Oleh: Mia Annisa
Wacana-edukasi.com — Warsito menaiki sepeda ontelnya ke luar menyusuri jalan kecil 1 km yang menghubungkan rumahnya dengan jalan besar. Di kanan kiri yang ia lewati masih hutan perawan tak terjamah. Dari kabar burung yang ia dengar, satu tahun ke depan hutan itu akan dibebaskan menjadi perkebunan tebu. Entahlah, benar atau tidak yang jelas Warsito juga ketar-ketir kalau gubuknya akan ikut digusur. Ke mana lagi Warsito dan keluarganya akan pindah? Sebab makin lama harga tanah makin mahal. Cuma orang-orang berkantong tebal yang mampu membelinya.
“Kang, ngopo toh, sampean ini?” Keluh Warsini, istri Warsito yang diboncengnya. Ia seperti tidak fokus memperhatikan jalan. Labas saja menghantam bebatuan yang mencuat dari dalam tanah.
“Ora. Gak kenapa-kenapa,” jawab Warsito tenang. Warsini menarik napas masygul sambil tetap berpegangan pada pinggang Warsito. Sebab jalanan memang agak licin setelah turun hujan karena masih tanah merah. Ia juga harus tetap hati-hati memegang ujung jilbabnya agar tidak terlilit rantai sepeda. Lebih-lebih lagi ia parno bayinya brojol sebelum waktunya.
Setiap pagi Warsini harus mengantar suaminya mengantri truk jemputan yang akan membawanya ke ladang tebu bersama buruh lainnya untuk menebang tebu yang di
peras menjadi nira dan kristal gula. Hampir sebagian besar warga di Induk Lampung menggantungkan hidup menjadi buruh tebang tebu.
Warsito melambaikan tangan ke arah Warsini sesaat truk membawanya pergi.
“Hati-hati yo, kang. Bekalnya jangan lupa dimakan,” teriaknya memutar setir sepeda dan mengayuh meninggalkan jalan raya.
*
Empat tahun lamanya Warsito hidup menebang tebu setiap musim giling. Tukang tebang tebu bukan pekerjaan yang ringan. Terbukti, Bagus pemuda 25 tahun asal Blora, Jawa Tengah ini hampir 1 tahun lebih dikenalnya sering mengeluh pegal-pegal dan sakit karena sering memanggul potongan tebu naik ke traktor untuk dipindahkan ke dalam truk pengangkut.
“Loro kabeh Kang badanku,” keluhnya pada Warsito disela-sela mereka break makan siang.
“Lah mau cari kerjaan lain opo piye?”seloroh Warsito.”
“Susah, Kang” jawabnya tak semangat.
“Ya sudah dinikmati saja, Gus. Lama-lama juga biasa,”potong Putu Sukerman. Pemuda Bali yang lahir dan besar di Lampung sembari mengelap keringatnya dengan kaus belelnya.
“Hoy, ini loh, makan siangnya sudah datang!”teriak Parjiman, mandor kebun yang kebagian tugas mengantarkan makanan tiap hari ke anak buahnya.
Nasi putih, telor ceplok, sedikit oseng sawi, dan sambal sudah cukup mengganjal perut mereka selama sehari. Tapi tidak dengan Warsito. Ia tidak mendapat jatah makan karena bisa pulang setiap hari. Jatah makan diperuntukan bagi buruh yang tinggal di mess perusahaan.
“Telor lagi, telor lagi. Mbok ya, ayam sekali-kali,” keluh Darmin kesal membuka ikatan nasi bungkusnya. Ia termasuk yang paling tua jadi penebang tebu. Bosan. Kerja bertahun-tahun jangankan peningkatan hidup, ingin makan enak saja susah.
Warsito geleng-geleng kepala melihat tingkah Darmin. Tak habis pikir masih ada orang yang kurang bersyukur. Masih untung dia hidup hari ini ketimbang menggelandang di bawah jembatan.
“Syukuri waelah, Pak,” kelakar Warsito seraya berjalan mencuci tangannya ke tengah sungai yang mengalir cukup deras. Memisahkan lahan tebu satu dengan lahan lainnya. Sekalian ia mengambil air wudu.
Jika musim penghujan datang, air bertambah dalam, bisa selutut hingga sepinggang orang dewasa. Warsito dan kawan-kawannya mencari akal, yaitu mencari batang bambu dari rumpun di tepi sungai menjadi alat peluncur batang tebu dari atas tebing. Pernah, Darmin terpeleset karena terlalu licin saking derasnya hujan. Kalau tubuhnya tidak tersangkut bambu pasti sekarang ia sudah tewas.
Darmin belum berhenti mengomel. Ia minta sebungkus nasi lagi ke Parjiman. Perutnya belum kenyang. Yang lainnya hanya diam melihat tingkah Dirman mengoyok-oyok sang mandor.
“Lihat ini. Kita disuruh makan pakai telor. Dia ….” Tunjuknya ke muka Parjiman yang menyuap nasinya tak menggubris Dirman mengoceh.
“Mentang-mentang kamu mandor jadi makan lauk ayam! Enak sekali kamu!”
Selesai salam Warsito kesal. Kenapa tak ada yang melerai.
“Pak Dirman, uweslah, Pak!” Ia memegang bahu Dirman, menenangkan.
“Gak bisa begini, To!” Dirman kibaskan tangan Warsito. “Ini namanya semena-mena. Keringat kita dihisap dia enak-enakan!” Sebenarnya apa yang dikatakan Dirman ada benarnya juga.
Parjiman belakangan memang bertingkah, gaji buruh tebang tebu sudah seminggu tak kunjung turun. Tak ada yang berani bertanya. Khawatir semakin mereka cerewet gaji itu benar-benar ditahan. Dengan pongahnya Parjiman berjalan lenggang kangkung meninggalkan Darmin yang mengata-ngatainya.
Parjiman sudah jengkel. “Maumu apa. Pak? Hah!”serunya berkacak pinggang.
“Gak usah kakehan omong”
“Mauku. Bayar gajiku seminggu ini” jawabnya to the point.
“Oalah, pakai muter-muter dari tadi, ngomong!” katanya sambil memperhatikan satu persatu wajah-wajah lelah hitam keringat buruhnya.
“Gampang besok tak bayar.”
“Bener, Bos?” tanya Warsito kegirangan.
Wajah yang lainnya ikut semringah. Bagus sudah menantikan gaji itu untuk dikirimkan ke emaknya yang tinggal di Seputih Mataram. Putu, tambahan biaya nikahnya untuk tahun depan. Dan Warsito sebentar lagi istrinya lahiran. Pasti butuh biaya banyak.
“War, Kakang belum jadi gajian,” terangnya pada Warsini yang menjemputnya.
“Iya gak apa, Kang. Mudahan besok rejekinya.”
“Uwes to?” Tengok Warsito pada istrinya yang naik di sadel sepeda.
“Besok gak usah lagi nganter aku, War. Aku tak jalan kaki ae,” kata Warsito mulai mengayuh pedal sepedanya.
“Lah, ngopo to, Kang?”
“Ya, gak kenapa-kenapa?” Ia tidak tega dengan perut Warsini yang mulai membesar, tapi harus turun naik sepeda mengantarnya.
Ia khawatir akan terjadi apa-apa pada jabang bayinya. Mengingat ia dan Warsini cukup lama menantikan kehadiran bayinya setelah tujuh tahun menikah.
“Olahraga lo, Kang. Ben enak lairannya,”balas Warsini.
“Sudah, lek Kakang bilang itu didengerin,” potong Warsito.
“Iya, Kang.” Angguknya sembari mengelus-elus perutnya.
“Hati-hati, Kang,” ujarnya berpagut erat di ujung kaus butut Warsito.
“Iya,” jawab Warsito.
*
Putu mengulurkan tangannya pada Warsito agar naik ke atas truk.
“Kok tumben, gak ada istrimu, kang?”
“Gak,” jawabnya pendek.
“Lah ngopo?”
“Kasian perutnya sudah besar.”
“Ohh ….”
“Makanya nikah’o, Bli. Biar kamu ngerti istri meteng itu gimana?” timpal Dirman. Putu malah cengengesan.
Tampaknya Dirman lebih riang air mukanya sekarang. Mungkin karena Parjiman menjanjikan gajian hari ini. Sayangnya, itu tak berakhir lama. Mereka diberikan mandor baru oleh pabrik. Wajah mereka terbengong-bengong. Bagaimana bisa Parjiman main kabur sebelum membayar keringat para petani.
“Nanti saja sampaikan keluhan kalian ke Pak Drima.” Kepala kebun wilayah di PT itu.
Badan mereka terasa lemas sampai kulit mereka mati rasa terkena glogut. Bagus yang biasanya meriang ketika tersengat racun kalajengking saat menebang pohon tebu, kini merasa kebal tubuhnya. Cuma Warsito yang enggan menampakan kegelisahannya karena nasibnya yang tak jelas.
“Masih rajin kali kamu salat, Bli,” ledek Putu padanya. Ia hanya mengulas senyum. Ia tak bernafsu meladeni omongan temannya.
Tidak demikian dengan Dirman, hampir malas-malasan ia sejak tadi. Bahkan saat menebang tebu ia mengayunkan celuritnya penuh emosi. Agak menakutkan. Namun, aneh saja ia mendadak minta izin pulang. Kurang enak badan, perutnya mual, butuh istirahat.
“Ya.” Mandor baru itu mengabulkan keinginan Dirman, yang lain hanya pasrah.
Sejak tadi mereka jarang berbicara satu sama lain. Seperti sudah tak punya selera ingin cepat pulang kembali ke rumah.
“Assalamu’alaikum,” ucap Warsito lemah. Dia membuka daun pintu yang terbuat dari batang bambu.
Seketika ia melihat Warsini duduk di pojokan bangku kayu khusyuk membaca mushafnya.
“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, kang?”
“Sudah,” jawab Warsito melepas kaus dan menggantungnya di paku.
“Kang, mau wedang anget?” tawar Warsini.
“Gak, War. Kakang mau mandi,” sahutnya menyambar handuk yang digantungan menuju ke sumur belakang.
“Oh, iya, Kang. Tadi Ibu sama Bapak ke sini,” kata Warsini menyusul Warsito ke belakang.
“Ngapain?” tanyanya sambil menimba air.
Warsini mengeluarkan amplop dari kantong jilbabnya yang sudah berubah warna.
“Apa itu?”
“Kakang buka saja,” perintah Warsini. Dengan tangan gemetar Warsito menuruti perintah istrinya. Uang.
“Ini beneran dari Ibu sama Bapak?” Warsito masih belum percaya.
“Iya.”
“Alhamdulillah, ya Allah,”ucapnya getir.
Ia peluk Warsini yang menatap di depannya. Berkali-kali ia ucap syukur. Allah mendengar doanya. Ia pikir sudah tak ada harapan saat gajinya tak kunjung datang.
Warsito memusut perut istrinya sebelum berangkat kerja. Hari ini perasaannya lebih ringan. Mungkin karena ia sudah punya tabungan.
“Hati-hati, ya, Kang.” Warsini berada di
ambang pintu lalu menutupnya pelan-pelan.
“Aduh sumringah tenan.” Sapa tetangganya yang tak sengaja melewatinya. Warsito hanya tersenyum sambil melangkah menjauhi halaman rumahnya menapaki jalanan. Ia hampir tiba, telepon jadulnya berbunyi. Ada pesan pendek masuk dari Bagus. Jantungnya nyaris copot kaget setengah mati.
Bagus mengabarkan kalau subuh tadi Parjiman ditemukan tak bernapas di tengah kebun tebu. Pikiran Warsito berkeliaran, siapa yang tega menghilangkan nyawa Parjiman semurah itu.
“Warsito, ayo naik!” teriak Dirman dari dalam truk. Ia mengulurkan tangannya. Sepanjang perjalanan tak satu pun membahas kematian Parjiman atau merasakan kehilangan, hening. Mereka semua berpegangan pada besi yang terpasang di badan truk yang sedari tadi meliuk-liuk tak jelas. Hingga hidung truk terguling ke kiri nyasar ke ladang tebu. Warsito merasakan tubuhnya mendadak kaku, tertindih tubuh orang lain. Lantas, pemandangan samar-samar berubah gelap gulita.
Views: 64
Comment here