Oleh Pramitha Putri
wacana-edukasi.com, OPINI-– Tahun 2024 belum genap sebulan berjalan. Namun kabar bencana alam terutama banjir sudah menghiasai berbagai laman berita baik cetak maupun elektronik. Banjir memang bukan hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Ibarat alah bisa karena biasa, masyarakat pun seakan sudah bersahabat dengan musibah yang satu ini dan sudah bersiap-siap manakala banjir melanda. Provinsi Kalimantan Barat misalnya, beberapa wilayahnya menjadi wilayah langganan banjir kurang lebih dalam 5 tahun tahun terakhir, dan Kabupaten Ketapang adalah salah satunya. Bencana banjir yang dulunya terjadi di setiap musim penghujan, kini seolah tak kenal musim. Berselang hitungan bulan, banjir kerap melanda berbagai desa dan kecamatan secara bergantian, dengan kerugian sosial serta ekonomi dan dampaknya kepada pendidikan serta kehidupan masyarakat yang tentu saja tidak bisa dihitung dengan angka semata.
November 2023 lalu misalnya, banjir melumpuhkan aktifitas delapan desa di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang. Akibat banjir, sejumlah prasarana umum terendam antara lain 3.964 unit rumah, 3 unit pasar, 12 unit sarana pendidikan, 6 unit sarana kesehatan, 15 unit sarana ibadah, 2 unit kantor desa, 1 unit kantor bumdes, dan 2 unit gedung lainnya. Sekolah juga diliburkan beberapa waktu. (bnpb.go.id/27/11/2023)
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini pun turun langsung menyalurkan bantuan bagi 17.407 jiwa yang terdampak. Saat mengunjungi korban banjir, Mensos Risma memberikan bantuan antara lain 20 paket alat dapur, 100 selimut, kids wear 24 paket, 25 kasur, 200 paket lauk pauk siap saji, 150 kompor gas, 5 dus popok, 110 paket sandang dewasa, dan 80 paket sandang anak. Sebelumnya Kemensos juga menyalurkan 800 makanan siap saji. Ia juga memastikan akan membangun lumbung sosial di beberapa wilayah. (antaranews.com/12/12/2023)
Kementerian Sosial (Kemensos) sendiri telah membangun sebanyak 591 lumbung sosial sepanjang 2022-2023 di berbagai wilayah Indonesia. Menurut Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Sosial Kemensos, Andriana Pudjalaksana, lumbung sosial merupakan upaya Kemensos dalam memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Yakni dengan menyediakan fasilitas dan prasarana logistik dekat dengan lokasi bencana untuk mendukung kesiapsiagaan. Pembangunan lumbung sosial ini juga seiring dengan pendirian Kampung Siaga Bencana. Tujuannya untuk memudahkan warga menjangkau bantuan dengan cepat dan kebutuhan pokoknya tercukupi jika terjadi bencana. Dia mengatakan, anggaran penanganan bencana Kemensos di 2024 mencapai Rp537 miliar. Anggaran ini menurutnya akan digunakan untuk upaya mitigasi maupun respon terhadap bencana (rri.co.id/15/12/2023).
Pelaksana Tugas Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial Adrianus Alla mengatakan, saat ini ada 532 lumbung sosial yang tersebar di 28 provinsi dan 159 kabupaten/kota. Lumbung sosial ini berisi stok bantuan jika terjadi bencana, seperti tenda, makanan siap saji, makanan bayi, dan genset. Ada juga lumbung sosial yang menyimpan alat pemurnian air, termasuk pompa air dan tandon. Lumbung sosial ini diprioritaskan dibangun pulau-pulau terluar, seperti Pulau Enggano (Bengkulu), pulau-pulau Kalimantan Utara seperti Sebatik dan Nunukan, termasuk juga di Sumatera Barat, yaitu Pulau Mentawai, dan Pulau Nias (kompas.id/7/9/2023).
Lumbung sosial adalah solusi praktis yang mungkin bisa diandalkan sebagai solusi jangka pendek untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang terdampak banjir dan bencana lainnya. Namun pada faktanya, penyaluran bantuan di lapangan seringkali menghadapi masalah teknis lainnya seperti akses atau sarana dan prasarana yang tidak memadai, data lapangan yang tidak sesuai, serta adanya kasus lungutan liar (pungli) dan korupsi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka lumbung sosial ini pun sangat mungkin menghadapi kondisi yang sama selama permasalahan-permasalahan tersebut tidak diselesaikan.
Sebagai solusi parsial dan langkah jangka pendek, tentu kita tidak bisa bergantung pada lumbung sosial. Alangkah lebih baik ketika persoalan banjir itulah yang diselesaikan mengingat banjir tidak semata-mata hadir begitu saja sebagai bencana dari Yang Maha Kuasa. Menurut pakar ekologi, banjir di Kalimantan Barat sefara umum terjadi karena adanya keruskan ekologis yaitu pembalakan hutan dan tata guna lahan uagal-ugalan pada wilayah hulu daerah alirang sungai (DAS). Perlu dikaji secara komprehensif dan peninjauan ulang penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, jika ini sebagai penyebab uatama keruskan hutan di DAS hulu, maka upaya pengurangan resiko banjir harus menjadi perioritas Pemprov Kalbar dan Pusat. Selain itu, para ahli ekologi mengatakan bahwa penanganan masalah baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, akan lebih efektif jika diselesaikan pada sumbernya. Karena dampaknya sangat nyata bahwa 3 sungai besar di kalbar telah mengalami pendangkalan akibat kerusakan ekosistem hutan pada Hulu DAS, mengakibatkan selain tidak dapat menampung derasnya air hujan, juga air yang mengalir dari hulu ke lautnya sangat lambat (walhi 2020 (pontianak.tribunnews.com/13/10/2022)
Berdasarkan pengkajian mendalam tersebut, akan didapati bahwa bencana banjir bahkan bencana lainnya adalah hasil dari kerusakan alam yang bersifat sistemis dan harus diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem yang menyebabkan tidak menentunya musim misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang semakin sesuka hati terhadap lingkungan, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.
Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme yang semakin makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi pada faktanya semamin menjadi. Curah hujan tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebang dengan semena-mena, tanah resapan tidak dibeton, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi bencana bagi manusia.
Peraturan yang dikeluarkan dan dihasilkan dari pemikiran manusia yang serba terbatas pun seakan memihak kepada para pemilik modal dan perusahaan tanpa peduli dampak negatif yang dihasilkannya kepada masyarakat dan alam. Maka penting untuk mengembalikan keseimbangan dan pengaturan alam kepada Allah. Islam mengajarkan adab terhadap alam dan dinilai sebagai bagian dari iman. Pengelolaan alam dan kepemilikannya diatur dengan mekanisme yang begitu sempurna sehingga tidak akan ada eksploitasi lahan seperti yang terjadi saat ini. Dengan demikian kemungkinan terjadinya bencana alam karena kerusakan alam dapat diminimalisir dan taraf kehidupan masyarakat pun dapat ditingkatkan.
Wallahu’alam.
Views: 18
Comment here