Oleh : Riannisa Riu
wacana-edukasi.com– Glasgow : Negosiator dari hampir 200 negara telah menyepakati perjanjian iklim baru dalam KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia, yang ditutup pada Sabtu, 13 November waktu setempat. Britania Raya sebagai tuan rumah mengatakan bahwa Perjanjian Iklim Glasgow ini dapat mempertahankan harapan dunia dalam menghindari dampak buruk pemanasan global. Beberapa pencapaian terbesar dalam Perjanjian Iklim Glasgow di COP26 adalah sebagai berikut.
Pertama, adanya pengakuan bahwa komitmen negara-negara dunia dalam memangkas emisi gas rumah kaca sejauh ini masih belum cukup untuk mencegah memanasnya temperatur bumi, dan dengan demikian negara-negara di dunia diminta untuk memperkuat target pemangkasan emisi pada akhir tahun depan. Kedua, perjanjian ini juga meminta negara-negara di dunia untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap batu bara dan subsidi bahan bakar fosil. Ketiga, Perjanjian Iklim Glasgow menyerukan penyaluran dana dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin dan rentan. Negara-negara kaya dinilai bertanggung jawab atas perubahan iklim yang dampak terburuknya dirasakan negara berpenghasilan menengah ke bawah. Terakhir, para negosiator menetapkan aturan untuk pasar karbon, yang dapat menghadirkan dana triliunan dolar untuk melindungi hutan, membangun fasilitas energi terbarukan, dan berbagai proyek lainnya untuk memerangi perubahan iklim. Hal ini diharapkan akan melegitimasi pasar offset global yang tumbuh dengan cepat.
Selain hasil pencapaian besar di atas, ada pula perjanjian sampingan, yang isinya adalah perjanjian sekitar 100 negara untuk mengurangi emisi metana hingga 30 persen dari level 2020 pada 2030. AS dan Tiongkok juga mengumumkan deklarasi gabungan untuk bekerja sama dalam langkah-langkah penanganan perubahan iklim. Beberapa perusahaan dan investor juga membuat serangkaian perjanjian seputar penghentian produksi mobil berbahan bakar bensin, menghilangkan karbon dalam perjanjian udara, melindungi hutan, dan memastikan lebih banyak investasi berkelanjutan. (m.medcom.id, Ahad, 14/11/2021).
Indonesia juga turut berpartisipasi menyampaikan komitmen dalam penanganan perubahan iklim di COP26 ini. Dinyatakan dari presidenri.go.id, (Selasa, 02/11/2021), Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pidatonya, “Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global merupakan kunci.” Beliau pun menyampaikan bahwa laju deforestasi turun secara signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir, kebakaran hutan pun turun 82 persen pada 2020.
Keseluruhan hasil perjanjian iklim Glasgow di atas sebenarnya hanya sekadar lip service negeri-negeri yang terlibat. Semuanya hanya pencitraan belaka. Pernyataan mereka berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Badan-badan lingkungan terkenal dunia pun sudah menganggap demikian. COP 26 sesungguhnya hanyalah bentuk pembersihan citra dari kenyataan buruk yang saat ini tengah terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa total jejak emisi karbon yang terbesar berada di tangan orang-orang super kaya dunia, para kapitalis, para pemilik modal. Sementara masyarakat menengah ke bawah adalah korban nyata dari pemanasan global dan perubahan iklim yang berlangsung saat ini. Padahal jelas bahwa golongan masyarakat tersebut nyaris tidak berpartisipasi dalam emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global atau bahkan deforestasi.
Begitu pun, Greenpeace Indonesia menyebut klaim-klaim Presiden RI di atas hanyalah omong kosong belaka. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik mengungkapkan klaim-klaim itu mulai dari transisi energi sampai keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga target rehabilitasi 600 ha mangrove atau hutan bakau pada 2024 mendatang. “Boleh dikatakan bahwa klaim-klaim Jokowi seluruhnya adalah omong kosong,” ucap Iqbal dalam konferensi pers Tanggapan atas Pidato Presiden Jokowi di COP 26, Selasa (2/11), seperti dilansir dalam cnnindonesia.com (Rabu, 03/11/2021). Iqbal menyampaikan, angka penurunan karhutla sampai 82% di tahun 2020-2021 tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan Jokowi. Sebab penurunan angka karhutla itu lebih banyak dipengaruhi faktor alam. Begitu pun, kata Iqbal, pada tahun-tahun sebelumnya. Angka karhutla menurun cukup tinggi ketika musim-musim basah, yakni ketika curah hujan cukup tinggi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Indonesia maupun presidennya tidak berpartisipasi apa-apa dalam penurunan laju deforestasi maupun kebakaran hutan dan lahan. Karena siklus alam jauh lebih berperan daripada klaim penguasa. Lebih aneh lagi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya malah mencuitkan bahwa pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi di Indonesia tidak boleh berhenti hanya karena deforestasi atau atas nama emisi karbon. Padahal deforestasi di Indonesia saat ini saja sudah mengkhawatirkan. Sekitar 4,7 juta hutan Indonesia masih hilang setiap tahunnya. Sementara penguasa malah menjadikan data penurunan deforestasi sebagai tameng pencitraan dan mengklaim bahwa pembangunan tidak boleh berhenti hanya karena deforestasi. Benar-benar hipokrisi.
Penderitaan akibat krisis iklim dialami oleh seluruh dunia, sementara kaum elit kapitalisme hanya mengajukan pencitraan dan sandiwara dengan COP26 sebagai solusi. Krisis iklim dunia maupun Indonesia pada dasarnya tidak akan pernah selesai jika solusi yang diajukan masih seperti ini. Pencitraan bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah iklim yang terus mengepung dunia dan masyarakat. Baik deforestasi maupun karhutla semuanya diakibatkan banyak penyebab, yang akhirnya menjadi masalah layaknya gunung es. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran, pertambangan dan eksploitasi lahan berlebihan, serta pembangunan infrastruktur raksasa, keseluruhan hal ini adalah penyebab utama deforestasi. Apalagi semua kegiatan tersebut telah mendapatkan perlindungan dari sistem perundang-undangan saat ini. Jadi, mau bagaimana mengatasi deforestasi dan emisi karbon?
Hakikatnya, solusi terbaik dari segala permasalahan manusia hanyalah Islam. Dengan kembali kepada Islam, maka manusia akan menemukan solusi terbaik, sebab Islam telah disertai dengan seperangkat peraturan yang disusun langsung oleh Rabb manusia, yakni Allah Subhanahu wa Taala. Sang Pencipta telah menugaskan manusia untuk mematuhi segala peraturan yang ada dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sungguh Rasulullah telah bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadits ini menjelaskan bahwa segala bentuk lahan sejenis padang rumput adalah tergolong ke dalam lahan kepemilikan umum. Dengan demikian, hutan adalah lahan kepemilikan umum yang tidak diizinkan untuk dimiliki secara pribadi seperti pada peraturan kapitalisme. Begitu pula seperti sumber daya tambang emas, batu bara ataupun bahan bakar fosil, hal-hal seperti ini adalah bentuk kepemilikan umum yang pengelolaannya harus di bawah penguasa negara islam dan dimanfaatkan untuk seluruh rakyat secara adil. Ketika hutan dimiliki sebagai properti pribadi oleh satu orang atau segelintir orang seperti saat ini, maka kekacauan dan kerusakan alam sudah pasti terjadi.
Maka, sangat penting untuk mengembalikan fungsi hutan dan sumber daya alam menjadi kepemilikan umum seperti yang dikelola oleh sistem Islam. Sehingga dengan demikian, mewajibkan seluruh masyarakat untuk bersatu padu untuk mengembalikan kehidupan islam kembali ke dunia ini. Hanya dengan menegakkan syariat Islam-lah maka krisis iklim bisa dikurangi, bahkan dihilangkan dengan izin Allah Subhanahu wa Taala sebagai pemilik alam yang sah. Wallahu’alam bisshawwab.
Views: 5
Comment here