Oleh: Hana Amalia Rahmah
Wacana-edukasi.com, OPINI— Media sosial dihebohkan dengan pemberitaan kasus penikaman yang dilakukan seorang remaja berusia 14 tahun kepada ibu, ayah serta nenek kandungnya pada Sabtu (30/11/2024) dini hari di salah satu perumahan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ayah dan nenek tewas di tempat, sementara sang ibu selamat meski mengalami luka berat akibat tusukan pisau yang digunakan pelaku dalam aksi bejatnya (Beritasatu, 30/11/2024).
Kasus penyerangan serta pembunuhan yang melibatkan anak usia remaja sebagai pelaku kejahatan atau Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) semacam ini bukan yang pertama kalinya. Peristiwa serupa juga terjadi pada Februari lalu (06/02/2024) di mana seorang remaja berusia 16 tahun ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan satu keluarga di Penajam, Paser Utara.
Angka kriminalitas yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan terus mengalami tren peningkatan. Sepanjang tahun 2020 hingga 2022, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) menangani setidaknya 2.302 tindak kejahatan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang 48 kasus di antaranya adalah tindak kejahatan pembunuhan (BPHN, 17/03/2023).
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, tercatat bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 1.000 anak ditetapkan sebagai tersangka pelaku kejahatan setiap bulannya (Sindonews, 30/09/2024).
Perilaku keji dan brutal anak dalam aksi kejahatannya tidak serta-merta terjadi tanpa ada faktor yang mendasarinya. Berdasarkan penelitian pada jurnal berjudul “Menelusuri Akar Masalah: Faktor Penyebab Angka Kriminalitas Anak di Bawah Umur”, disebutkan faktor-faktor penyebab anak melakukan tindakan kejahatan antara lain: Keluarga; Psikologis; Lingkungan; Sosial dan Ekonomi; Media dan Teknologi; serta Tindak Pidana Berulang (Juvenile Delinquency).
Menelaah lebih lanjut faktor-faktor yang mendasari perilaku kriminal anak, pertama, keluarga. Keluarga sebagai institusi terkecil masyarakat sekaligus pusat pendidikan dan pembinaan karakter anak semakin rapuh ketahanannya ditandai dengan melemahnya fungsi keluarga. Takwa dan pemahaman Islam yang seharusnya menjadi pilar utama keluarga kini kian hilang. Paradigma sekuler kapitalisme menjadi alternatif rujukan pendidikan orang tua dalam membina keluarganya terutama anak-anak. Tidak sedikit orang tua yang akhirnya menjadikan pencapaian materi ala kapitalisme sebagai tolok ukur keberhasilan anak, misalnya dengan mendorong bahkan memaksa anak untuk meraih segala bentuk prestasi akademik.
Menginginkan anak sukses dalam pendidikannya adalah hal wajar bagi orang tua. Namun, seringkali ambisi tersebut tidak sejalan dengan kemampuan anak, dan minimnya pengajaran akidah Islam turut memperburuk kondisi ini. Tanpa pemahaman Islam yang kuat, anak sulit memahami bahwa aktivitas belajar di sekolah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Kesadaran ini mendorong mereka untuk menjalankan tugas dengan sukarela, tanpa paksaan, namun, banyak orang tua yang tidak menyadari pentingnya hal ini, sehingga anak-anak sering merasa tertekan oleh ekspektasi dan ambisi orang tua yang berlebihan. Akibatnya, mereka rentan mengalami frustrasi, stres, bahkan depresi, yang berujung pada gangguan psikologis.
Kondisi psikologis anak yang terganggu sering kali melatarbelakangi perilaku criminal anak. Ketika keluarga gagal memberikan dukungan emosional, anak kehilangan stabilitas psikologis yang diperlukan untuk tumbuh dengan kepribadian yang sehat. Dengan demikian, faktor keluarga sangat berkaitan erat dengan kondisi psikologis anak.
Kedua, lingkungan. Dalam sistem kehidupan sekuler, lingkungan sebagai wadah masyarakat berinteraksi sangat sarat akan nila-nilai permisif terutama bagi ide-ide racun seperti ide kebebasan. Minimnya kontrol sosial masyarakat menjadi ladang subur tumbuhnya perilaku kriminal. Anak-anak sering terdorong melakukan kejahatan akibat tekanan untuk diterima dalam kelompok atau budaya kekerasan yang dinormalisasi.
Dalam Islam, norma sosial dibangun berdasarkan nilai-nilai syariat, menjadikan lingkungan sebagai tempat yang kondusif bagi perkembangan anak. Dengan spirit amar ma’ruf nahi munkar, lingkungan tidak hanya hadir sebagai wadah interaksi sosial, tetapi juga berfungsi menjaga moral generasi secara kolektif dan melindungi dari pengaruh buruk yang mendorong tindakan kriminal.
Ketiga, sosial-ekonomi. Sistem kapitalisme-sekuler telah menciptakan kesenjangan sosial dan tekanan ekonomi yang ekstrem. Bukan hanya anak, orang dewasa yang hidup dalam himpitan kemiskinan seringkali terpaksa melakukan tindakan kriminal demi bertahan hidup. Sistem Islam menawarkan solusi menyeluruh dengan menghapuskan riba, membangun sistem zakat yang kuat, serta memastikan distribusi kekayaan yang adil sehingga kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi. Dalam kondisi ini, anak-anak tidak akan lagi menjadi korban ketidakadilan ekonomi.
Keempat, media dan teknologi. Dalam kehidupan yang bersistemkan paradigm kapitalis-sekuler, media kerap kali hanya berorientasi pada keuntungan materi, tanpa memperhatikan dampak buruk terhadap moral generasi muda. Melalui media, anak-anak terpapar konten negatif seperti kekerasan, pornografi, dan budaya konsumtif yang dibalut atas nama hiburan. Dalam sistem Islam, media menjadi sarana pendidikan Islam juga sebagai sarana untuk mengembangkan potensi anak demi menciptakan generasi yang unggul dan bertakwa.
Kelima, tindak pidana berulang. Sistem hukum sekuler sering kali gagal dalam merehabilitasi anak yang terlibat kejahatan. Hukuman yang diberikan cenderung bersifat represif dan tidak menyelesaikan akar masalah. Sebaliknya, sistem Islam memberikan pendekatan hukum yang mendidik dan membina pelaku tindak pidana agar mereka benar-benar bertaubat. Hal ini didukung oleh lingkungan sosial Islam yang memprioritaskan tindakan preventif demi mencegah terjadinya kejahatan.
Islam memiliki konsep batasan status anak yang jelas, yaitu mereka yang belum mencapai masa baligh. Setelah seorang muslim yang ‘aqil (waras) mencapai baligh, ia tidak lagi dihukumi sebagai anak-anak, tetapi sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab secara hukum (taklif). Dengan penetapan yang tegas ini, hukum Islam dapat diterapkan secara adil sesuai status seseorang. Sebagaimana tujuannya, Lebih tegas lagi, hukum Islam, khususnya dalam aspek pidana, memiliki dua tujuan utama yaitu sebagai jawabir (penebus/atonement) dan jawazir (pencegah/deterrence). Dengan ketentuan hukum yang jelas, tindak pidana berulang, baik yang dilakukan oleh anak maupun dewasa, dapat diminimalisir.
Keseluruhan faktor yang melatarbelakangi kriminalitas anak menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam menyediakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak secara optimal. Hal ini menegaskan bahwa akar permasalahan sebenarnya terletak pada sistem itu sendiri, yang gagal mengintegrasikan kebijakan, perlindungan, dan akses terhadap sumber daya secara merata, sehingga menciptakan celah yang terus-menerus melahirkan kondisi yang mendukung terjadinya tindak kriminal pada anak.
Kapitalisme-sekuler sebagai asas sistem kehidupan merupakan penyebab utama kerusakan moral dan sosial masyarakat termasuk generasi muda. Sayyid Qutb dalam karyanya, Ma’alim fi al-Thariq, mengungkapkan kritik mendalam terhadap sistem kapitalisme-sekuler. Ia menyatakan bahwa manusia yang terlepas dari manhaj dan hukum Ilahi akan hidup dalam kebingungan dan kehancuran, karena menjadikan hukum buatan manusia sebagai patokan hidup.
Islam hadir bukan sebagai agama semata melainkan sebagai deen serta ideologi yang memiliki seperangkat konsep peraturan mulai dari aspek pendidikan, kontrol sosial, politik, ekonomi, hingga penerapan hukum yang paripurna. Namun, penerapan sistem Islam tidak bisa dilakukan tanpa adanya pemimpin yang bertugas menerapkan syariat secara menyeluruh. Dalam Islam, sosok pemimpin tersebut adalah imam/khalifah, dengan institusi negaranya yang disebut imamah/khilafah, yang akan menjamin terlaksananya seluruh syariat Allah dalam mengatur segala aspek kehidupan. “Imam (pemimpin) adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (Muttafaqun Alayh).
Views: 8
Comment here