Oleh Yusseva (Pemerhati Kebijakan Publik)
Wacana-wacana.com Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pemerintah tidak melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran 2021. Larangan tersebut berdasarkan hasil rapat kerja dengan Komisi V DPR pada Selasa, 16 Maret 2021 lalu yang membahas tentang persiapan transportasi mudik dan arus balik lebaran tahun ini, serta membahas tentang pelaksanaan program transportasi nasional saat dan pasca pandemi covid-19. “Terkait dengan mudik pada 2021, pada prinsipnya pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tidak melarang,” kata Budi Karya.
Namun, berdasarkan hasil keputusan rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau Menko PMK Muhadjir Effendy dengan sejumlah menteri serta pimpinan lembaga yang bersangkutan di Kantor Kemenko PMK, pada Jumat, 26 Maret 2021, pemerintah membuat kebijakan larangan mudik lebaran dari tanggal 6 sampai 17 Mei 2021 mendatang.
Pelarangan mudik lebaran 2021 tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan kasus covid-19, seperti yang pernah kejadian pada masa libur panjang Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 lalu. “Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo dan hasil keputusan rapat koordinasi tingkat menteri maka ditetapkan bahwa tahun 2021 mudik ditiadakan,” kata Muhadjir Effendy.
Kebijakan Gagal Berdampak Fatal
Kebijakan Tarik ulur dari pemerintah ini mengingatkan kita pada pernyataan Jokowi yang membantah bahwa mudik tidak sama dengan pulang kampung. Demikian ucapnya dalam wawancara bersama Najwa Shihab tahun lalu pada Rabu (22/4/2020).
Keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran 2021 mendapat respons negatif dari masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya berharap bisa berjumpa dan berkumpul dengan sanak saudara, selayaknya tradisi lebaran, kini harus menelan pil pahit bahwa mereka tidak lagi diizinkan untuk melangsungkan tradisi itu. Di media sosial, keluhan mengenai pemberlakuan kebijakan tersebut dapat dengan mudah dijumpai.
Alih-alih memutus rantai penyebaran pandemi covid-19 di seluruh penjuru Indonesia, kemungkinan besar masyarakat akan curi start mudik. Larangan mudik tidak signifikan bisa mencegah orang tidak mudik. Kondisi masyarakat menengah ke bawah dikhawatirkan tetap akan mudik saat sudah tidak tersedia pekerjaan di tempatnya merantau. Dengan alasan daripada menganggur lebih baik pulang kampung/mudik, hal itu yang terjadi tahun lalu. Walau dilarang, tapi tidak bisa menutup keran mudik, karena pasti akan terjadi.
Hendaknya pemerintah mengevaluasi setiap kebijakan larangan mudik atau pulang kampung. Karena masih banyak celah yang bisa berdampak negatif bagi rakyat. Jangan nantinya bersembunyi di balik kalimat “kami sudah melarang jangan mudik, tapi jika tetap pulang kampung, virus makin menyebar, jangan salahkan kami”
Setiap episode dari kebijakan yang diterapkan oleh penguasa kapitalis biasanya sudah dapat ditebak oleh publik jalan ceritanya. Lagi-lagi rakyat yang nanti disalahkan, sementara para pejabatnya pintar bersilat lidah menyatakan bukan tanggung jawab mereka.
Rakyat hanya gigit jari sekuat-kuatnya sambil menahan setiap derita yang dialami. Inilah kisah manusia yang akan terus berulang selama masih hidup dalam kegelapan sistem kapitalis. Tak ada cahaya harapan kehidupan yang tenang dan damai. Selalu penuh penderitaan dan kesulitan. Bukankah ini yang telah Allah SWT firmankan pada umat-Nya,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha:24)
Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, ayat ini menjelaskan bahwa barangsiapa menolak setiap apa yang diingatkan Allah melalui Alquran dan kitab lainnya, maka baginya di dunia itu kehidupan yang sulit dan sempit serta penuh kegelisahan.
Adapun orang yang beriman, maka dia adalah orang yang dirinya nyaman. dan Kami jadikan orang yang menolak itu buta pada hari kiamat karena kebingungan dan tersesat.
Orientasi Kebijakan Pemimpin dalam Islam
Sejatinya, tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat bukan pelayan para kapitalis. Sebagai pelayan rakyat ia fokus dalam dua hal, yaitu hirasatuddin (melindungi agama mereka) dan siyasatuddunya (mengatur urusan dunia). (Al-Ahkam as-Sulthoniyah, juz I, h 3)
Sebagaimana yang telah dicontohkan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar ra, yang mengangkat Amr Bin Ash sebagai gubernur Mesir untuk merampungkan masalah wabah tha’un.
Tak butuh waktu lama untuk ia melihat keadaan yang terjadi di Amwas, ia menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.
Amr bin Ash berkhotbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh, hingga rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Ada di antara mereka yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil. Inilah yang saat ini kita kenal sebagai social distancing.
Akhirnya wabah tha’un dapat terselesaikan. Rakyat mampu memahami tujuan kebijakan yang diputuskan pemimpinnya. Di samping itu ia juga bertanggung jawab penuh atas konsekuensi pemberlakuannya.
Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah-tengah kita yang bisa melahirkan para pemimpin yang melayani rakyat yang penuh tanggung jawab?
Wallahu àlam bisshawwab
Views: 1
Comment here