Opini

Masifnya Pemberitaan Kekerasan Seksual dan ACT, Ada Apa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Tati Sunarti, S.S

(Guru dan Pegiat Literasi)

Beberapa waktu terakhir ini, kasus pelecehan seksual muncul kembali. Teranyar dan menggegerkan masyarakat adalah kasus yang terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Pelaku merupakan putra dari pimpinan pondok pesantren tersebut yaitu Moch. Subchi Azal Tsani, atau akrab disapa Mas Bechi.

Dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022), Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin meminta pihak berwenang, terutama Polri, untuk menjerat pelaku dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Dengan demikian, setidaknya ada 3 dakwaan yang dituntut atas pelaku yaitu pasal 285 KUHP jo pasal 65 KUHP ancaman 12 tahun penjara, pasal 289 KUHP jo pasal 65 dengan ancaman 9 tahun, dan pasal 294 ayat 2 KUHP jo pasal 65 ancaman penjara selama 7 tahun.

Bahkan, Amiruddin, sebagai Wakil Ketua Komnas HAM juga menambahkan jika pelaku dijeray dengan UU TPKS tersebut itu menandakan penjagaan akan harkat dan martabat HAM (detik.com, 10/7/2022).

Kondisi ini merupakan tanda degradasi moral yang sangat memilukan. Pelaku merupakan tenaga pendidik, yang di tangannya haruslah lahir generasi-generasi cemerlang. Namun, yang terjadi justru merusak generasi.

Begitulah jika asas hidup yang diterapkan adalah sekulerisme, dalam lingkungan paling religius pun tetap berpeluang besar adanya kemaksiatan.

Mengapa bisa? Tentu hal ini dikarenakan ilmu agama yang dikaji tidaklah sepenuhnya dipahami dan diamalkan. Sehingga, bukan hal yang aneh pada saat syariat yang mengatur pergaulan dan batasannya tidak diindahkan.

Selain degradasi moral dalam pergaulan, mirisnya ini terjadi dalam dunia pendidikan yang notabene berbasis Islam. Media pun saat ini sedang menyorot satu lembaga penyaluran dana umat, yaitu Aksi Cepat Tanggal (ACT).

Dilansir dari harian kompas.com, Sabtu (10/7/2022), Badan Reserse Krimimnal (Bareskrim) Polri akhirnya turun untuk menyelidiki kasus dugaan Penyelewengan dana donasi di lembaga filantropis tersebut.

Mantan Presiden ACT, Ahyudin, dan Presiden ACT sendiri, Ibnu Khajar, kemudian dimintai keterangan oleh Polri.
Terdapat beberapa dugaan penyelewengan diantaranya dana donasi digunakan untuk keperluan pribadi para pengurus. Kemudian, dana CSR dari pihak Boeing untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air. Donasi yang masuk ke ACT sebesar Rp138.000.000, juga dana kompensasi santunan sebesar 2.06M. Dugaan ketidak-amanahan ini mengakibatkan 68 ahli waris terabaikan.

Selain itu, PPATK menutup 300 rekening yang dikelola oleh ACT. Disebabkan adanya dugaan mengalirkan dana ke jaringan teroris Al-Qaeda. Kasus ini pun berujung dicabutnya izin operasi ACT oleh Kemensos.

Mengapa Begitu Masif?

Beberapa pekan ini media banyak meyoroti pemberitaan dua kasus di atas. Yang menjadi pertanyaan. Mengapa kasus yang juga banyak terjadi di berbagai Lembaga ini begitu masif diberitakan saat oknum pelakunya berkaitan dengan simbol keislaman?

Cheryl Bernard, peneliti dari Rand Corporation, Lembaga Think Tank AS, dalam bukunya Civil Democratic Islam: Partners, Resources, And Strategy, menyebutkan sederet penjelasan terkait peran media dalam menyoroti satu isu.

Pertama, encouraging journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality.

Media didorong untuk mempublikasikan secara masif tentang kesalahan dan kelemahan para “tokoh atau orang yang mengelola pesantren dan lembaga” seperti korupsinya, kemunafikannya, dan tindakan-tindakan tidak bermoral lainnya pelecehan seksual, pemerkosaan dan penyalahgunaan dana. Tujuannya adalah memutus mata rantai kepercayaan masyarakat terhadap simbol pendidikan Islam yaitu pesantren dan lembaga kemanusiaan Islam.

Kedua, exposing their relationships with illegal groups and activities.

Memunculkan ke hadapan publik untuk mengaitkan “tokoh atau pengelola lembaga” dengan kelompok yang dicap teroris, radikal, extremis. Dengan tujuan agar masyarakat menjauhi lembaga tersebut dan menjadi waspada untuk menyumbangkan dananya.

Nampak sekali alur yang tertata, serta opini yang diaruskan sangat rapih. Menumbuhkan dan menyuburkan stigma negatif tentang Islam dalam kaum Muslim.

Islam itu Benar, Syariatnya Memberikan Keberkahan

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf: 96).

Baik kasus pelecehan seksual dan penyelewengan dana donasi seperti yang dipaparkan di atas tidaklah menjadi isyarat bahwa Islam merupakan agama yang buruk.

Syariat Islam bahkan satu-satunya syariat yang sesusai dengan fitrah manusia. Keterikatan manusia terhadap syariat akan membentuk kepribadian Islami. Lantas bagaimana bisa seorang muslim menempuh jalan maksiat dalam hidupnya?

Tentu kondisi ini tidak muncul serta-merta begitu saja. Setidaknya ada elemen sebagai penegak syariat. Individu yang bertakwa, kontrol (amar makruf/nahi munkar) dari masyarakat, dan aturan (Islam) yang diberlakukan oleh negara.

Jika tidak ada kontrol masyarakat, terlebih lagi hilangnya peran negara sebagai penegak aturan Islam dan penjaga, dengan penerapan sistem sanksi, maka sudah bisa dipastikan ketakwaan individu sulit diwujudkan dengan peripurna.

Oleh karena itu, penting sekali memahami dan memperjuangkan penerapan syariat secara kaffah. Denganya semua elemen baik individu, masyarakat, bahkan negara akan mewujud menjadi elemen-elemen yang terikat syariat.

Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here