Opini

Korupsi Migor Terjadi Lagi, Bukti Berkuasanya Oligarki

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nunik Krisnawati

wacana-edukasi.com, OPINI– Minyak goreng merupakan bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat. Ketika barang ini langka masyarakat berebut untuk mendapatkannya.

Masih lekat dalam ingatan kita kisruh minyak goreng yang terjadi pada 2022 lalu. Dimana terjadi lonjakan harga hingga kelangkaan minyak goreng. Pada saat yang sama pemerintah pun memberlakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) bagi eksportir minyak sawit. Kebijakan tersebut mengharuskan setiap perusahaan yang berniat memperoleh Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah dan sejumlah turunannya, wajib menyisihkan sebagian untuk kebutuhan pasar dalam negeri. Harga minyak yang disisihkan untuk kebutuhan dalam negeri itu harus sesuai dengan aturan pemerintah atau DPO.

Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, kelangkaan minyak goreng belum berakhir. Hal ini kemudian mendorong kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia untuk menyelidiki kasus ini. Dari hasil penyelidikan kini telah ditetapkan tiga perusahaan sawit yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka dugaan pelanggaran dalam memperoleh izin ekspor pada saat pengiriman dibatasi. Ketiga perusahaan tersebut merupakan pemain besar dalam industri minyak goreng Indonesia, bahkan produksinya menguasai migor tanah air. Akibat dari kasus korupsi ini, negara dirugikan sebesar 6,47 Triliyun.

Terkait kasus ini, sebelumya telah ditetapkan 5 terdakwa perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana (Pejabat Eselon I Kemendag), Pierre Togar Sitanggang (General Manager di Bagian General Affair Musim Mas), Dr. Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), Stanley Ma (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group), dan Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (pihak swasta yang diperbantukan di Kemendag) (cnbcindonesia.com, 16/6/2023)

Banyak sudah kasus korupsi yang berhasil diungkap oleh Kejaksaan Agung, hukuman bagi pelakunya juga sudah diberikan. Namun mengapa kasus korupsi tak berhenti, malah justru semakin tinggi.

Jika ditelisik hukuman yang ditetapkan bagi para terpidana korupsi sampai saat ini belum mampu memberikan efek jera. Bahkan, hukuman bagi koruptor di KUHP lebih kecil dibanding hukuman di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Di dalam UU Tipikor pasal 2 tertera hukuman penjara bagi koruptor paling sedikit empat tahun penjara, sedangkan dalam Pasal 603 UU No 1 tahun 2022 KUHP dinyatakan bahwa penjara paling singkat bagi koruptor ialah 2 tahun. Selain itu, UU Tipikor mengatur denda bagi koruptor paling kecil Rp.200 juta, namun dalam KUHP denda yang dikenakan hanya Rp.10 juta. UU Tipikor juga mengatur hukuman mati bagi koruptor yang korupsi saat negara dalam keadaan bahaya. Sedangkan dalam KUHP, aturan itu tak dicantumkan (cnnindonesia.com 03/01/2023).

Maka wajar jika kasus korupsi dibnegeri ini tak kunjung mengalami penurunan, yang ada justru naik dan menjerat para pejabat pemerintahan.

Sistem yang Bobrok

Dari fakta keterlibatan pejabat dan oligarki yang terseret dalam kasus korupsi minyak goreng ini menunjukan bobroknya sistem demokrasi kapitalisme. Pejabat tak menjalakan amanahnya dengan tanggung jawab, hanya karena mendapatkan iming-iming uang banyak dan fasilitas mewah.

Budaya korupsi sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini. Hal ini merupakan dampak penerapan sistem kapitalis sekuleris. Sistem ini membuat para penguasa dan rakyat jauh dari agama sehingga orientasi kehidupan mereka adalah mencari keuntungan materi sebesar-besarnya. Sistem ini mengharuskan seseorang yang ingin menjadi pejabat mengeluarkan modal besar untuk berkuasa. Modal yang digunakan bukanlah berasal dari kantong pribadi saja, akan tetapi juga berasal dari korporasi yang menjadi pendukungnya. Maka, ketika calon pejabat bisa berkuasa, mereka akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Sedangkan para korporasi akan meminta imbal balik karena telah menginvestasikan kekayaannya untuk para pejabat. Di sinilah pintu korupsi terjadi dan permainan oligarki terbuka lebar. Pejabat dan oligarki akan bekerjasama memudahkan kepentingan masing-masing.

Sistem kapitalisme juga sangat mengagungkan kebebasan kepemilikan. Setiap orang bebas melakukan berbagai cara untuk memperoleh harta, sekalipun harus saling menjatuhkan, saling sogok, manipulasi aturan, hingga mengubah-ubah kebijakan.

Kasus korupsi di negeri ini tidak akan pernah hilang bahkan akan semakin menjadi-jadi, kecuali dengan mengubah sistem peraturan negeri ini dengan aturan yang shahih yang berasal dari Sang Khaliq yaitu sistem Islam.

Sistem Islam Solusinya

Sistem Islam yang berdiri dengan akidah Islam menjadikan hukum syariat sebagai sumber kebijakan. Syekh Taqiyudin An-Nabani dalam kitab Asy syakhsiah juz dua halaman 95 menuliskan indikator penting yang harus dimiliki seorang pejabat. Pertama, seorang pejabat harus memiliki Al quwwah (kekuatan) yang maknanya kuat secara aqliyah (pola pikir) dan syakhsiah (pola sikap), sehingga pemimpin akan melahirkan kebijakan yang benar sesuai syariat, tidak tergesa-gesa dan tidak emosional dalam memutuskan sebuah perkara.
Kedua, seorang pejabat harus memiliki at-taqwa (keimanan). Hal ini akan menjadikan pemerintahan dalam Khilafah diisi oleh para pejabat yang amanah terhadap tugasnya dan bertanggung jawab terhadap rakyat dan Allah SWT .

Ketiga, seorang pejabat harus memiliki sifat al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat dan tidak menyakiti hati). Hal ini akan menjadikan seorang pejabat makin dicintai dan tidak ditakuti rakyatnya. Dengan kriteria tersebut para pejabat yang mengurus urusan umat adalah orang-orang terpercaya dan bekerja untuk kepentingan Islam.

Meskipun penerapan sistem Islam mampu menciptakan suasana yang baik bagi pejabat maupun rakyat agar terikat dengan syariat namun tidak dinafikan kemungkinan adanya oknum yang masih bisa melanggar aturan. Maka peradilan dalam Islam akan menyelesaikan masalah tersebut sesuai syariat. Sistem penyelidikannya baik, tidak berbelit-belit, tidak perlu waktu dan proses yang lama. Keputusannya mengikat dan harus dijalankan, artinya tidak bisa dibatalkan. Islam juga tidak mengenal ada peradilan banding, PK, dan lainnya.

Selain itu, Khilafah juga akan membentuk dewan keuangan untuk mengawasi jumlah harta para pejabat Khilafah agar hartanya sesuai dengan yang seharusnya. Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan untuk mengetahui pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan. Secara teknis BPK Khilafah akan melakukan pembuktian terbalik terhadap pejabat yang diduga melakukan korupsi.

Pembuktian terbalik adalah mencatat seluruh harta diawal dan diakhir jabatannya. Dan apabila ditemukan kenaikan harta yang tidak wajar, dan pejabat tidak dapat menjelaskan sumber harta tersebut, maka kelebihan harta tersebut dihukumi sebagai harta ghulul yang akan dimasukkan dalam pos kepemilikan negara di Baitul Mal. Pelakunya akan dikenai sanksi ta’zir oleh Khilafah.

Sanksi dalam Islam bersifat sebagai jawabir yang maknanya dapat menjadi penebus dosa sehingga pelaku kejahatan tidak akan dihisab di akhirat. Selain itu hukum Islam juga berperan sebagai pencegah kejahatan yang sama terulang kembali. Dengan penerapan hukum Islam, tindak korupsi tidak akan menumpuk dan merugikan rakyat.

Islam juga memiliki aturan yang rinci tentang pengelolaan SDA. CPO termasuk kekayaan alam untuk produksi minyak goreng yang dibutuhkan masyarakat sehingga pengelolaannya tidak boleh diprivatisasi. Yang diberi hak untuk mengelolanya adalah negara. Maka negara harus memberikan hasilnya kepada rakyat dengan sebaik-baiknya.

Selain itu korporasi dalam Khilafah berbeda dengan korporasi dalam kapitalisme dimana mereka bisa bekerja sama dengan penguasa dan menguasai Sumber Daya Alam. Korporasi dalam Khilafah adalah pembatu Khilafah dalam melayani kebutuhan masyarakat. Korporasi tidak diperbolehkan menguasai sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Ketika korporasi melakukan kecurangan dan merugikan negara, seperti melakukan korupsi, monopoli, penimbunan dan sejenisnya maka Khilafah akan menindak korporasi tersebut dengan memberikan sanksi ta’zir.
Seperti itulah cara Khilafah dalam menindak kecurangan baik di sistem pemerintahan, pejabat, ataupun korporasi. Alhasil, kehidupan masyarakat menjadi tentram dan sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan dengan harga terjangkau karena tak ada lagi permainan korporasi oligarki.

Waaluhu ‘alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here