Oleh: Umi Hanifah (Aktivis Muslimah Jawa Timur)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Jabatan dalam Demokrasi diukur seberapa besar uang yang dimiliki. Semakin besar keuangan akan mudahlah meraih kursi kekuasaan. Sebaliknya tak akan pernah merasakan empuknya kursi kekuasaan tanpa uang. Hal ini membuka peluang pemodal menggelontorkan uang bagi calon pejabat, tak ada jabatan yang hakiki kecuali adanya pemodal dibelakangnya. Bahkan bisa dikatakan pengusahalah yang menjadi penguasa sesungguhnya.
Disinilah jalan korupsi terbuka lebar, jabatan super mahal yang diperoleh dari sokongan pemodal harus dikembalikan. Padahal gaji yang diperoleh tak bisa menutupi modal kampanye, jalan pintas untuk memperolehnya dengan korupsi. Artinya korupsi adalah karakter para pemimpin dalam sistem Demokrasi. Tak mudah menghilangkannya,bahkan kursi dan korupsi ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan.
Jargon dari, oleh dan untuk rakyat hanya isapan jempol, tak akan pernah terwujud selamanya. Bahkan ini berbahaya karena jebakan meraih suara, rakyat sangat berharap adanya pemimpin bisa membuat hidup mereka lebih baik. Ternyata kebijakan hanya mengutamakan kepentingan pemodal, sebagai bentuk balas budi.
Silih bergantinya pemimpin di negeri ini nyatanya rakyat tetap yang melarat. Berbanding terbalik dengan para pejabatnya, gaji besar, fasilitas memadai, tunjangan menggiurkan dan berbagai tambahan pendapatan yang menyejahterakan. Ironinya hidup nyaman yang didapat masih belum memuaskan keserakahan mereka. Terbukti kasus korupsi tetaplah tinggi dengan nilai yang fantastis.
Kesalahan fatal lain sistem demokrasi adalah mereka membuat hukum sendiri, agama di abaikan dalam mengatur kehidupan publik apalagi urusan negara. Hukum yang dihasilkan dari mufakat, jika didukung suara mayoritas di anggap baik dan cocok diterapkan. Sebagai contoh miras, karena bisa menjadi sumber masukan dana kepada negara maka tidak dilarang cukup diatur peredarannya.
Padahal dari minuman keras ini muncul berbagai kerusakan lainnya. Maka benarlah yang disampaikan Rosulullah saw bahwa minuman keras adalah induk kejahatan. Akibat dari miras bisa dipastikan mabuk dan tega membunuh, menjambret, jika naik motor bisa menabrak orang lain, memperkosa, mencuri dan yang lainnya. Hal yang dilarang dalam syariat pasti berbahaya bagi kehidupan. Begitulah manusia, mahluk yang terbatas dan lemah jika membuat hukum sendiri dalam kehidupan bisa dipastikan rusak dan merusak, tidak ada kebaikan melainkan kesengsaraan pasti mendera.
Berbeda dengan lslam, jabatan adalah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Jabatan pemimpin bukan untuk menipu dan menzalimi. Pemimpin ibarat penggembala yang mengurusi kebutuhan rakyatnya, memastikan perindividu tercukupi keperluannya.
Pemimpin dipilih orang yang bertaqwa karena mengemban amanah berat, harus kuat dan adil dalam aktivitasnya. Tidak mudah tergoda dengan imbalan uang untuk memuluskan urusan satu pihak, hingga melanggar amanahnya. Adil dalam mengurusi keperluan rakyat, tidak boleh membedakan warna kulit, agama, suku dan lainnya berdasarkan syariat.
HUkum yang diterapkan berasal dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta, pasti baik buat siapa saja dan kapan saja. Terbukti lslam mampu menjadi peradaban dan mercusuar dunia selama 13 abad, yang terbentang dari Meroko hingga Merauke.
Jelas, kekuasaan dalam lslam menyejahterakan karena pemimpin melayani. Tak mudah terjebak korupsi karena para pemimpin bekerja semata ingin meraih surga dan ridlo-Nya. Sebaliknya, kekuasaan dalam sistem Demokrasi adalah oleh, dari dan untuk pemodal. Para pemimpin sibuk mengumpulkan uang buat mengembalikan modal sewaktu mau menjabat, maka korupsi tak terelakkan. Pasti mereka abai terhadap kebutuhan rakyat, mengutamakan kepentingan pribadi dan segelintir orang yang memberi modal saat mencalonkan diri.
Allahu a’lam
Views: 45
Comment here