Opini

Korupsi Pertamina, Bukti Kegagalan Sekularisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Riena Enjang (Pegiat Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Dilansir dari kompas.com (3-3-2025), kasus korupsi di PT Pertamina (Persero) kembali mencuat dengan modus lama tetapi melibatkan pelaku baru. Mantan Menteri ESDM, Sudirman Said mengidentifikasi tiga faktor penyebab celah korupsi posisi Pertamina, yaitu sebagai pemegang pasar utama, transaksi dengan volume besar yang menciptakan margin signifikan, dan sikap pemerintah terhadap kasus.

Kejaksaan Agung mengungkap praktik korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina dan KKKS dari 2018 hingga 2023. Sejumlah petinggi Pertamina, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, terlibat dalam dugaan manipulasi pembelian bahan bakar. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun pada 2023 akibat pengadaan Pertalite yang di-blend menjadi Pertamax secara ilegal.

Akar Suburnya Korupsi

Kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) yang melibatkan sejumlah petinggi perusahaan bukanlah fenomena baru, melainkan praktik lama dengan aktor baru. Menurut mantan Menteri ESDM Sudirman Said, ada tiga faktor utama yang membuka celah korupsi di Pertamina, yaitu dominasi pasar yang menjadikannya rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, transaksi dengan margin besar yang menciptakan peluang bagi praktik suap dan kolusi, serta lemahnya sikap pemerintah dalam menindak kasus-kasus korupsi.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga melakukan manipulasi dalam pengadaan produk kilang, di mana Pertalite di-blend menjadi Pertamax untuk meraup keuntungan ilegal. Kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun pada tahun 2023, mencerminkan betapa masif dan sistematisnya korupsi dalam sektor energi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan tumbuh subur dalam sistem yang mendukung penyalahgunaan kekuasaan. Kapitalisme, dengan orientasi keuntungan tanpa moralitas, melahirkan oligarki ekonomi dan politik yang memperkuat hubungan transaksional antara pejabat dan pengusaha. Sekularisme, yang memisahkan nilai agama dari tata kelola negara, menjauhkan pejabat dari kesadaran akan pertanggungjawaban moral dan akhirat.

Demokrasi dengan biaya politik yang tinggi memaksa politisi bergantung pada oligarki, yang berujung pada kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal dibanding rakyat. Selain itu, korporatokrasi semakin mengukuhkan dominasi korporasi dalam kebijakan negara, menjadikan BUMN sebagai “sapi perah” politik. Oleh karena itu, solusi atas korupsi tidak cukup hanya dengan reformasi parsial, tetapi memerlukan perubahan sistem yang menegakkan transparansi, akuntabilitas, serta kepemimpinan yang berlandaskan moral dan keadilan.

Solusi Tuntas Korupsi

Korupsi bukan hanya persoalan individu, tetapi merupakan produk dari sistem yang memberikan peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem Islam, pemberantasan korupsi dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh, mencakup pencegahan, pengawasan, dan pemberian sanksi yang tegas serta menjerakan.

Islam menempatkan kekuasaan sebagai amanah, di mana seorang pemimpin harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya, tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah di akhirat. Dengan sistem sanksi dalam Islam, termasuk takzir, yang fleksibel sesuai tingkat kejahatan, para pelaku korupsi akan diberikan hukuman yang tegas. Sistem Islam juga memiliki mekanisme pengawasan ketat, seperti Hisbah, yang berfungsi untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam administrasi dan kebijakan negara.

Karena itu, untuk mengatasi korupsi secara tuntas, tidak cukup hanya dengan reformasi hukum dalam sistem sekuler yang tetap membuka celah bagi praktik korupsi. Diperlukan perubahan sistem yang berlandaskan pada hukum Islam, di mana kepemimpinan yang amanah, ekonomi yang adil, serta sanksi yang tegas akan mencegah dan menindak korupsi dari akar-akarnya.

Korupsi merupakan masalah sistemis yang tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalisme, di mana kekuasaan dan ekonomi dijalankan dengan orientasi keuntungan tanpa kontrol moral dan akidah. Sistem ini menciptakan oligarki, transaksi kekuasaan, serta lemahnya sanksi bagi pelaku korupsi. Demokrasi yang berbiaya tinggi semakin memperparah keadaan dengan membentuk hubungan transaksional antara politisi dan pengusaha, yang berujung pada kebijakan yang berpihak pada kepentingan segelintir elite.

Dalam Islam, korupsi dikategorikan sebagai tindakan khianat (khaa’in), di mana pengkhianat amanah harus diberikan sanksi yang tegas (takzir), disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Islam memiliki mekanisme pencegahan yang kuat, seperti sistem kepemimpinan yang amanah, pengawasan ketat melalui hisbah, serta masyarakat yang aktif dalam amar makruf nahi mungkar. Dengan demikian, pemberantasan korupsi tidak hanya berbasis penegakan hukum, tetapi juga pada pembentukan individu yang bertakwa, sistem yang bersih, dan sanksi yang menjerakan. Allah Swt. berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah :188)

Rasulullah saw. juga bersabda: “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dari sini jelas bahwa solusi tuntas terhadap korupsi hanya bisa dicapai dengan mengganti sistem yang membuka celah korupsi dengan sistem Islam yang menutup peluang bagi kejahatan tersebut, menegakkan keadilan, dan menanamkan rasa takut kepada Allah dalam diri para pemimpin serta rakyatnya.

Kasus korupsi di Pertamina menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah sistemis yang tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalisme, di mana kekuasaan dan ekonomi dijalankan dengan orientasi keuntungan tanpa kontrol moral. Faktor utama penyebabnya adalah dominasi pasar, transaksi bernilai besar, serta lemahnya tindakan pemerintah.

Demokrasi dengan biaya politik tinggi semakin memperparah keadaan dengan membentuk hubungan transaksional antara politisi dan pengusaha. Islam menawarkan solusi komprehensif dengan menempatkan kekuasaan sebagai amanah, pengawasan ketat melalui Hisbah, serta sanksi tegas (takzir) bagi pelaku korupsi. Dengan sistem Islam yang berlandaskan keadilan, amanah, dan ketakwaan, peluang korupsi dapat dicegah dan diberantas dari akarnya [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here