Opini

Maraknya Kecurangan Pangan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Risna Ummu Zoya (Aktivis Muslimah Kalsel)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Setelah publik dikejutkan dengan skandal Pertamax oplosan, kini muncul lagi kasus minyak goreng bersubsidi “Minyak Kita” yang tak sesuai takaran. Berita ini menambah daftar panjang kecurangan dalam pendistribusian pangan yang seharusnya menjadi hak rakyat. Minyak goreng yang diklaim murah dan terjangkau ternyata mengalami pengurangan takaran, yang artinya masyarakat tetap dirugikan. Bukannya mendapatkan manfaat dari kebijakan subsidi, rakyat justru menjadi korban permainan pasar yang sarat dengan manipulasi.

Satgas Pangan Polri telah melakukan serangkaian inspeksi mendadak (sidak) terkait penyelewengan produk Minyak kita. Pada 9 Maret 2025, inspeksi di Pasar Lenteng Agung, menemukan bahwa beberapa produk Minyak kita berlabel 1 liter ternyata hanya berisi 700-900 mililiter. Produsen yang diduga terlibat adalah PT Artha Eka Global Asia di Depok, Jawa Barat; Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara di Kudus, Jawa Tengah; dan PT Tunas Argo Indolestari di Tangerang, Banten. (Tirto.id, 9/3/2025).

Fenomena ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan pola berulang dalam sistem kapitalisme yang menjadikan pangan sebagai komoditas bisnis. Alih-alih memastikan barang bersubsidi benar-benar sampai kepada rakyat dengan jumlah yang sesuai, sistem ini justru membuka celah bagi para pelaku bisnis untuk meraih keuntungan dengan berbagai cara, termasuk mengurangi takaran, melakukan penimbunan, atau mengalihkan barang bersubsidi ke pasar yang lebih menguntungkan. Akibatnya, subsidi yang seharusnya membantu rakyat malah menjadi alat eksploitasi baru yang merugikan mereka.

Adanya kasus ini menunjukkan gagalnya negara dalam mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi pada keuntungan semata. Ini membuktikan dengan jelas bahwa kebutuhan pangan ada di tangan korporasi. Sedangkan negara sendiri hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital pemilik modal. Bahkan tidak ada sanksi yang menjerakan bagi perusahaan yang melakukan kecurangan, baik yang terlihat maupun sebaliknya.

Di bawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan asas liberalismenya, para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai distribusi pangan dari hulu hingga hilir. Bahkan dalam hal ini, negara bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang tidak memiliki kendali penuh atas distribusi pangan. Mekanisme pasar yang dikendalikan oleh segelintir pemilik modal justru lebih dominan dalam menentukan barang sampai ke masyarakat. Hal ini sering kali menyebabkan distribusi yang tidak merata, kelangkaan buatan, atau bahkan manipulasi harga.

Negara, meskipun memiliki kebijakan subsidi, tetap tidak mampu mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang merugikan rakyat kecil. Realita ini menunjukkan bahwa kapitalisme gagal dalam mendistribusikan pangan secara adil. Hal tersebut berdampak kepada meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana rakyat kecil harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kebutuhan dasar, sementara segelintir pihak dengan akses dan modal lebih besar justru diuntungkan

Sementara itu, Islam memiliki sistem distribusi pangan yang jauh lebih baik dan berkeadilan. Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi Fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, dijelaskan bahwa negara dalam Islam bertanggung jawab penuh dalam memastikan rakyat mendapatkan kebutuhan pokok mereka dengan mudah dan tanpa manipulasi. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR.Al-Bukhari). Ini berarti negara bukan hanya sekedar regulator, tetapi benar-benar berperan sebagai pelayan rakyat yang memastikan distribusi pangan berjalan dengan adil dan transparan.

Solusi atas masalah ini bukan sekadar pengawasan ketat atau hukuman bagi pelaku kecurangan, karena langkah-langkah tersebut hanya menyentuh gejala, bukan akar masalah. Selama distribusi pangan masih berada dalam sistem kapitalisme, praktik curang akan terus berulang dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, solusi mendasar adalah menggantikan kapitalisme dengan sistem Islam yang menjamin distribusi pangan dilakukan secara adil dan langsung menyentuh rakyat tanpa perantara korporasi yang mencari keuntungan semata.

Islam menetapkan pengaturan hidup rakyat di bawah kendali pemerintah. Sebab, pemimpin adalah raa’in atau pengurus umat. Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan. Seperti halnya dalam pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme yang sesuai dengan syariat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi, baik hulu maupun hilir.

Selain itu, negara wajib menjaga pasokan pangan seperti Minyak Kita dan mengawasi rantai distribusi dengan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Qadhi hisbah akan melakukan inspeksi pasar. Jika ditemui ada kecurangan seperti dalam kasus minyak kita oplosan, negara akan memberikan sanksi tegas, bahkan pelaku akan dilarang melakukan usaha produksi hingga perdagangan.

Kasus minyak goreng oplosan ini seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk menyadari bahwa selama kapitalisme masih diterapkan, kesejahteraan rakyat akan terus terancam. Sudah saatnya kita berjuang untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan negara Islam, agar berbagai masalah ekonomi dapat terselesaikan secara hakiki. Dengan penerapan sistem Islam, negara benar-benar menjadi raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung), bukan sekadar pelayan bagi para kapitalis. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here