sistem politik demokrasi juga berbiaya tinggi. Inilah yang menjadi celah suburnya korupsi. Ditambah tidak adanya efek jera bagi para koruptor yang sudah terjaring korupsi. Wajar sekali jika kekuasaan yang ditampuk justru disalahgunakan karena kendornya keran pengawasan itu, baik pengawasan ketakwaan maupun pengawasan pemerintah. Jadilah korupsi dengan santainya terus melenggang dan menggurita. Jika terus menerus dibiarkan, negeri ini akan berada di ujung tanduk, yang tinggal menunggu kehancurannya.
Islam Memberantas Korupsi
Kita sepakat bahwa korupsi adalah sistem. Korupsi memang melekat dalam sistem pemerintahan demokrasi. Oleh karena itu solusi atau masalah korupsi ini haruslah mumpuni, yaitu dengan mengganti sistem demokrasi dengan sistem pengganti sebagai alternatif solusi. Alternatif pengganti itu adalah sistem politik Islam. Setidaknya ada lima alasan sistem politik Islam mampu mewujudkan penguasa yang bersih.
Pertama, dasar politik Islam adalah akidah Islam, bukan sekularisme. Akidah Islam akan melahirkan ketakwaan individu yang mampu mengontrol dan menjadi pengawas pejabat dan para politisi. Inilah pencegahan pertama dalam tindak korupsi.
Kedua, sistem politiknya sederhana dan tidak berbiaya mahal sebab kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara dilakukan oleh khalifah. Kondisi ini akan mencegah para cukong politik untuk terlibat dalam kebijakan.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak tergantung dan tidak tersandera oleh parpol. Seseorang yang terpilih menjadi pejabat, maka dirinya telah terlepas dari parpol yang menaunginya.
Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah sehingga faktor absennya peran pemimpin bisa dengan mudah dihindari. Berbeda dengan sistem politik demokrasi yang membagi kekuasaan sehingga akan menimbulkan celah konflik kelembagaan.
Kelima, hukum sanksinya memberikan efek jera. Hukum sanksi bagi koruptor adalah takzir, artinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan kadi (hakim). Sebagai contoh pada masa Umar bin Abdul Aziz, sebagai khalifah ia menetapkan sanksi koruptor adalah cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama (Mushannaf Ibn Abi Syaibah).
Demikianlah, Islam menjadikan syariat sebagai satu-satunya hukum yang berlaku dalam bermasyarakat dan bernegara. Sudah saatnya umat berpindah kepada sistem yang lebih baik, yakni yang menerapkan syariat Islam kafah. Penerapan sistem Islam kafah akan mewujudkan pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan amanah. Dengan penerapan sistem Islam laffah dam bingkai khilafah ini masalah korupsi akan tertangani secara tuntas tanpa meninggalkan bekas.
Views: 26
Comment here