Opini

Maraknya Kasus Bunuh Diri, Menggali Akar Masalah dan Solusi Krisis Kesehatan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dr. Sara Respati (Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi)

wacana-edukasi.com, OPINI– Angka kasus bunuh diri di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Kepolisian RI (Polri), sejak Januari hingga Juli 2023 tercatat sebanyak 640 kasus bunuh diri di Indonesia. Jumlah ini meningkat 31,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebanyak 486 kasus. Angka bunuh diri yang dilakukan oleh remaja ataupun mahasiswa juga mengalami peningkatan. Fakta naiknya tren bunuh diri ini mengindikasikan bahwa Indonesia sedang darurat kesehatan mental. Hasil survei menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Jumlah ini setara dengan 15,5 juta remaja Indonesia telah terkena gangguan mental. Gangguan mental ini didominasi oleh gangguan cemas (dataindonesia.id/, 26/10/2023).

Ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan hidup yang begitu pelik dan terdapat gangguan mental pada dirinya, maka terdapat kemungkinan bahwa dirinya akan memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu dengan mengakhiri hidup. Bunuh diri seolah-olah merupakan wujud dari rasa putus asa dalam menyelesaikan permasalahan atau mencari jalan keluar terbaik dari permasalahan yang ada saat ini. Meningkatnya angka bunuh diri menunjukkan bahwa banyak orang yang menganggap hidup tidak lagi bermakna.

*Identifikasi Penyebab Bunuh Diri*

Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan (6/9/2022), penyebab utama bunuh diri adalah kondisi depresi pada individu. Depresi menjadi problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor empat penyakit di dunia dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama.

Sementara itu, kasus bunuh diri merupakan masalah yang serius. Menurut WHO (2019), sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun, di dunia. Usia muda menduduki angka tertinggi yang melakukan tindakan bunuh diri. Di Asia Tenggara sendiri, Thailand merupakan negara dengan angka kasus bunuh diri tertinggi yaitu 12,9 (per 100.000 populasi), disusul Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), lalu Indonesia (3,7), dan Filipina (3,7). Perilaku bunuh diri, baik ide, rencana, dan tindakan bunuh diri dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, misalnya gangguan depresi. Gangguan mental menjadi salah satu faktor terkuat yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri.

*Urgensi Kesehatan Mental yang tak Dipandang Holistik*

Saat ini, kesehatan mental hanya dilihat sebatas sebuah penyakit yang perlu penanganan psikologis. Akhirnya dapat kita jumpai penanganan kesehatan mental pada umumnya sebatas curative (penyembuhan). Ditambah dengan ditemukannya surat yang ditulis oleh mahasiswi UMY pelaku bunuh diri yang menggambarkan adanya masalah internal keluarga. Maka, hal ini menguatkan asumsi mereka bahwa kesehatan mental adalah sebatas masalah internal. Padahal, kondisi mental seseorang dipengaruhi oleh kehidupannya secara luas dan sangat variatif, seperti kondisi ekonomi, pendidikan dalam keluarga, sekolah dan kondisi lingkungan sekitarnya.

Ilmu psikologi saat ini dipandang sebagai ilmu yang dibangun berlandaskan pengamatan yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap manusia dalam kondisi yang berbeda. Pengamatan yang dilakukan secara berulang kali inilah yang dinamakan sebagai “eksperimen ilmiah”. Padahal, sebuah pengamatan yang berkenaan dengan manusia, diperlukan metode rasional. Metode rasional adalah metode alamiah untuk menghasilkan kesadaran/pemahaman (al-idrak, comprehension). Proses metode rasional akan dapat mewujudkan kesadaran atau pemahaman terhadap pengamatan yang dilakukan.

Jika ditelaah secara detail, dalam diri manusia terdapat dua potensi. Potensi pertama yakni kebutuhan jasmani; misalnya rasa lapar, haus, atau buang hajat. Potensi yang kedua dapat dimasukkan naluri, yaitu naluri beragama, naluri mengembangkan dan melestarikan keturunan, serta naluri untuk mempertahankan diri. Naluri ini muncul ke permukaan diri manusia dalam bentuk perasaan-perasaan lemah, kurang atau tidak mampu, perasaan untuk melestarikan keturunannya dan perasaan untuk mempertahankan diri. Selain dari tiga naluri di atas maka hal-hal yang muncul hanyalah manifestasi dari masing-masing naluri tersebut, seperti rasa takut, stres, hingga depresi, dan cinta kekuasaan yang merupakan manifestasi dari naluri mempertahankan diri. Hal yang sama berlaku untuk manifestasi lainnya yang dapat direduksi menjadi tiga jenis naluri (An-Nabhani et al., 2001).

Saat ini, ilmu psikologi umumnya didasarkan pada perspektif naluri manusia dan otak manusia. Para ahli psikologi meyakini bahwa manusia mempunyai banyak naluri. Ada yang sudah diketahui dan ada pula yang belum terungkap. Berdasarkan pandangan yang salah tentang naluri ini, para psikolog telah membangun dan mengembangkan banyak teori yang salah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kerancuan pada sebagian besar pemikiran yang terkandung dalam psikologi. Maka, tak heran jika berbagai upaya penanganan kesehatan mental di level internasional pun hanya sebuah irisan-irisan dari solusi yang fundamental dan menyeluruh.

*Melihat Kesehatan Mental Secara Komprehensif*

Banyak studi yang menitikberatkan kunci kesehatan mental adalah pada internal atau lingkungan keluarga. Adanya argumentasi umum ini adalah argumentasi dengan pengambilan kesimpulan yang dangkal. Jika ditelisik secara detail, terdapat pilar-pilar kehidupan yang tidak bekerja dalam sistem saat ini. Penerapan sistem sekuler kapitalisme melumpuhkan peran keluarga, masyarakat dan negara dalam membentuk generasi islami yang tangguh.

_Kehidupan keluarga._ Saat ini banyak anak kaum muslim yang tumbuh dewasa dalam lingkup keluarga dan lingkungan yang jauh dari Islam. Di tengah keluarga, banyak orang tua yang tidak menanamkan nilai keislaman. Orang tua saat ini pada umumnya lebih melihat prestasi akademik anak dan tidak peduli apakah anaknya dekat dengan Al-Qur’an atau tidak. Banyak orang tua yang mendidik anak-anaknya tidak sesuai pedoman Al-Qur’an. Anak-anak mereka begitu akrab dengan kecanggihan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, hiruk pikuk dunia selebritas dalam dan luar negeri, fasih menghafal lagu-lagu asing, dan semisalnya. Sebaliknya, di antara mereka ada yang tidak diajarkan tata cara bersuci, tidak tau cara mandi junub, tidak dikenalkan halal haram, menjaga aurat, dan lainnya. Padahal Allah Swt. telah memerintahkan orang tua dengan firman-Nya, _“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)._ Bukankah itu berarti orang tua harusnya terlebih dahulu paham tentang apa saja perintah dan larangan Allah Swt. yang membuat seorang muslim dibakar api neraka?

_Kehidupan masyarakat dan sekolah._ Keterasingan Islam dari dunia anak-anak kita tidak terjadi secara alamiah melainkan merupakan hasil proses yang disengaja. Indonesia, negara mayoritas Muslim, telah lama menerapkan kebijakan sekularisasi di segala bidang, termasuk pendidikan. Akibatnya, pendidikan agama sangat minim di semua jenjang pendidikan. Isinya juga sangat terbatas dan tidak jarang tenaga pengajarnya berkualitas rendah. Program pendidikan yang dianut saat ini merupakan program sekuler yang menjauhkan manusia dari aturan Allah swt.. Ditambah dengan adanya program moderasi beragama yang tersistematis masuk ke pendidikan yang tujuannya tak lain adalah menjauhkan peserta didik dari Islam. Akibatnya, generasi muda dididik dari perspektif sekuler dan kapitalis. Tingkat kebahagiaan tertinggi dalam hidup adalah mencapai kesenangan materi dan duniawi sebanyak-banyaknya. Jika mereka gagal melakukan hal tersebut, maka depresi tidak bisa dihindari. Sehingga perilaku mereka tidak lagi dikontrol oleh standar halal-haram, namun diukur dengan kacamata materi seperti harta dan kedudukan. Masyarakat yang terbentuk akhirnya adalah masyarakat individualis kapitalistik.

_Peran negara._ Media memainkan peran yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kesehatan mental setiap individu. Hal ini memerlukan peran negara dalam mengontrol dan mengawasi media dalam menyebarkan informasi dan hiburan. Tidak jarang generasi muda meniru gaya hidup liberal dan sekuler melalui tayangan yang mereka tonton setiap hari tanpa filter yang tepat. Di sinilah peran negara terkesan steril, sekadar menjamin kepastian konten film atau acara bertema liberal dan sekuler dan mendatangkan keuntungan besar. Akibat serangan pemikiran sekularisme yang kuat, generasi kita mempunyai psikologi dan kepribadian yang rapuh dan lemah. Sering kali mereka terlalu sibuk dengan kesenangan sementara seperti bermain media sosial tanpa batas sehingga lupa bagaimana menjalani hidup dan menyelesaikan masalah dalam perspektif Islam.

*Solusi Islami dalam Mengatasi Krisis Kesehatan Mental dan Mencegah Bunuh Diri*

Islam menegaskan bahwa kebahagiaan hakiki seorang muslim adalah meraih ridha Allah Ta’ala. Islam sebagai ideologi sempurna yang mewajibkan Negara (Khilafah) menjaga, melindungi, dan menjamin kehidupan warganya. Islam memang memberikan pijakan individual bahwa ketakwaan dan ketawakalan seorang hamba menjadi modal besar dan pedoman utama menjalani kehidupan. Akan tetapi, di sisi lain Islam juga memberikan pilar-pilar yang harus diwujudkan oleh penguasa bagi rakyat yang dipimpinnya.

Penguasa dalam Islam memahami dengan sungguh-sungguh bahwa rakyat adalah amanah, layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. _Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari dan Ahmad)._

Rasulullah saw. juga Khulafaurasyidin dan khulafa setelahnya, selain menerapkan hukum-hukum Allah Ta’ala, juga berperan menjaga hak-hak kaum muslim beserta seluruh rakyat untuk menjamin kebahagiaan mereka, tidak terkecuali kebutuhan asasi/primer bagi hidup mereka.

Negara akan membina dan mengedukasi para orang tua agar dapat mengimplementasikan pendidikan dan pengasuhan sesuai akidah Islam, sebab orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Selain itu, negara akan menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam. Kurikulum pendidikan Islam telah mampu mencetak generasi yang berkepribadian Islam, yaitu generasi yang pola pikir dan pola sikapnya sesuai syariat Islam. Sehingga lahirlah generasi yang kuat imannya, tangguh mentalnya dan cerdas akalnya.

Penerapan Islam secara kafah akan menghasilkan individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang cinta dakwah, dan negara yang benar-benar mengurusi rakyatnya. Dengan demikian, permasalahan bunuh diri akan teratasi karena setiap individu muslim dapat memahami hakikat dan jati dirinya, yaitu sebagai hamba Allah swt. dengan memeluk Islam sebagai pedoman hidupnya. Ketika tuntunan syariat menjadi nahkoda seluruh umat Islam, maka generasi akan jauh dari depresi, mudah menyerah atau terkena gangguan mental. Generasi Islam akan menjadi generasi terbaik yang memiliki mental sehat dan kuat seperti para pendahulunya. Maka, menjaga kesehatan mental dan menghentikan kasus bunuh diri ini hanya dapat dilakukan dengan mengganti sistem kapitalisme sekuler dengan sistem Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 58

Comment here