Oleh. Mia Mulyati (Mahasiswi & Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Lagi dan lagi! Kasus kekerasan terhadap anak terulang kembali. Nyatanya, tak ada tempat aman bagi anak-anak untuk bisa bermain dan belajar. Kekerasan bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Bahkan, di dalam keluarganya pun anak-anak tidak ada jaminan keamanan. Orang terdekat darinya bisa saja melakukan kekerasan yang dapat dipastikan akan mengganggu psikologis dan melukai fisiknya.
Seperti baru-baru ini, terdapat kasus kekerasan terhadap anak yang masih berusia 3 tahun yang mendapatkan tindak kekerasan dari seorang pengasuhnya sendiri. Kasus ini mencuat dan ramai diperbincangkan di media sosial terutama Instagram. Diketahui bahwa orangtua korban adalah seorang Selebgram yang sudah memiliki banyak followers. Hal ini membuat kasus yang menimpa putrinya mudah untuk tersebar dengan cepat dan seketika viral di jagat maya.
Kabarnya, motif pelaku hingga tega menganiaya korban disebabkan karena pelaku merasa geram sebab korban menolak diberikan obat untuk menyembuhkan luka bakar. Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang, Komisaris Polisi (Kompol) Danang Yudanto mengungkapkan “Penolakan balita itu lantas memancing rasa kesal pelaku, dan kemudian terjadilah penganiayaan keji” (Liputan6.com, 30/3/2024).
Dilansir dari sumber yang sama, selain rasa kesal akibat korban tidak mau diberi obat, kata Danang, ada beberapa faktor lain yang menjadi pendorong peristiwa penganiayaan. Seperti pengakuan tersangka terkait adanya salah satu anggota keluarga yang sakit. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap anak.
Ketika melihat fenomena kekerasan terhadap anak mencuat seperti ini, membuat masyarakat iba dan prihatin terhadap kasus tersebut. Didukung pula dengan data yang ada saat ini. Sepanjang tahun 2023, KPAI mencatat bahwa untuk kekerasan terhadap anak melonjak naik. KPAI mendata terdapat 2.355 kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia (JawaPost, Senin, 9/10/2023).
Faktanya, kasus ini bukanlah kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Dari data KPAI, yang dikutip dari JawaPost, Senin (9/10/2023), ada 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan, sebagaimana laporan tersebut terdiri: anak yang sebagai korban bullying atau perundungan terdapat 87 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 27 kasus anak korban kekerasan fisik atau psikis 236 kasus, dan anak korban kekerasan seksual 487 kasus. Sungguh miris.
Dari sumber yang berbeda, dilansir dari DataIndonesia.id (23/2/2024), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan bahwa ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada 2023. Bahkan, banyak fakta membuktikan bahwa anak korban kekerasan dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan.
Hal ini terlihat dari data yang ada. Tercatat setidaknya ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023. Bentuk kekerasan mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang hingga eksploitasi.
Menelik fakta yang terjadi di permukaan, ternyata kekerasan terhadap anak bukanlah persoalan yang asing lagi. Akan tetapi, hal ini telah menjadi endemik yang menjamur di masyarakat. Persoalan ini sangat memprihatinkan karena tidak ada jaminan keamanan yang hakiki yang bisa mendampingi tumbuh kembang anak dengan baik. Bahkan, di dalam keluarga yang harusnya mendapatkan perlindungan, ternyata tidak korban dapatkan. Mirisnya lagi, pelaku kasus kekerasan yang terjadi seringkali berasal dari keluarga atau orang terdekatnya sendiri.
Kasus kekerasan terhadap anak menjadi fokus yang harus diperhatikan. Padahal, seharusnya bukan hanya peran keluarga saja yang menjadi jaminan keamanan anak. Lebih dari itu, masyarakat dan negara juga harus mampu memberikan hal yang serupa. Peran dari ketiga elemen ini sangat dibutunkan untuk menunjang keamanan yang hakiki terhadap anak-anak. Supaya tidak terjadi lagi kekerasan yang serupa. Namun sayangnya, untuk saat ini ketiga elemen ini tidak berjalan dengan baik.
Hidup dalam sistem kapitalisme yang segalanya diatur dengan asas manfaat ini tidak bisa menjamin adanya keamanan di dalamnya. Ditambah dengan alibi yang mengharuskan adanya uang yang berbicara, seolah komponen-komponen yang harusnya bergerak mendadak mati tidak bisa beroperasi. Kapitalisme menjadi pemegang kendali.
Di dalam sistem kapitalisme, peran seorang Ibu menjadi taruhannya. Demi mengejar karier dan kekayaan, seorang Ibu rela meninggalkan anak-anaknya dan memilih untuk bekerja. Seharusnya dalam mendidik anak-anaknya adalah kewajiban orangtua. Apalagi seorang Ibu yang menjadi madrasah pertama, yang bertugas memberikan pembelajaran, keamanan, dan rasa nyaman. Namun sangat disayangkan, saat ini tidak demikian.
Hidup dalam naungan kapitalisme sekulerisme pun membuat masyarakat kehilangan kendali. Banyak yang terkena gangguan mental karena tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Sehingga aksi kekerasan pun bisa terjadi. Bobroknya sistem ini bukan hanya menghasilkan SDM (Sumber Daya Manusia) cacat moral saja, namun menghasilkan generasi yang terkena gangguan mental yang berkepanjangan.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib korban-korban kekerasan anak tersebut. Psikisnya terganggu dan berdampak pada trauma yang akan menghambat tumbuh kembangnya. Jika penyakit telah mencapai kepada sebuah trauma, sulit untuk bisa mengembalikan fokusnya kembali seperti sedia kala. Sehingga perlu adanya solusi untuk mengatasi persoalan yang telah menjadi endemik ini agar terulang kembali.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, solusi untuk menanggapi kasus kekerasan terhadap anak sangatlah komprehensif dan paripurna. Dalam segala bidang, dari persoalan paling dasar akan diungkit dan dicari akar permasalahannya untuk bisa dirumuskan. Sehingga mudah untuk mengatasinya. Di sisi lain, Islam mewajibkan semua individu untuk memahami pentingnya perlindungan anak serta ikut berperan di dalam semua lapisan masyarakatnya, baik dalam keluarga, masyarakat maupun negara. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan anak melalui beberapa cara. Seperti adanya asas akidah yang menjadi pondasi dari setiap individunya, kemudian adanya sanksi yang membuat pelaku jera dengan tindakannya.
Adanya asas akidah membuat individu memahami pentingnya perlindungan terhadap anak. Dari asas akidah inilah individu tidak akan berani untuk melakukan kekerasan karena dirinya telah memahami tindakan tersebut yang tidak ada kebaikan sama sekali. Lebih dari itu, kesadaran adanyanya Allah Swt. yang senantiasa mengawasinya membuat individu saling menyayangi antar sesama manusia. Baik yang masih balita, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia tidak terlepas untuk saling melindungi satu sama lain.
Tak hanya solusi preventif, di dalam Islam pun terdapat sanksi yang membuat jera pelaku. Sehingga fenomena menyakitkan seperti kasus kekerasan terhadap anak ni tidak akan terulang kembali. Sayangnya, sistem Islam yang sempurna tak akan pernah terwujud jika tidak menerapkan aturan Allah di muka bumi ini dan masyarakat masih terbelenggu dengan fatamorgana kapitalis yang semakin merusak di setiap aspeknya. Karena itu, sangat penting kesadaran masyarakat sendiri yang mulai meninggalkan sistem kapitalisme lewat terbukanya pemikiran dan mengambil sistem Islam untuk diterapkan dalam naungan Daulah Islamiyah.
Wallahu’alam bish-showwab.
Views: 11
Comment here