Oleh: Assadiyah (Member AMK)
Wacana-edukasi.com — “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Demikianlah bunyi kutipan alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, sebagai cita-cita luhur negara dalam pendidikan. Maka sejak dimulainya kemerdekaan Indonesia disusunlah segala upaya untuk mencapai cita-cita tersebut. Tak terkecuali cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tahun 1947 mulai diberlakukan kurikulum oleh Kementerian Pendidikan, berikutnya berturut-turut kurikulum tahun 1967, kurikulum tahun 1975, kurikulum tahun 1984, kurikulum kbk tahun 1994 yang diberlakukan pada tahun 2004 dan secara serentak berlaku pada tahun 2006 dan selanjutnya kurikulum 2013 (Kompasiana.com, 18/11/2016).
Tidak berhenti di situ, tahun 2021 Kemendikbud akan kembali menerapkan kurikulum baru untuk menggantikan kurikulum sebelumnya.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Maman Fathurrahman mengatakan kurikulum baru mulai diterapkan tahun ajaran 2021/2022 mendatang. (CNNIndonesia.com, 04/09/2020)
Sepintas perubahan kurikulum dari tahun ke tahun dinilai sebagai langkah praktis mewujudkan cita-cita bangsa. Namun, apakah perubahan tersebut justru hanya dapat menambah kerumitan dunia pendidikan? Mengingat banyak PR lain yang masih perlu dibenahi.
Pihak Federasi Guru menilai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terlalu terburu-buru mengganti Kurikulum 2013. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan bahwa belum semua guru memahami Kurikulum 2013, apalagi Kurikulum 2013 sempat direvisi pada 2016. (CNNIndonesia.com, 08/09/2020)
Sejumlah guru juga mengaku khawatir tak bisa menerapkan kurikulum baru yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dengan baik. Gambaran umum kurikulum yang ditargetkan Nadiem dinilai tak memungkinkan dengan realita di lapangan.
Menurut Jujun Nugraha, Kepala SMK Negeri Manonjaya di Tasikmalaya, Jawa Barat, dilansir dari (kompas.com,10/09/2020) dirinya memang mendapati siswa di sekolah memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga ketika kurikulum menyeragamkan materi ajar di sekolah, tak semua siswa bisa mengikuti dengan baik. Namun ia mengingatkan jumlah siswa dan guru di dalam kelas tidak berimbang. Untuk menerapkan konsep kurikulum yang diinginkan Nadiem, ia khawatir guru tak sanggup secara sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan.
Bahkan menurut Ahmad Sohabudin, guru SMA Negeri 1 Teluk Dalam di Nias Selatan, Sumatera Utara, juga menilai target kurikulum Nadiem baru bisa diterapkan jika pemerintah menangani persoalan pemerataan infrastruktur dan sumber daya manusia di dunia pendidikan.
Perubahan kurikulum dari tahun ke tahun memang hanya menambah kerumitan. Bagaimana tidak, setiap perubahan kurikulum membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit sehingga hanya menambah pembiayaan negara yang hasilnya pun belum tentu pasti sesuai dengan yang diharapkan. Untuk kurikulum baru ini saja Kemendikbud menganggarkan hingga Rp 1 triliun. Sementara dari sisi pemenuhan kelengkapan fasilitas sekolah belumlah memadai. Masih banyak sekolah yang membutuhkan kelayakan sarana dan prasarana atau fasilitas. Seperti SD di Bekasi yang ketika hujan proses belajar mengajar diberhentikan karena gedung sekolah yang memprihatinkan (pikiran-rakyat.com, 21/01/2020).
Mengapa tidak anggaran tersebut dialirkan saja ke hal yang memang diperlukan? Mencerdaskan anak-anak bangsa? Faktanya Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah (Kompas.com, 05/042020).
Dari aspek moral pun belum juga bisa dikatakan baik, krisis moral peserta didik semakin tak terkendali, kasus bullying masih mendominasi usia sekolah. Bahkan Indonesia menduduki posisi ke-5 tertinggi dari 78 negara sebagai negara paling banyak murid mengalami bullying (katadata.co.id, 12/12/2019). Menandakan bahwa perubahan kurikulum bukanlah jalan mencapai cita-cita luhur bangsa.
Demikianlah sistem pendidikan yang dibangun berdasarkan ideologi sekuler-kapitalisme. Sistem pendidikan sekuler-kapitalisme hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (peserta didik) yang berpikir profit oriented (keuntungan semata) dan menjadi economic animal (hidupnya ditujukan sekedar untuk mencari makan). Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan yang diterapkan dalam sistem pemerintahan pun -dalam hal ini sistem pendidikan- orientasinya akan bermuara ke sana juga. Dimana kurikulum hanya dijadikan sarana trial and error dan peserta didik hanya dijadikan sebagai kelinci percobaan.
Berbeda dengan sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi Islam. Sistem pendidikan yang dibangun atas dasar ideologi Islam senantiasa mengupayakan agar terbentuknya masyarakat Islam dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan tsaqofah Islam tentunya.
Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam dengan tujuan membentuk individu-individu yang berkepribadian Islam di samping menguasai tsaqofah Islam. Sarana dan prasarana akan selalu dimaksimalkan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Hal tersebut adalah mudah sebab negaralah yang mengambil peran maksimal.
Dimana segala sumber pendapatan negara senantiasa diperuntukkan untuk kepentingan rakyat, sebab kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Maka untuk meraih cita-cita luhur bangsa, kembali kepada penerapan Islam adalah satu-satunya jalan tepat.
Wallohualam Bishowab
Views: 4
Comment here