Oleh: Sri Wulandari (Guru dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Sejak awal Februari keluhan masyarakat untuk mendapatkan LPG 3 kg terjadi di berbagai wilayah. Masyarakat harus antre berjam-jam untuk mendapatkan LPG 3 kg. Hal Ini terjadi karena pemerintah menerapkan kebijakan baru yang melarang penjualan LPG 3 kg atau lebih dikenal gas melon secara eceran. Kebijakan ini menyusahkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan, mulai 1 Februari 2025 pemerintah melarang penjualan gas LPG 3 kg ke pengecer dan mengalihkan penjualan hanya ke pangkalan (agen resmi PT Pertamina). Bahkan pengecer yang ingin melakukan penjualan elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi dari Pertamina. Kebijakan ini diterapkan karena pemerintah mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan dan penyaluran gas yang tidak tepat sasaran, bahkan ada laporan permainan harga di lapangan (Kompas.com, 15/2/25).
Akibat aturan tersebut, kelangkaan LPG terjadi di mana-mana. Selain itu, Kondisi ini nyatanya membawa kabar duka salah seorang Ibu di Pamulang Barat yang memiliki usaha warung nasi uduk, ditemukan meninggal dunia usai antri membeli elpiji 3 kg selama 2 jam di bawah terik matahari (detik.com, 15//2/25).
Setelah keributan dan protes dari masyarakat mengenai sulitnya mendapatkan LPG 3kg, pemerintah kembali memperbolehkan semua pengecer untuk menjual gas LPG 3 kg. Presiden Prabowo Subianto pada 4 Februari 2025 memberikan arahan kepada Menteri ESDM untuk mengaktifkan kembali izin pengecer berjualan gas LPG 3 kg dengan menertibkan pengecer jadi agen subpangkalan secara parsial. Akan tetapi, nyatanya kelangkaan gas LPG 3kg masih terus berlangsung hingga Kamis (6-2-2025) (bbc.com, 15/2/25).
Sebagai kebutuhan dasar, LPG harus dijamin ketersediaannya oleh pemerintah. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan pasokan LPG mencukupi dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika kebijakan baru justru memperparah kondisi rakyat, maka kebijakan tersebut perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan realitas di lapangan.
Pemerintah harus memastikan distribusi LPG berjalan adil dan merata, sehingga tidak ada daerah yang mengalami kelangkaan akibat permainan pasar. Selain itu, pengawasan terhadap oknum yang menimbun LPG harus diperketat agar tidak ada pihak yang mengambil keuntungan di tengah penderitaan rakyat.
Adanya Perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan agar pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk mendapatkan setok LPG 3kg adalah suatu keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem kapitalis adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem kapitalis juga memastikan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi untuk mengelola SDA yang dimiliki rakyat.
Melihat berbagai persoalan ini, telah membuktikan bahwa negara yang menerapkan sistem Kapitalisme tidak memiliki ketegasan terhadap kepemilikan. Bahkan, sistem kapitalisme sering kali mencampuradukkan kepemilikan umum dengan individu.
Oleh karena itu perubahan kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat mendapatkan haknya terhadap lingkungan yang hakikatnya merupakan harta milik rakyat. Mirisnya, pada saat yang sama kepemimpinan sekuler yang diadopsi negeri ini telah menjadikan penguasa lepas tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan asasi rakyatnya.
Kepemimpinan ini juga telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat (raa’in). Sebaliknya, penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan para korporasi atau pemilik modal meski rakyat harus dikorbankan.
Berbeda dengan sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam, termasuk LPG, merupakan amanah besar yang harus dijalankan oleh negara dengan penuh tanggung jawab. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya ini secara adil dan transparan demi kemaslahatan rakyat.
Lebih dari itu, Islam juga mengharamkan praktik penimbunan barang dengan tujuan mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain. Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka dengan azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR.Abu Dawud dan Ahmad).
Perserikatan di sini bermakna perserikatan dalam pemanfaatan, artinya semua rakyat boleh memanfaatkannya dan pada saat yang sama harta-harta yang termasuk ketiganya tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja seperti korporasi atau pemilik modal, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang.
Dalam halnya LPG, Khilafah akan memastikan produksi dan jalur distribusinya agar kebutuhan rakyat terpenuhi secara cukup dan tidak ada kesulitan. Tambang migas akan dikelola dengan baik oleh khilafah untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Terlebih negara dalam Islam di posisikan sebagai Raa’in atau pengurus umat didalam sistem Islam (khilafah) siapapun penguasa atau khalifah yang menjabat maka hukum Islam inilah yang diterapkan bukan yang lain sehingga kebijakan-kebijakan ekonominya justru dapat memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya termasuk migas.
Negara tidak boleh memberikan pengelolaan migas kepada perorangan/perusahaan. Migas dalam Islam ditetapkan termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in. Negara juga memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya dalam hal layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hak rakyat, termasuk migas. [WE/IK].
Views: 14
Comment here