Oleh: Nafeezah Syazani Alifiana (Relawan Opini Andoolo)
wacana-edukasi.com, OPINI– Korupsi seolah telah menjadi tradisi di negeri ini. Pelakunya dimulai dari pejabat tingkat daerah hingga para menteri. Kali ini yang terseret kasus korupsi adalah menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka, namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan proses analisis terhadap barang bukti yang disita dari hasil penggeladahan di kantor Kementan dan rumah dinas SYL.
Sejauh ini telah ada enam orang menteri presiden Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Lima orang diantaranya adalah Johnny G. plate, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, dan Juliari Batubara. Selain ke-enam orang menteri tersebut ada dua nama yang juga dalam proses penyelidikan kasus korupsi (bbcindonesia, 07/10/2023).
Korupsi tidak pernah berhenti sekalipun pelakunya masuk jeruji. Usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK tidak pernah tuntas. Hal ini menunjukkan negeri bebas korupsi hanyalah ilusi.
KPK sebagai lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan kasus korupsi telah menerima sebanyak 2.707 laporan dugaan korupsi per semester satu tahun 2023. Jumlah tersebut sangat banyak dibandingkan kasus-kasus lain. KPK menjadi harapan terbesar pemberantasan korupsi, namun realitanya ini semua sangat jauh dari harapan. Bagaimana tidak, kewenangannya malah dikurangi, dilemahkan, dan penyidiknya yang kredible justru dibatasi gerakkanya. Ditambah lagi adanya isu dugaan kasus pemerasan oleh pimpinan KPK menambah jauhnya harapan korupsi di negeri ini bisa dibasmi.
Sejatinya bukan karena tidak adanya usaha yang dilakukan untuk menuntaskan persoalan korupsi yang membuat rugi. Hanya saja sanksi yang diberikan pada para koruptor tidak dapat membuat pelakunya merasa jera. Hukuman yang ringan, penjara yang mewah, dan kalaupun sudah terbebas dari hukum masih boleh menjadi pejabat publik. Tentu hal ini tidak akan membuat kapok atau jera. Justru yang ada semakin menjadi-jadi dan sistematik dalam sebuah sistem kapitalisme sekuler.
Sistem kapitalisme sekuler merupakan sistem yang standar kebahagiaannya adalah mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Sehingga untuk meraih kebahagiannya orang rela melakukan segala cara demi terpenuhinya keinginan dan kebahagiaan tersebut termasuk melakukan korupsi sekalipun itu merugikan orang lain dan negara.
Korupsi adalah mengambil harta yang bukan miliknya. Tindakan seperti ini sangat dilarang dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah Muhammah SAW:
“Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR Muslim no. 3415; Abu Dawud no. 3110).
Banyaknya kasus korupsi yang masih saja terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor pendorong dan faktor kesempatan. Sebagaimana standar kebahagiaan sistem kapitalisme hari ini adalah untuk menjadi kaya raya dan bergelimang harta maka salah satu cara yang bisa mendorong terpenuhinya itu semua lewat jalan korupsi. Selain dari itu, kemenangan kontestasi politik dalam sistem demokrasi pun membutuhkan modal dana besar yang perlu dipersiapkan, sehingga jika menginginkan jabatan dan kekuasaan maka perlu merogoh kocek untuk modal. Setelah terlipilih dan berkuasa tentu jabatannya dimanfaatkan untuk membayar pemberi modal dengan cara membuat aturan dan kebijakan sesuai keinginan mereka. Cara untuk mengembalikan modal itu yaitu tentu lewat korupsi. Karena jika lewat jalan bisnis, lebih baik dari awal membangun bisnis dari pada menjadi pejabat yang gaji pokonya tidak seberapa dibandingkan berbisnis.
Kemudian faktor kesempatan terjadi karena hukum di negeri ini bisa dibeli. Artinya status hukum tidak berperan maksimal sehingga ketika ada koruptor yang ditangkap lalu dipenjara tapi masih dapat fasilitas mewah, bebas beraktivitas dan tidak membuat jera. Ya seperti itulah realita yang terjadi dalam sistem negeri kita hari ini.
Korupsi di dalam sistem Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam segala perbuatan dapat diselesaikan dengan tuntas. Karena standar kebahagiaan dalam sistem Islam bukanlah materi atau kekayaan, melainkan meraih ridha Allah SWT. Sehingga segala perilaku manusia akan fokus pada bagaimana mendapatkan kebahagiaan hidup tersebut dan jauh dari korupsi yang mengambil hak milik orang lain. Dengan demikian kasus korupsi dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
Sikap jujur dan amanah adalah bagian dari ketakwaan yang dibentuk melalui sistem pendidikan. Sikap yang selalu diutamakan untuk meraih ridha Allah dan menjadikan kontrol pada individu untuk tidak melakukan korupsi. Selain adanya kontrol individu juga ada kontrol dari masyarakat dan negara yang akan mengawasi perilaku masyarakat dan juga pejabat. Bagi para pejabat akan dilakukan pencatatan jumlah kekayaan sebelum dan saat menjabat untuk melakukan kontrol harta, sehingga ketika ada lonjakan jumlah harta yang tidak wajar pada saat menjabat akan langsung dimintai pertanggungjawaban dengan membuktikan sumber perolehan harta tersebut. Jika tidak dapat membuktikan kebenarannya maka hartanya akan disita oleh negara dan akan diberikan sanksi tegas yang diputuskan oleh kepala negara ataupun qadhi yang tentunya sanksi yang adil dan menjerakan.
Dengan pemberlakuan kontrol ketakwaan dan pemberlakuan sanksi tegas akan memudahkan pemberantasan korupsi yang mungkin terjadi, namun jika sistem Islam diterapkan pejabat akan sangat memperhatikan setiap perbuatannya dengan standar halal haram sesuai hukum Islam sehingga kasus korupsi sangat minim terjadi.
Wallahualam bissawab.
Views: 6
Comment here