Opini

Korupsi Potensi Unggul dalam Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Isnawati (Muslimah Penulis Peradaban)

Wacana-edukasi.com  Dugaan korupsi bantuan sosial menjadi sorotan publik, karena dinilai keterlaluan dan ironis. Masarakat yang sedang menghadapi pandemi covid-19 disertai berbagai ketakutan dan kesulitan hidup, tetapi korupsi tetap berjalan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dan menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara dan lima orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap terkait pengadaan bantuan covid-19. Firli mengatakan, diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS (Matheus). Edhy dan Juliari adalah pejabat negara dengan rekam jejak cukup bersih, muda, santun, cerdas dan berprestasi. Keduanya juga sebagai pejabat negara dengan kekayaan berlimpah, Juliari memiliki kekayaan Rp47,1 miliar, sementara Edhy memiliki kekayaan Rp7.42 miliar (Kompas.com 7 Desember 2020).

Sejatinya sudah menjadi rahasia umum lembaga-lembaga politik adalah tempat melahirkan para koruptor walaupun sudah memiliki banyak kekayaan. Kerja mereka gesit, bersiasat, dan berkelit memanfaatkan setiap kesempatan dari kekuasaan dan jabatan yang di genggamnya. Penangkapan tersebut seharusnya membuka mata publik untuk berfikir apa penyebab dan solusi dari korupsi demi perbaikan negeri ini.

Korupsi di Indonesia sudah semakin mengakar bahkan lebih piawai dengan berbagai macam sandi yang digunakan. Kode madam bansos, monyet koruptor, anak Pak Lurah, cicak dan buaya, dan lain-lain sebagai cara untuk menghilangkan jejak korupsi dalam skala besar. Korupsi adalah jaringan yang tersistem dan memiliki backing orang kuat. Dari sinilah sulitnya memproses para politikus yang korupsi karena mempunyai kekuasaan.

KPK adalah lembaga yang diharapkan rakyat untuk tetap mampu menjaga aset negara, tetapi hal itu tampak sulit. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan KPK hanya mampu membongkar tanpa ada penuntasan kasusnya. Lingkaran yang mendorong terjadinya korupsi sangat kuat karena hubungan simbiosis mutualisme yang tentunya saling melindungi.
Tendensi kepentingan individu dan kelompok menjadi tujuan utama karena memang biaya politiknya mahal, sehingga mengukuhkan korupsi. Gelontoran dana yang dikeluarkan menuntut imbalan berupa legitimasi kebijakan dan UU. Mulai dari tender berbagai proyek hingga perubahan regulasi pasti akan dilakukan, sebagai balas budi demi kepentingan sang penyandang dana.

Demokrasi adalah landasan yang digunakan untuk memuluskan jalan para koruptor dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang serakah akan menjadikan negeri ini sebagai negeri korporatokrasi atas nama regulasi bentukan demokrasi.
Fakta lembaga yang dipimpin oleh orang-orang yang kaya, santun, cerdas, sopan, rajin ibadah, tetapi tidak amanah bukanlah hal yang aneh dan baru, sebab akan terjadi dan terus terjadi. Demokrasi mempunyai potensi unggul dalam melahirkan para koruptor yang handal karena memang akhlak yang ditampakkan hanya untuk pencitraan guna mencapai keuntungan.

Berbeda dengan politik dalam Islam, bertujuan memberikan pelayanan secara totalitas demi kesejahteraan umat untuk mencapai rida Sang Ilahi Robbi. Pengaturannya diatur mulai dari landasan pijakan dalam bernegara, dengan menghadirkan pemimpin yang memiliki keteladanan yang kuat sebagai pilar memberantas korupsi. Seperti dicontohkan masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, beliau menutup hidungnya pada saat membagi-bagikan minyak wangi karena begitu takutnya tercium minyak wangi yang bukan haknya. Kehati-hatian tersebut juga dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan para khalifah lainnya dengan kesadaran yang melekat.

Sistem Islam juga mengatur agar tidak terjadi korupsi. Pejabatnya dilarang menerima hadiah karena termasuk harta ghulul, harta yang diperoleh di luar gaji. Khilafah akan memenuhi kebutuhan pegawainya seperti yang dijelaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya “Siapa pun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud)

Dari sisi sanksi, Islam juga membedakan antara mencuri dan korupsi, mencuri termasuk bab hudud, jika korupsi masuk dalam bab ta’zir. Hukuman dalam bab ta’zir tidak ditetapkan nash, tetapi diserahkan pada khalifah. Hukuman tersebut bisa berupa diarak keliling kota atau di-blowup lewat media massa, cambuk (jilid), penjara, pengasingan bahkan hukum mati yang disertai penyitaan hasil korupsi.

Rasulullah bersabda “Perampas, koruptor (mukhtalis), dan penghianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR. Ahmad, Ashab, As-sunan dan Ibnu Hibban)

Mempertahankan demokrasi berarti memelihara penderitaan rakyat menuju kehancuran sebuah peradaban. Saatnya kembali pada fitrah, yaitu syariah dan khilafah sebagai solusi ampuh dalam mewujudkan kesejahteraan umat.

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here