Surat Pembaca

Mampukah Sistem Zonasi, Wujudkan Pendidikan yang Merata dan Berkualitas?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Terwujudnya pendidikan yang merata dan berkualitas masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Tujuh tahun lalu, sebuah aturan terkait penerimaan peserta didik baru yang disebut sistem zonasi di jenjang SD hingga SMA diberlakukan di negeri ini. Peraturan tersebut diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berharap dapat menghilangkan stigma sekolah favorit, pemerataan layanan pendidikan dan memberikan peluang sekolah yang bukan favorit untuk berproses lebih unggul.
(www.kumparan.com)

Namun, sejak diberlakukan sistem zonasi ini bukannya memunculkan perbaikan kualitas dan pemerataan pendidikan, justru banyak ditemukan praktik-praktik curang.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, telah ditemukan kecurangan dalam bentuk Kartu Keluarga (KK) palsu, alamat domisili yang tidak sesuai KK, hingga praktek suap berupa jual beli kursi.
(www.detik.com)

Sementara di Jawa Tengah, sebanyak 30 aduan terkait masalah pendaftaran PPDB 2024 telah masuk melalui Kepala Ombudsman. Kepala Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida menyebutkan, aduan terbanyak terkait dengan kuota penerimaan melalui jalur afirmasi. Banyak masyarakat yang mempertanyakan terkait data siswa tidak mampu.
(www.rri.co.id)

Kurangnya daya tampung jalur zonasi Sekolah Negeri, sejatinya telah menambah persoalan PPDB. Beberapa kalangan menilai bahwa alasan zonasi untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas layak ditinjau ulang, mengingat realita di lapangan yang justru membawa banyak praktik buruk yang berujung pada diskriminasi.

Berbagai persoalan dalam sistem PPDB di negeri ini, sejatinya tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah sistem pendidikan sekuler-kapitalis. Inilah akar persoalan sesungguhnya. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis meniscayakan pendidikan mahal sehingga sulit diakses oleh masyarakat, sebab pendidikan dalam sistem ini dipandang sebagai jasa yang boleh dikomersilkan (diperjualbelikan).

Sistem politik Demokrasi Kapitalis yang diterapkan meniscayakan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Alhasil, pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam pendidikan, termasuk menyediakan sarana prasarana pendidikan. Bahkan, pemerintah memandang bahwa kurangnya daya tampung pendidikan yang disediakan oleh negara, mengharuskan negara bermitra dengan swasta.

Sementara pada saat yang sama, negara lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan dan memfasilitasi pendidikan warga negaranya. Oleh karena itu, selama yang diterapkan sistem Kapitalisme, maka problem pemerataan mutu pendidikan tidak akan pernah tuntas. Rakyat akan terus merasakan ketidakadilan dan kecurangan yang diproduksi sistem ini.

Berbeda dengan sistem Islam dalam Khilafah. Kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan, hal ini karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dinyatakan:

“Seorang Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari)

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum shahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.

Negara sebagai penanggung jawab seharusnya tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta. Meski demikian, sekolah swasta tetap diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan, namun keberadaan pihak swasta ini tidak sampai mengambil alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.

Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara Khilafah mengatur anggaran secara sentralisasi (terpusat). Seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari Baitul Maal yakni dari pos fai’ dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Dengan mekanisme ini, terjamin pemerataan pendidikan Islam di seluruh wilayah negara, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh negara, baik secara kualitas maupun kuantitas, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh, sehingga tercapai pendidikan yang optimal untuk membangun peradaban yang gemilang.

Ada tiga prinsip yang diterapkan negara Khilafah dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya, yakni kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini, kerumitan mendaftar sekolah bisa diminimalisasi.

Bukankah sistem pendidikan yang seperti inilah yang kita idam-idamkan? Sistem pendidikan yang mampu menyediakan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 10

Comment here