Oleh: Amelia Putri (Mahasiswi)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Menjadi guru di Indonesia kini seolah-olah harus siap menghadapi risiko besar dan ancaman kriminalisasi, seperti yang dialami Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Supriyani terpaksa mendekam di balik jeruji besi setelah dituduh memukul seorang muridnya yang merupakan anak seorang anggota kepolisian. Tidak hanya ditahan, Supriyani juga mengalami pemerasan dari oknum kepolisian dan kejaksaan. Pengorbanan yang ia lakukan sebagai pendidik tampaknya tidak sebanding dengan risiko yang ia hadapi. Selain persoalan Supriyani, banyak guru lain juga menjadi korban kekerasan (metrotvnews.com, 22 Oktober 2024).
Pada 1 Agustus 2023, di Rejang Lebong, Bengkulu, seorang guru olahraga di SMA Negeri 7, Zaharman, menjadi korban pelemparan ketapel oleh orang tua salah satu murid yang ditegurnya karena merokok di lingkungan sekolah. Batu ketapel tersebut mengenai mata Zaharman hingga berdarah, dan akhirnya ia divonis buta (gelora.co, 01 November 2024).
Persoalan kekerasan juga dialami oleh Ali Fatkur Rahman, seorang guru di sebuah Madrasah Aliyah (MA) Kebon Agung, Demak, Jawa Tengah. Ali diserang muridnya sendiri dengan senjata tajam di dalam kelas hingga kritis dan harus dirawat di rumah sakit (metrotvnews.com, 01 November 2024).
Kriminalisasi juga menimpa seorang guru agama bernama Akbar di Nusa Tenggara Barat, yang dilaporkan oleh orang tua siswa hanya karena menghukum muridnya yang enggan salat. Tidak hanya dilaporkan, Akbar juga dimintai denda sebesar Rp50 juta (liputan6.com, 9 Oktober 2023).
Kriminalisasi terhadap guru-guru ini mencerminkan malapetaka bagi peradaban kita. Hilangnya adab dan penghormatan kepada guru berdampak pada hilangnya keberkahan ilmu. Kriminalisasi yang terus-menerus dialami oleh para guru menunjukkan bahwa adab kepada guru seolah-olah telah lenyap dari benak generasi saat ini. Ini adalah ancaman besar bagi generasi karena tanpa adab kepada guru, generasi akan hidup dalam ketidaktahuan dan kegelapan tanpa ilmu. Sayangnya, bencana ini seolah tidak terbendung dan terus terjadi. Ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem pendidikan di negara.
Kegagalan ini muncul karena sistem pendidikan saat ini dijiwai oleh ideologi kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan materi. Ideologi kapitalisme ini berpijak pada akidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Pemisahan ini menghasilkan bencana karena manusia dijauhkan dari fitrahnya sebagai hamba Allah, dan diarahkan untuk mengikuti aturan buatan manusia. Akibatnya, lembaga pendidikan hanya mengajarkan agama sebatas ilmu pengetahuan, bukan sebagai panduan hidup (tsaqofah) yang memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Mirisnya, jam pelajaran agama kian lama makin berkurang, ditambah lagi dengan arus moderasi beragama yang menjauhkan generasi dari pemahaman Islam sebagai sistem kehidupan. Paradigma sekularisme dan kapitalisme yang kuat dalam sistem pendidikan menghasilkan generasi yang makin jauh dari moralitas dan rasa hormat terhadap guru. Rasa takzim kepada guru seharusnya dipahami sebagai bagian dari hukum syariat yang memiliki konsekuensi di dunia dan akhirat. Namun, pemikiran dan perasaan ini semakin hilang, dan digantikan oleh egoisme pribadi, sehingga nasihat guru kerap dianggap sebagai gangguan atau bahkan pelanggaran privasi.
Akibat penerapan ideologi kapitalisme, guru mengalami ketidakadilan, bahkan para pelaku kriminal kerap tidak dihukum. Ini menjadi bukti nyata derita yang dialami guru sebagai pendidik di tengah dominasi ideologi kapitalisme. Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang dijiwai oleh ideologi Islam. Islam berdiri di atas akidah yang sahih yang mana islam meyakini bahwa manusia hanyalah hamba Allah yang harus tunduk pada syariat-Nya. Keyakinan ini membawa manusia pada keridaan untuk mengatur hidupnya sesuai hukum-hukum Allah, termasuk dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan Islam didasarkan pada akidah yang kuat, dengan strategi pendidikan yang dirancang untuk membangun identitas keislaman yang kokoh baik dalam pola pikir (akliah) maupun pola sikap (nafsiah). Metode pengajarannya harus menggunakan pendekatan talqiyan fikriyan, sehingga tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islam tertanam dalam akal dan jiwa para peserta didik. Dengan mengaitkan akidah Islam di sistem pendidikan, akan lahir generasi yang memiliki kepribadian Islam yang mulia. Pribadi seperti ini tidak akan mungkin melakukan tindakan kriminalisasi terhadap gurunya sendiri, karena mereka memahami bahwa menghormati guru adalah kunci keberkahan ilmu yang menjadikan mereka pribadi yang mulia.
Kemudian, Khalifah atau kepala negara, akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk pegawai yang telah berjasa bagi negara. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pendidikan yang berlandaskan konsep seperti ini tidak mungkin diwujudkan dalam sistem pendidikan kapitalisme, yang pada dasarnya menghilangkan agama atau memisahkan agama dari kehidupan. Sistem pendidikan Islam hanya dapat terwujud apabila negara juga menerapkan sistem Islam secara kafah dalam institusi Khilafah. Wallahu a’lam bishawwab.
Views: 5
Comment here