Oleh Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa’: 19)
Wacana-edukasi.com — Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP menngenai Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) yang dirancang agar konsisten dan sesuai dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT menuai kontra dari masyarakat dan para praktisi politik. Pasalnya, dalam rumusan tersebut mengatur tentang ancaman tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan suami kepada istri dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun atau denda 36 juta rupiah.
Guru Besar Hukum Pidana dari UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto mengungkapkan Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) yang ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT, yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan (detiknews, 16/6/2021)
Pernyataan lain diungkapkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini yang mengungkapkan terkait isu pemerkosaan terhadap istri, masih ada anggapan dalam masyarakat tidak adanya istilah pemerkosaan terhadap istri karena sudah menjadi tanggung jawab istri dalam melayani suami dalam hal apapun termasuk dalam hal seksual. Inilah yang menyebabkan tindakan pemerkosaan terhadap istri dianggap mengada-ada (detiknews, 15/6/2021)
Dukungan Marital Rape Terus Digaungkan
Dalam mencari dukungan dan dalih membela hak-hak perempuan melalui jalur legislasi dari pemerintah dan masyarakat, istilah marital rape terus digaungkan. Kalangan sekuler dan feminis terus berupaya untuk mensosialisasikan marital rape dengan slogan melindungi kaum perempuan. Namun, di balik hal tersebut justru ingin merusak dan menghancurkan makna keluarga dalam masyarakat.
Makna marital rape (Pemerkosaan terhadap Istri) adalah istilah yang tidak bisa diterapkan dalam kasus kekerasan yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, karena fakta dan solusi hukumnya berbeda. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena permasalahan ekonomi yang kerap menjadi induk masalah dalam keluarga. Banyak pihak perempuan (istri) yang tidak menjalankan dan memenuhi kewajibannya karena hal kurangnya pemenuhan suami terhadap istri.
Selain itu, jauhnya landasan pemahaman Islam dalam berumah tangga yang dapat mempengaruhi taraf berfikir suami dan istri dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Menjauhkan hukum Islam dalam keluarga justru akan menambah permasalahan yang tak kunjung usai. Di sisi lain, sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini justru merusak tatanan keluarga dimana hukum Islam dijauhkan dari setiap aspek kehidupan masyarakat.
Kehidupan Suami Istri dalam Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dirinya, dan manusia sesamanya. Islam juga merupakan mabda (prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini juga mengatur kehidupan suami istri.
Kehidupan suami istri adalah kehidupan yang menghasilkan ketenangan. Pergaulan suami istri adalah pergaulan yang penuh persahabatan. Suami istri bekerja secara harmonis dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Suami berkewajiban melaksanakan seluruh tugas yang dilakukan di luar rumah, sedangkan istri berkewajiban melaksanakan seluruh tugas yang ada di dalam rumah sesuai dengan kemampuannya.
Rasulullah saw. bersabda,
«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي»
”Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Majah)
Kepemimpinan suami terhadap istri adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab, bukan kepemimpinan seperti seorang penguasa. Seorang istri diwajibkan taat, dan seorang suami diwajibkan memberi nafkah yang layak menurut standar kebiasaan.
Dalam Firman Allah, “… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa’: 19)
Allah telah mewajibkan seorang suami untuk berlaku baik terhadap istrinya, sebagaimana layaknya seorang sahabat.
Selain itu, ada beberapa hal yang harus disiapkan dalam merencanakan keluarga yang bahagia dan harmonis. Pertama, menjadikan iman dan Islam sebagai landasan dalam keluarga. Dengan menjadikan iman yang kokoh akan mampu mengokohkan keluarga disaat mengalami kesulitan.
Kedua, menetapkan visi, misi, dan tujuan dalam berkeluarga. Suami istri harus memiliki visi dan misi yang sama dalam menjalani kehidupan rumah tangga, yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Ketiga, menjalani kehidupan keluarga sesuai syariat Islam. Dalam kehidupan rumah tangga tak selamanya bahagia, bahkan sering sekali dijumpai masalah dan kesulitan yang berat. Jika syariat Islam menjadi landasan maka setiap permasalahan yang terjadi kecuali ada pemecahannya menurut Islam.
Demikianlah, syariat Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan perbuatan manusia, tidak ada satu pun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum Islam. Manusia tidak boleh melakukan perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Wallahu’alam bishowab
Views: 10
Comment here