Penulis: Dewi Fitratul Hasanah (Pendidik Generasi, Pemerhati Sosial dan Member AMK)
Wacana-edukasi.com — Ibarat seorang yang sedang panik karena hampir tenggelam, seutas jerami dihadapannya pun diraih untuk pegangan.
Begitulah kiasan yang sepadan dengan tindakan pemblokiran terhadap sebuah film dokumenter sejarah, Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) yang ditayangkan secara streaming di media sosial YouTube pada Minggu, 20 Agustus 2020.
Beberapa pekan sebelumnya, tim panitia JKdN telah membuka pendaftaran gratis bagi semua netizen yang hendak menyaksikannya. Antusiasme dan dukungan para tokoh dari berbagai elemen masyarakat membludak. Bahkan, tagar #JKdN dan #Khilafah sempat merajai trending topik di twiter.
Nicko Pandawa sebagai sutradara film JKdN, menjelaskan bahwa film yang ia buat ini bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, sebab melandaskan penelitian dan riset yang panjang baik dari sumber primer maupun sekunder serta data lapangan yang tersebar dari ujung Sumatra, Aceh, Jawa, hingga ujung timur Ternate dan seterusnya.
Namun sayang, di tengah pemutaran film terjadi pemblokiran berisi keterangan keluhan hukum oleh pemerintah yang terpampang di dinding virtual. Para netizen kesulitan masuk dan tidak tidak bisa mengakses link film JKdN. Tayangan berkali-kali di-“Takedown”. Pun, terdapat upaya-upaya peralihan dengan munculnya link-link film JKdN palsu, dimana judul dan isi tak berkorelasi.
Masyarakat merasa kecewa, marah dan bertanya-tanya. Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain pun meminta pemerintah memberikan alasan pemblokiran film tersebut.
“Dengan ini saya meminta jawaban resmi dari pak @Jokowi sebagai Presiden RI, Yai Ma’ruf Amin dan pak @Mohmahfudmd: “Apa alasan keluhan Pemerintah atas video Jejak Khilafah sebagai sejarah?” Apakah ada hukum negara yang dilanggar? NKRI negara hukum, tidak boleh sewenang-wenang,” tulis Tengku Zul di akun twitternya, Kamis (20/8)
Masyarakat berspekulasi kuat bahwa tindakan pemblokiran itu adalah bentuk kepanikan akut. Bagaimana tidak, notabene JKdN hanyalah sebuah persembahan karya berupa film yang menjelaskan sejarah masuknya Islam di Nusantara kepada masyarakat sebagai mayoritas muslim di Indonesia.
Karenanya, Menyabotasenya secara pongah, memfitnahnya dan menjahatinya adalah sebuah tindakan gegabah, unfair yang memalukan dan memilukan. Di mata masyarakat, film JKdN hadir bak oase yang membasahi kerontangnya tsaqofah umat diantara serbuan tontonan tanpa tuntunan yang selama ini deras beredar tanpa adanya filter.
Meskipun pada akhirnya film JKdN berhasil ditayangkan, namun upaya penghadangannya tak bisa dibenarkan. Bagaimana bisa sebuah film yang bertujuan memberi wawasan dan edukasi tentang fakta sejarah Islam sedemikan dihadang-hadang, sementara film porno dan tontonan kebebasan pergaulan yang jelas-jelas menimbulkan kerusakan pada generasi dan umat dibiarkan bebas melenggang. Aneh bukan?.
Jika menilik pada sistem yang dijadikan tumpuan di negeri ini yakni demokrasi kapitalisme, tampak sedemikian transparan sekaligus mengkonfirmasi bahwa sistem sekulerisme-kapitalisme ini getol menyuburkan kefasadan dengan selalu memusuhi dan menjauhkan Islam dari umatnya.
Para musuh Islam selalu berlindung dibalik jabatan dan kekuasan, merasa terancam dan ketakutan. Mereka sangat memahami, apabila umat Islam telah bersatu dan bangkit, maka kekuasaan, jabatan, dan harta benda yang dimiliki tak bisa lagi dinikmati untuk ego kerakusan duniawi mereka yang tak pernah kenyang. Karenanya, mereka selalu menyusun rencana untuk menghancurkan/memerangi kebenaran Islam.
Mereka yakin ketika umat Islam bangkit dan memahami sejarah yang sebenarnya, Islam akan kembali berjaya dan menjadi peradaban agung. Sebaliknya ideologi kapitalis akan gulung tikar dan terbenam di dasar jurang peradaban yang abadi.
Dalam pertarungan intelektual tidak semestinya ada sebuah penjegalan, pemerintah seyogianya mendudukkan perkara pada tempatnya serta menerima aspirasi dari masyarakat sebagai wujud keadilan sosial bukan melakukan jalan pintas berupa penjegalan.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf [7] : 96)
Khususnya sebagai negeri mayoritas muslim, mengedepankan adab bertabayyun haruslah menjadi prioritas demi menemukan kebenaran dan keadilan. Sayangnya, sistem kapitalisme menjadikan umat terbelah justru karena enggan mencari kebenaran.
Sungguh penerapan Islam dalam bernegara adalah salah satu jalan sebagai solusi sempurna agar hak dan batil sesuai pada tempatnya. Dalam sistem Islam takkan ada tindakan main jegal tatkala tak mampu menyanggah secara intelektual. Wallahu a’lam bishshawaab.
Views: 9
Comment here