Oleh: Shafiyyah El Kareem
wacana-edukasi.com, OPINI– Viral! Seorang siswi SMP berinisial N (15) di Kabupaten Lampung Utara diperkosa oleh 10 pria. Korban tersebut ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di wilayah Lampung Utara pada Sabtu (17/2/2024). Polisi yang turun tangan mengamankan enam pelaku, di antaranya: AD, DA, dan R yang masih di bawah umur. Serta tiga pria dewasa, yakni AL alias IR, A, dan MI. Sementara empat pelaku lainnya masih buron (Kompas.com, 15/03/2024).
Selanjutnya, terdapat kasus remaja lainnya, yakni sebagaimana dilansir dari Bangkapos.com, 16/03/2024, bahwa dalam semalam terjadi perang sarung antar remaja di tiga lokasi berbeda di Pangkalpinang, Sabtu (16/03/2024). Mirisnya, pelakunya mayoritas dilakukan oleh pelajar SMP hingga SMA. Akhirnya, mereka diamankan oleh jajaran Polres Pangkalpinang dan Polda Kep. Bangka Belitung dengan jumlah pelaku sebanyak 22 orang.
Apabila diamati dengan seksama, nampaknya jargon “muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga” begitu melekat pada kehidupan masyarakat saat ini. Remaja terpukau dengan kilau dunia. Menikmati gaya hidup hedon. Berpesta pora, mereguk kenikmatan dunia fana. Tidak mau berpikir serius akan langkah yang harus ditempuh untuk menggapai cita. Yang terpenting, happy-happy saja. Saat tua, berharap memiliki kekayaan melimpah tanpa harus bersusah payah. Tinggal di rumah dengan berbagai fasilitas “wah” bersama anak-cucu tercinta. Benar-benar surga dunia. Setelah itu, harapannya adalah mati masuk surga.
Hidup bergelimang nikmat yang enak-enak merupakan harapan yang wajar dan akan berusaha direalisasikan oleh orang-orang kapitalis. Karena, standarnya materi. Maka dari itu, Hasrat dunia jelas mendominasi. Ditambah lagi, mereka terbiasa hidup dengan aturan suka-suka. Tidak mengindahkan kalam Tuhan yang memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana menjalani roda kehidupan. Dampaknya, bukan kebahagiaan sejati. Melainkan, kerusakan demi kerusakan yang kian menghimpit.
Dengan demikian, paparan dua kasus di awal menunjukkan bahwa kondisi generasi kita saat ini tengah sakit. Generasi terpapar virus liberal. Jelas hal ini merupakan musibah besar. Apabila kondisi demikian dibiarkan, maka kemalangan yang menimpa generasi akan semakin bertambah.
Potret buram di atas tentu menjadi duka mendalam pula bagi dunia pendidikan. Dunia pendidikan akan dianggap tidak berhasil mendidik generasi. Buktinya, generasi minim prestasi. Justru malah semakin banyak yang melakukan tindakan kejahatan. Melakukan pemerkosaan, pem-bully-an, pembacokan, dan sederetan perbuatan tercela lainnya. Pendidikan yang sedang berjalan saat ini akan dipertanyakan kualitasnya oleh banyak orang, termasuk para orang tua.
Setiap orang tua yang menyekolahkan putra-putrinya pasti memiliki harapan mulia, yakni berkeinginan anak-anak menjadi generasi yang pintar dan berkepribadian mulia. Namun, kenyataan yang disuguhkan bak pepesan kosong. Realita yang terjadi tak semanis harapan yang dicita-citakan.
Sejatinya buruknya wajah pendidikan tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang berasaskan sekularisme. Sekularisme berprinsip pemisahan agama dari kehidupan. Oleh karena, output pendidikan justru tidak membentuk generasi berkepribadian mulia. Sebaliknya, muncul anak-anak “beringas”. Minim etika. Bahkan, secara terang-terangan melakukan perbuatan yang merugikan manusia lainnya.
Di samping itu, lingkungan juga terkesan cuek. Tidak mau tahu-menahu terhadap persoalan kerusakan yang mengancam generasi. Yang terpenting, hari-hari bisa makan. Lainnya, tidak penting. Demikianlah, sikap individualis sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Hal lainnya, yang membuat kerusakan semakin parah adalah banyaknya konten kekerasan, pornografi, dan sejumlah konten merusak lainnya yang begitu mudahnya diakses oleh generasi. Secara logika, karakter remaja adalah ingin coba ini dan itu. Konten-konten yang merusak menjadi panduan. Alhasil, kerusakan kian merajalela.
Hal yang berbeda terjadi pada masa kegemilangan Islam, di mana pada masa itu negara menerapkan syariat Islam secara total dalam segala lini kehidupan. Masyarakat dengan penuh kesadaran mau diatur dengan aturan Sang Pencipta. Dampaknya, kehidupan masyarakat berjalan dengan tenteram dan aman. Lebih dari itu, masyarakat memperoleh kebahagiaan hakiki.
Pembunuhan menjadi barang mahal. Masyarakat memiliki rasa “was-was” tingkat tinggi tersebab memahami bahwa jika sampai mereka berani melakukan maksiat, maka mereka akan memperoleh dosa. Selain itu, mereka juga harus siap menanggung beratnya sanksi. Misalnya, sanksi potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Lalu, beratnya hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan. Seandainya dimaafkan sekalipun, pelakunya harus mengganti diyat dengan jumlah yang fantastis. Diketahui, diyat pembunuhan terhadap orang dewasa adalah 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya dalam keadaan “bunting”. Sehingga, hal tersebut dapat menguras harta yang dimiliki. Begitu pula sanksi lainnya, sangat berat.
Berdasarkan berbagai sanksi yang diterapkan dalam sistem Islam di atas, maka harus dipahami bahwa tersebab beratnya sanksi yang diberlakukan, maka orang tidak mudah berkubang dalam dosa dan kehinaan yang menyengsarakan. Dengan demikian, kehidupan yang tenteram, aman, dan membahagiakan tidak mustahil dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena, hal itu bukan isapan jempol belaka. Namun, benar-benar pernah terjadi selama 14 abad lamanya.
Dengan menerapkan syariat Islam kaffah, maka negara yang berdasarkan pada akidah Islam akan menerapkan kurikulum yang berbasis ideologis Islam pula. Kurikulum ini nyatanya telah terbukti menghasilkan pribadi-pribadi sekelas para sahabat, yakni generasi berkepribadian mulia yang memiliki rasa takut kepada Allah dan Rasul-Nya. Memahami beratnya siksa akhirat, sehingga hal tersebut mendorong mereka untuk fatabiqul khoirot melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya. Bukan malah rajin bermaksiat kepada-Nya.
Dengan mengamati perbandingan dua kondisi masyarakat di atas, maka secara naluriah tidakkah kita menginginkan kehidupan yang tenteram, aman, dan berbuah kebahagiaan hakiki bagi seluruh lapisan masyarakat?
Wallaahu’alam bish-shawwab.
Views: 30
Comment here