“Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru pada jalan kebaikan, memerintahkan pada kemakrufan, serta mencegah kemungkaran.” ( QS. Ali Imran: 104 ).
Wacana-edukasi.com — Firman Allah SWT di atas memerintahkan dan menjelaskan wajibnya ada kelompok umat untuk mengontrol negara, dengan cara memberikan masukan terkait kebijakan negara yang tak sesuai dengan hukum syara.
Namun ironisnya, di negeri mayoritas muslim terbesar ini, negara berusaha membungkam semua aktivitas rakyat dalam mengkritik kebijakan yang menyengsarakan rakyat, dengan semua peraturan dalam bentuk Undang-Undang yang notabenenya lebih memihak kepada penguasa karena berlakunya pasal karet hanya untuk rakyat.
Hal ini mendapatkan kritik dari sejumlah seniman yang terpampang pada mural bertuliskan, “Menolak RKUHP Bukan Menunda”. Sedangkan Aliansi Reformasi KUHP mengkritisi beberapa pasal pada Rancangan KUHP, ada empat pasal yang dituding warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia (lioutan6.com,10/06/2021)
Sementara itu salah satu yang menjadi polemik di masyarakat adanya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam draf Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUH). Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji RKUHP berlainan dengan KUHP lama. RKUHP tentang aturan penghinaan ini memberikan jaminan kebebasan berekspresi bercorak demokratis (nasional.okezone.com/2021/06/13).
Pro dan kontra akan selalu ada dalam semua kebijakan yang bukan berdasarkan pada aturan Ilahi. Dalam sistem demokrasi kapitalisme semboyan “Dari rakyat untuk rakyat” hanyalah isapan jempol belaka di mana kebebasan berekspresi mendapatkan tempat dan dihargai, tetapi pada kenyataannya ketika rakyat menyuarakan ketidaksukaan mereka terhadap kebijakkan negara dan berseberangan dengan rezim penguasa, maka bersiap-siaplah mendapatkan hukuman dari pasal karet yang akan dipergunakan rezim untuk menjerat rakyat.
Ini akan berbeda jika yang digunakan adalah sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Di mana semuanya diatur dengan jelas, terperinci, dan adil.
Mengeluarkan pendapat tentang kebijakan maupun tentang pemimpin yang tak adil diperbolehkan dalam Islam, ini pun dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW. “Sebaik-baik jihad adalah kata-kata yang haq ( yang dinyatakan ) kepada penguasa yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, at-Thabrani, al- Bayhaqi dan an- Nasa’i).
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abd al-Muthalib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari kejelekan), kemudian dia membunuhnya.” ( HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Jabir).
Aktivitas menyeru, mengingatkan, mengeluarkan pendapat dalam sistem Islam adalah suatu kewajiban yang telah ditetapkan _syara_, serta bertujuan demi kebaikan negara dan juga pemimpin, sebagai rasa sayang dan cinta umat kepada negara dan bangsanya agar tak ada dalam jurang kehancuran.
Tentunya negara dan pemimpin pun menghargai dan mengapresiasi pendapat ini, jika memang kebijakan mereka bertentangan dengan hukum syara. Pemimpin dan umat bersama-sama menjaga agar negara dan umat berada dalam kesejahteraan, keamanan, ketenteraman lahir maupun batin.
Sayangnya, ini hanya akan didapatkan jika negeri ini menegakkan dan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam yang bernama khilafah dengan semua aturan yang bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunah, yang telah nyata diterapkan oleh Rasulullah SAW serta para sahabat dalam mengukir peradaban indah manusia menuju kebaikan dan keberkahan dunia dan akhirat dengan rida Allah SWT.
Segera kita campakkan dan buang sistem demokrasi kapitalisme buatan manusia yang hanya berlandaskan hawa nafsu dan keuntungan semata, serta telah nyata menzalimi umat. Kita tegakkan dan terapkan hukum Islam dalam bingkai Daulah Khilafah pembawa keberkahan hidup dunia dan akhirat.
Titin Kartini
Views: 26
Comment here