Lahirnya Permendikbud PPKSP sesungguhnya dilatarbelakangi oleh meningginya angka tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Pada tahun 2022 kasus pengaduan yang masuk ke KPAI pada perlindungan khusus anak mencapai 2.133 kasus.
Oleh: Siti Muslikhah
wacana-edukasi.com, OPINI– Pada Selasa (8/8/2023) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim resmi meluncurkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbudristek, Jakarta. Permendikbud PPKSP ini merupakan program Merdeka Belajar episode ke-25 dan penyempurnaan dari Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan.
Tujuan dari peluncuran Permendikbud PPKSP adalah untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu Permendikbud PPKSP ini juga bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis sambil memberikan prioritas pada perspektif korban.
Salah satu implementasi dari Permendikbud PPKSP ini adalah mewajibkan satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga diwajibkan membentuk Satuan Tugas (Satgas). Lama waktu pembentukan TPPK dan Satgas ini adalah 6 sampai 12 bulan setelah peraturan ini diundangkan. Tugas kedua tim tesebut adalah menangani masalah kekerasan dan memastikan pemulihan korban.
Lahirnya Permendikbud PPKSP sesungguhnya dilatarbelakangi oleh meningginya angka tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Pada tahun 2022 kasus pengaduan yang masuk ke KPAI pada perlindungan khusus anak mencapai 2.133 kasus. Dari hasil survei Asesmen Nasional pada 2022 juga menunjukkan bahwa 34,51% siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 35,31% (1 dari 3) berpotensi perundungan. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian PPPA pada 2021 ditemukan 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan berumur 13 – 17 tahun mengakui pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan dalam satu tahun terakhir (itjen.kemdikbud.go.id, 8/8/2023)
Jika kita lihat ke belakang, regulasi serupa telah banyak diterbitkan. Ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang PPKS di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, juga UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022. Bahkan yang terbaru adalah Permenag Nomor 73 Tahun 2023 tentang PPKS pada Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama. Namun, semua regulasi tersebut dinilai gagal dalam menyelesaikan persoalan. Buktinya angka tindak kekerasan di lingkungan sekolah malah semakin tinggi. Sebab semua regulasi itu tidak menyentuh akar persoalan.
Maka harus ada upaya yang serius untuk memperoleh solusi yang dapat menuntaskan persoalan ini. Tidak sekadar mengubah-ubah regulasi saja tetapi harus menelaah lebih dalam akar persoalannya.
Jika kita telisik, ada beberapa faktor yang memengaruhi tingginya tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Pertama, sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini berlandaskan sekularisme yang berfokus pada nilai akademik saja. Sedangkan nilai agama cenderung diabaikan. Hal ini terbukti dari materi pelajaran agama hanya diberi jatah dua jam dalam sepekan.
Kedua, keluarga yang broken home, ataupun keluarga yang ayah dan/ ibunya abai terhadap pengasuhan, akan melahirkan anak-anak yang berkepribadian keras dan susah berempati. Ketika melihat teman yang dirundung atau dianiaya cenderung tidak akan merasa iba. Kurangnya kasih sayang dari keluarga menjadi penyebabnya.
Ketiga, media sosial yang menawarkan kemudahan bagi anak untuk mengakses adegan-adegan kekerasan akan memicu rangsangan perlakuan tindak kekerasan.
Semua itu terjadi akibat penerapan sistem kehidupan sekuler dan liberal. Sistem ini telah menjadikan individu, keluarga, masyarakat dan negara jauh dari agama. Lihat saja potret kehidupan hari ini. Banyak orang yang mudah sekali terjerumus dalam tindak kejahatan, mulai dari perundungan, tawuran, pembunuhan, dan segudang masalah lainnya.
Lemahnya ketakwaan dalam keluarga menjadi malapetaka bagi anggotanya. Mereka bebas melakukan apapun yang dianggap sebagai solusi permasalahan. Banyak kasus suami membunuh istri hanya karena hal sepele, seorang ibu menganiaya dan membunuh anaknya hanya karena tekanan ekonomi dan permasalahan dengan suami. Padahal, ayah dan ibu seharusnya menjadi orang terdepan yang melindungi anak-anak dari kejahatan.
Selain itu sistem kehidupan sekuler menjadikan fungsi kontrol dari masyarakat dan negara menjadi lemah. Masyarakat tabu untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar ketika melihat anggota masyarakat lainnya melakukan penyimpangan terhadap agama. Kehidupan individualis seperti ini membuat masyarakat sibuk dengan urusannya sendiri dan abai dengan urusan atau masalah yang terjadi di sekitarnya.
Negara juga abai dalam melindungi masyarakat dari pengaruh buruk media sosial. Konten-konten yang merusak masyarakat seperti game yang berbau kekerasan dibiarkan beredar. Tidak ada sanksi tegas yang membuat jera produsen dan penyebarnya.
Maka kehidupan sekuler ini harus segera diakhiri. Percuma membuat banyak regulasi jika asasnya masih sekuler. Semua itu tidak akan membawa perubahan apa-apa. Alih-alih menyelesaikan persoalan, yang terjadi justru menambah masalah baru. Sebab akar persoalannya adalah penerapan sistem sekuler kapitalis yang rusak.
Islam adalah satu-satunya solusi untuk memecahkan setiap persoalan kehidupan manusia termasuk masalah kekerasan yang ada di lingkungan pendidikan. Terbukti ketika Islam diterapkan selama 1300 tahun lamanya, Islam mampu melahirkan generasi emas peradaban. Imam Asy-Syafi’i, Muhammad A-Fatih, Ibnu Shina dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka adalah cerminan output dari sistem pendidikan Islam dalam sebuah negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah yaitu Khilafah.
Dalam Islam, negara adalah pihak yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga kehidupan bermasyarakat termasuk sekolah. Maka negara akan memastikan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Hal ini akan menjadikan setiap peserta didik memiliki fondasi agama yang kuat dalam berinteraksi sosial. Sebab dengan memahami agama, setiap peserta didik akan memahami tujuan hidupnya di dunia, yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt. dan menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Hal ini akan menjamin tercegahnya tindak kejahatan.
Negara juga akan menjamin kesejahteraan setiap keluarga. Membuka lebar lapangan pekerjaan bagi para kepala keluarga. Dengan begitu ibu akan fokus melaksanakan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait yaitu sebagai ibu dan pengurus rumah tangga sekaligus madrasatul ula atau sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kehidupan rumah tangga yang dilandasi ketakwaan akan melahirkan generasi emas yang siap membangun peradaban yang gemilang.
Alhasil, mengembalikan kehidupan Islam menjadi perkara penting bagi seluruh kaum muslimin. Sebab penerapan Islam secara kaffah akan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi. Maka bukan hanya lingkungan sekolah yang akan merasakan kehidupan yang aman dan damai tapi juga seluruh umat manusia.
Allah Swt. berfirman: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”(TQS al-A’raf ayat 96).
Wallahu a’lamu bishawab.
Views: 11
Comment here