Oleh: Siti Hariati H., S.Stat., M.Si
(Dosen, Analis Data, Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Rasanya, kasus korupsi tak pernah hilang dari negeri tercinta ini. Dari berbagai segi, kasus-kasus yang menyeret orang-orang penting negeri mulai terkuak, semakin tampak ke permukaan. BUkan menjadi berita aneh ataupun berita langka, bahkan rakyat sudah bosan dan mungkin merasa ‘B Aja’ jika medapati negerinya tersangkut kasus korupsi, Kenapa?, akibat saking banyak dan tak terhitung jumlahya. Paling anyar, kasus korupsi yang berkaitan kebutuhan dasar rumah tangga, yakni Minyak Goreng, sebagai imbas dari kisruh yang terjadi tahun 2022 lalu.
Kejaksaan Agung Indonesia telah menetapkan tiga perusahaan kelapa sawit sebagai tersangka dalam penyelidikan korupsi, atas dugaan pelanggaran dalam memperoleh izin ekspor pada saat pengiriman dibatasi. Perusahaan-perusahaan tersebut dituntut atas manipulasi dokumen atau mengirim data-data palsu untuk mendapatkan izin ekspor. Hal ini disebabkan karena pada tahun lalu, Indonesia memberlakukan langkah-langkah pengetatan eskpor, termasuk larangan pengiriman selama tiga minggu untuk mencoba mengamankan pasokan domestic guna mengendalikan harga minyak goreng local yang melonjak (voaindonesia.com 16/06/2023)
Tiga perusahaan tersebut ialah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Seluruhnya merupakan pemain besar dalam industry minyak goreng Indonesia, bahkan produksinya sukses menguasai pasar minyak goreng Tanah Air. Akibatnya, Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 6,47 Trilliun (cnbcindonesia.com 16/06/2023). Tentu bukan angka kecil, apalagi jika itu adalah uang rakyat namun disalahgunakan untuk kepentingan para korporat.
Jika dilihat, kasus ini sebenarnya sudah mencuat sejak tahun 2022 lalu, hanya saja, tersangka baru ditetapkan oleh Kejaksaan Agung Indonesia pada tahun tahun ini. Pihak yang terlibat juga tidak hanya dari para korporat, namun juga menggiring nama pejabat. Hal ini menjadi bukti dari bobroknya pejabat dan penguasaan jahat dari para oligarki.
Sayangnya, hukuman yang diberikan tampak tak setimpal dengan harga yang harus dibayar tatkala masyarakat mengalami kelangkaan minyak goreng tahun lalu. Masih segar dalam benak bahwa kelangkaan minyak goreng tersebut juga berimbas pada naiknya harga barang-barang pokok lainnya. Tentu saja, ini memperburuk kondisi ekonomi keluarga yang sebelumnya juga sedang tak baik-baik saja.
Berkaca dari hukuman terhadap para koruptor yang lalu-lalu, sanksi yang diberikan jelas tidak memberikan efek jera. Bahkan, KUHP memangkas hukuman penjara dan denda untuk koruptor. Hukuman bagi koruptor di KUHP lebih kecil dibandingkan hukuman di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 2 UU Tipikor menyebut hukuman penjara bagi koruptor paling sedikit ialah 4 tahun penjara, sedangkan dalam Pasal 603 UU No 1 tahun 2022 KUHP menyebut bahwa penjara paling singkat bagi koruptor ialah 2 tahun. Selain itu, denda paling sedikit yang diberikan pada UU Tipikor ialah Rp 200 juta, sedangkan pada KUHP menjadi 10 juta (cnnindonesia.com 03/01/2023). Maka tak heran jika kasus korupsi dalam negeri tak kunjung menunjukkan penurunan signifikan, yang ada malah sebaliknya, pelonjakan kasus yang menjerat para petinggi pemerintahan.
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor sistem yang diterapkan hari ini. Maka, langkah paling utama yang wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan sistem tersebut itu sendiri. Selanjutnya, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.
Islam sesungguhnya memiliki mekanisme pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan lebih mudah dengan menggunakan syariah. Hal ini karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem hari ini. Dalam sistem hari ini, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan.
Dalam Islam, negara tak hanya fokus pada tindakan kuratif., namun juga memperhatikan pada aspek tindakan preventif. Dalam pandangan syariah, Korupsi disebut sebagai perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Adapun para koruptor diberi sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan, mulai dari hanya diberi nasihat hingga hukuman mati (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Dikutip dari tulisan Boedihardjo dalam mediaumat.id (26/06/2019), setidaknya terdapat 7 langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam, sebagai berikut:
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah(kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara.
Keenam, Adanya teladan dari pimpinan.
Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Maka, sudah semestinya umat kembali kepada aturan syariat, tidak hanya karena jaminan yang Allah beri tatkala menerapkannya. Namun lebih jauh dari itu, penerapan syariat Islam dalam setiap lini kehidupan sejatinya adalah panggilan keimanan bagi setiap muslim untuk berislam secara keseluruhan. Allahu’alam.
Views: 14
Comment here