Oleh: Berliana Sukma Fadzilah (Mahasiswa)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Ramadan merupakan tamu agung yang Allah limpahkan banyak pahala di dalamnya. Bulan istimewa, penuh keberkahan, pahala dilipatgandakan, pintu ampunan dibuka seluas-luasnya. Tapi, bagaimana jika di bulan keberkahan ini masih banyak kemaksiatan, kejahatan, dan pelanggaran hukum syarak? Itulah yang terjadi sekarang. Sejumlah wilayah, seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Banda Aceh, dan lainnya, menerbitkan Surat Edaran (SE) pembatasan jam operasional sampai pelarangan operasi Tempat Hiburan Malam (THM) selama bulan Ramadan. Pemerintah mengklaim dengan penyesuaian ini, masyarakat tetap dapat menikmati hiburan dengan tidak menganggu waktu berbuka dan ibadah malam lainnya. (Kompas.com, 25/2/2025)
Pembatasan jam operasional tempat hiburan dan sejenisnya mencerminkan bahwa kebijakan penguasa tidak sepenuhnya memberantas kemaksiatan. Sebenarnya, bentuk kemaksiatan tidak hanya berzina, minum khamar, berjudi, korupsi, mencuri, dll., tetapi setiap pelanggaran kepada syariat Allah merupakan sebuah kemaksiatan. Sistem kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalisme yang diterapkan merupakan sistem politik yang merusak dan dikendalikan oleh kekuatan modal.
Jika dilihat dari sudut pandang sekuler, halal-haram tidak akan menjadi standar baku dalam menilai sesuatu. Sistem ini juga meniscayakan paradigma asas kemanfaatan. Artinya, selama barang dan jasa—tempat hiburan—ada yang menginginkan dan membutuhkan maka dianggap produk ekonomi yang boleh dikelola dan dinikmati. Meski aktivitasnya unfaedah, campur baur laki-laki dan perempuan, aurat dimana-mana, selama mendatangkan keuntungan, tidak ada pelarangan pendirian tempat-tempat tersebut. Negara hanya akan mengelola agar legal dan berizin.
Inilah bukti nyata adanya sekularisasi. Kemaksiatan sepertidala ini menunjukkan gagalnya sistem pendidikan sekuler. Kini kurikulum pendidikan yang ada fokus menanamkan nilai-nilai material dan mengabaikan aspek spiritual. Walhasil, individu yang ada tidak berpegang pada syariat dalam memilih hiburan maupun dalam membuka usaha dan pekerjaan.
Padahal seharusnya, Ramadan adalah kesempatan bagi umat Islam untuk tunduk secara total terhadap syariat Allah Swt, bukan hanya tentang puasa, tetapi kewajiban-kewajiban lainnya.
Kemaksiatan hanya akan diberantas dalam naungan sistem Islam kaffah. Dalam ketentuah hukum Islam, negara akan mencegah dan menindak segala bentuk kemaksiatan dan keharaman. Sistem ekonomi Islam pun juga terbukti menjamin keberkahan dan keadilan, dengan cara diantaranya:
Pertama, negara akan melarang pendirian bisnis-bisnis haram atau pelaku industri yang memproduksi barang haram. Misalnya, miras yang dijual di tempat hiburan malam. Allah Swt. dengan tegas berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Nabi saw. juga tegas bersabda,
“Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (HR Muslim).
Dalam Islam, orang yang meminum khamar dikenai hukuman, seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang mengonsumsi khamar, maka cambuklah ia. Jika ia mengulangi, maka cambuklah. Jika ia mengulangi lagi untuk yang ketiga atau keempat kalinya, maka bunuhlah ia.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Kedua, negara akan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada individu hingga pejabat negara melalui sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam. Tata sosial dan interaksi masyarakat juga diatur sesuai Islam dalam rangka mencegah masyarakat berbuat mungkar. Sistem pendidikan ini akan melahirkan sosok yang memiliki standar perbuatan berdasarkan Islam. Bukan hanya kesenangan materi atau sekadar motif ekonomi, yakni meraih keuntungan, tetapi mereka akan memilih aktivitas yang Allah ridhai. Rasul saw. bersabda:
“Pedagang yang senantiasa jujur dan amanah (akan dibangkitkan pada Hari Kiamat) bersama para nabi, shiddiqin, dan para syuhada.” (HR At-Tirmidzi)
Allah Swt. juga memerintahkan para penguasa untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya, bukan sebagai pendapatan negara yang utama seperti yang terjadi hari ini.
Ketiga, negara menegakkan sanksi Islam yang memberi efek jera bagi pelaku maksiat. Misalnya, sanksi bagi pelaku judi—di tempat hiburan malam—berupa takzir yang berbeda-beda sesuai kadar kesalahannya. Takzir secara syar’i yang dimaksud adalah sanksi yang ditetapkan atas maksiat yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Definisi takzir tersebut digali dari nas-nas yang menerangkan tentang sanksi-sanksi yang bersifat edukatif.
Keempat, pendapatan yang ditetapkan negara hanya dari sumber keuangan yang halal dan telah diatur dalam baitulmal. Seburuk apa pun kondisi keuangan, negara tidak akan menghalalkan segala cara. Ketika kas baitulmal kosong, pemerintah Islam akan memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya yang muslim. Kebijakan ini bersifat sementara dan berakhir ketika kebutuhan tersebut terpenuhi atau kas negara terisi kembali.
Dengan demikian, aspek kehidupan termasuk hiburan dan pariwisata akan berlandaskan akidah Islam, dan bukan dengan asas kemanfaatan. Segala aktivitas yang menjerumuskan pada kemaksiatan akan dilarang. Akan diterapkan sanksi tegas yang menjerakan. Kehidupan manusia akan berjalan sesuai syariat Islam dan diatur oleh negara.
Views: 1
Comment here