Oleh: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Wacana-edukasi.com — Wacana sekolah tatap muka telah resmi ditetapkan. Walikota Balikpapan Rizal Effendi akhirnya memutuskan sekolah tatap muka di mulai 12 Januari 2021. Keputusan itu dia ambil berdasarkan pertimbangan dinas kesehatan, dinas pendidikan, PGRI Balikpapan, sekolah, wali murid, serta instansi terkait lainnya di Balikpapan.
Ditegaskan Rizal, kebijakan itu diambil berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang membebaskan pemerintah daerah untuk memulai proses pembelajaran tatap muka Januari 2021. Sekolah tatap muka ini akan dilakukan dengan berbagai alternatif, seperti bergantian 3 hari di sekolah dan 3 hari daring. Sebelumnya beberapa sekolah telah melakukan simulasi tatap muka untuk melihat kesiapan sekolah terhadap program ini.
Walikota berharap dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan, Balikpapan bisa menjaga kesehatan anak-anak sehingga proses pembelajaran tatap muka bisa berlangsung dengan baik (kaltim today).
Namun, berbicara soal pandemi yang belum usai, tentu saja kebijakan ini akan memberi peluang besar semakin berkembangnya klaster wabah. Hal ini pun pasti disadari oleh pengambil kebijakan. Apalagi ditambah dengan pola sikap masyarakat yang urung disiplin terhadap protokol kesehatan. Maka gelombang pandemi ke dua akan sangat mungkin terjadi.
Paham akan konsekuensi penerapan program sekolah tatap muka yang begitu besar. Nampaknya inilah yang menjadi dasar perubahan keputusan oleh Menteri Pendidikan terkait penerapan kebijakan sekolah tatap muka. Diketahui diawal, kebijakan sekolah tatap muka hanya di lakukan oleh daerah dengan zona kuning dan hijau. Namun, sekarang diserahkan kepada kesiapan pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Artinya jika yang dikhawatirkan terjadi yakni peningkatan kasus covid, maka ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah karena lalai dan abai dalam melakukan persiapan.
Pemerintah daerah pun nampaknya juga melihat geliat ini. Tak mau menjadi satu-satunya pihak yang di salahkan, akhirnya angket persetujuan wali murid pun disebar. Orang tua yang ingin anaknya ikut sekolah tatap muka harus menyetujui angket dengan segala kewajiban membantu pelaksanaan sekolah tatap muka berikut konsekuensinya.
Alhasil terlihat jelas, saling lempar tanggung jawab atas dalam penerapan kebijakan ini. Semua pihak tidak ada yang mau disalahkan. Ujung-ujungnya masyarakat menjadi pihak yang harus menerima konsekuensi dari penerapan kebijakan asal-asalan pemerintah.
Bukan yang Pertama
Saling lempar tanggung jawab bukan kali ini saja terjadi. Telah banyak contoh kasus serupa. Misal kisruh penanganan banjir di Jakarta atau kebijakan pembagian bantuan sosial covid yang tumpang tindih antara Kemensos dan Pemda. Namun, jika kita berkaca pada sistem dasar yang dianut oleh Indonesia yakni kapitalisme. Maka akan sangat wajar kita temui hal seperti ini.
Sistem kapitalisme memandang suatu masalah dari kacamata kepentingan tertentu bukan kepentingan rakyat. Mementingkan urusan rakyat adalah hal yang ke sekian. Masalah yang mendera rakyat ditanggapi dengan solusi-solusi tambal sulam non solutif. Alhasil bukan memecahkan masalah malah menimbulkan efek domino yang tak berkesudahan.
Kapitalisme yang telah mengakar di negeri ini menjadikan para penguasa tak peka dengan penderitaan rakyat. Bahkan kalimat “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ….” yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 sama sekali tidak tercermin dari kebijakan-kebijakan yang telah dihasilkan. Pemerintah tidak menjalankan fungsinya untuk melindungi rakyat namun lebih menyerahkan tanggung jawab perlindungan kembali kepada masyarakat masing-masing. Mengangkat tangan ketika permasalahan menjadi kian pelik bahkan cenderung mencari kambing hitam padahal segala kebijakan yang ada bersumber dari hasil keputusan mereka. Lalu bagaimana seharusnya rakyat Indonesia dalam menyikapi kebijakan tambal sulam dan lempar tanggung jawab yang sering dilakukan oleh jajaran elite pemerintah?
Tidak lain dan tidak bukan kembali kepada syariat. Islam dalam hal ini negara yang menerapkan syariat Islam secara total memiliki prinsip dasar bahwa penguasa atau khalifah adalah pelayan umat. Layaknya pelayan, ia akan mengurusi segala urusan dan keperluan umat. Tentu yang paling didahulukan adalah kepentingan umat
Selain itu, ia khalifah merupakan junnah (perisai) yang bertanggungjawab melindungi masyarakat. Khalifah menjadi yang terdepan menjaga masyarakat dengan segala kebijakan yang ia buat. Karena ia paham segala konsekuensi pertanggungjawaban di yaumil hisab yang akan sangat berat ketika ia lalai dalam memperhatikan rakyatnya.
Sungguh sosok pemimpin yang ideal hanya ada pada sistem pemerintahan yang memakai syariat Islam sebagai landasannya. Karena ia akan bertanggungjawab penuh dalam mengurusi rakyatnya bukan malah saling lempar tanggung jawab layaknya sekarang.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 6
Comment here