Opini

Masihkah Berharap Keadilan pada Sistem Sekuler?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurmilati

wacana-edukasi.com– Beberapa waktu lalu, jagad maya dihebohkan dengan pemberitaan akun Twitter @PolrestaBogorKota yang me-like akun penyebar video porno. Unggahan ini viral setelah diposting oleh akun Twitter @txtdrberseragam yang membagikan hasil tangkap layar dengan menampilkan postingan yang disukai oleh @PolrestaBogorKota.

Menanggapi hal itu, akun @PolrestaBogorKota segera melakukan klarifikasi. “Diberitahukan, akun Polresta Bogor Kota tidak memposting atau me-like akun yang tidak pantas. Akun kami hanya memposting informasi dan sosialisasi Kamtibmas di wilayah hukum Polresta Bogor Kota,” Twit @PolresBogorKota. Kompas.com (8/11/2021).

Selanjutnya, Kasubsie Penmas Humas Polresta Bogor Kota, Iptu Rachmat Gumilar mengatakan, pihaknya masih mendalami terkait kejadian itu, apakah ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh admin Twitter atau terjadi peretasan. Hal senada juga diungkapkan Kepala Polresta Bogor Kota Komisaris Besar Susatyo Purnomo Condro, ia menegaskan pihaknya tengah melakukan penyelidikan secara internal atas kejadian tersebut.

Masyarakat tentu menunggu kabar dan transparansi dari pihak kepolisian, apa sebetulnya yang terjadi, apakah karena unsur kesengajaan atau memang ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan peretasan. Jika benar karena disengaja, tentu pelakunya harus segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sebab tindakannya sangat tidak pantas dilakukan, bukan hanya karena pelaku bagian dari jajaran kepolisian, tetapi ia dinilai telah menyalahgunakan wewenang dengan memanfaatkan pasilitas negara demi kepentingan pribadinya. Sedangkan jika ada peretasan, aparat penegak hukum harus secepatnya melacak dan menangkap peretas, sebab diduga akan mencuri data, mengambil alih atau melumpuhkan perangkat maupun mengambil keuntungan atas hal itu, sebut saja untuk menaikkan rating. Padahal akun Twitter pemerintah hanya untuk melayani kepentingan masyarakat.

Apabila kita telisik, peristiwa yang berkaitan dengan institusi kepolisian, bukan kali ini saja terjadi. Jauh sebelumya, beragam kasus bermunculan dan ada yang dilakukan oleh keluarganya, sehingga tak ayal kasus tersebut menjadi sorotan publik. Pasalnya, mereka yang seharusnya menjadi panutan masyarakat dalam menaati berbagai peraturan yang ditetapkan pemerintah, namun sebaliknya, justru mencoreng institusinya sendiri dengan melakukan perbuatan melanggar hukum.

Dilansir CNN Indonesia pada 23/10/2021, setidaknya ada 7 perwira polisi yang dicopot dari jabatannya, lantaran beragam ulah yang melibatkan anggota maupun keluarganya. Mulai dari kasus perkosaan anak tersangka, membanting mahasiswa, penganiayaan warga, pesta narkoba, penembakan rekannya, pungutan liar dan perampokan mobil mahasiswa. Sedangkan salah satu contoh kasus yang melibatkan keluarganya adalah video viral di akun Tik Tok, yang diduga istri Kapolres Tebing Tinggi AKBP Agus Sugiyarso, yang memamerkan uang sembari berjoget. Tindakan itu dinilai tidak memiliki empati, sebab di tengah kondisi rakyat banyak yang kesusahan akibat pandemi sementara keluarga pejabat justru mempertontonkan hedonisme. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum beserta jajaran maupun keluarganya yang tengah diselidiki.

Maraknya kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di negeri ini, sering kali tidak jelas penyelesaiannya dan terkadang cukup dengan permintaan maaf, kasus sudah dianggap selesai dan tidak perlu dibawa ke ranah hukum, sebab Polri mengklaim selama ini pihaknya selalu memberikan sanksi kode etik kepada polisi yang terbukti bermasalah. Padahal, seperti kita ketahui Indonesia adalah negara hukum, artinya seluruh aktivitas di dalamnya harus berlandaskan hukum, sebagai mana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Dari sini diharapkan konsep negara hukum tersebut bisa dilaksanakan secara nyata dan serius. Namun dalam praktiknya, keadilan sudah tidak mudah ditemukan dan seakan menjadi barang langka di Indonesia, hukum di negara ini dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat, terlebih rakyat jelata. Belum lagi penegakan hukum yang kerap dilakukan tebang pilih.

Pada faktanya banyak kasus yang kita saksikan bersama seperti korupsi, suap menyuap, potongan tahanan dan pengistimewaan hukuman bagi para pemangku kebijakan, acap kali menguap begitu saja bahkan di peti es kan, hal itu diduga karena para pelakunya merupakan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu, sehingga mereka kebal hukum. Maka pantaslah kiranya jika dikatakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, istilah ini tepat untuk mendeskripsikan kondisi penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat mengungkapkan hukum bisa dibeli oleh pemilik kekuasaan dan yang mempunyai harta berlimpah, mereka akan aman dari sanksi hukum, sedangkan bagi rakyat biasa atau Ulama, hukum bisa dipermainkan sedemikian rupa meski tanpa ada saksi ataupun bukti yang cukup untuk membawanya ke meja hijau. Namun, beberapa pasal dikenakan, meski diduga tidak berkaitan dengan kasus tersebut. Sehingga berdasarkan pasal yang dikenakan, akan dengan mudah menyeretnya ke balik jeruji besi.

Rapuhnya Hukum ala Demokrasi

Permasalahan hukum dan peradilan saat ini merupakan akibat dari penerapan sistem politik demokrasi. Demokrasi telah memberikan peluang bagi siapapun, baik pejabat, aparat penegak hukum yang notabene faham hukum, pengusaha, selebritas, tokoh agama maupun rakyat jelata untuk melakukan perbuatan melanggar hukum negara maupun hukum agama. Para pelakunya tidak merasa berdosa dan malu melakukan tindakan kejahatan tersebut, dan hal ini terjadi karena sistem yang menjadi pijakan negara adalah liberalisme sekularisme, yakni kebebasan dalam berperilaku atas nama hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, rapuhnya demokrasi juga membuat pelaksanaan hukum dan ketimpangan peradilan terjadi, lantaran hukum yang ada di dalam sistem ini landasannya lemah dan sanksi hukum yang tidak jelas. Sehingga di sistem demokrasi dengan oligarki kekuasan membuat peluang adanya tawar menawar peradilan, karena aturan atau undang-undang yang digunakan dibuat oleh akal manusia dan sesuai dengan hawa nafsunya yang bisa berubah-ubah dan demi kepentingan tertentu. Begitulah hukum yang diterapkan bukan dari aturan Sang Maha Kuasa, meniscayakan ketidakadilan dan kerusakan.

Hukum Allah Meniscayakan Keadilan

Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu meyakini bahwa hanya dalam Islam aturan hidup yang paripurna bisa didapatkan, tentu ini berdasarkan keimanan kokoh yang ada di dalam benaknya. Sehingga, harapannya semua aktivitas dalam kehidupan sehari-hari bersandarkan pada aturan Islam, begitupun dengan penegakkan hukum yang diberlakukan oleh negara, tentu sesuai dengan syariat Islam. Dalam sistem hukum Islam mampu menghasilkan produk hukum yang lengkap, relevan, adil dan menentramkan jiwa. Ulama bersepakat sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijmak sahabat, dan Qiyas. Di dalamnya menjamin kepastian hukum dan menghadirkan kebaikan, keadilan, serta kebahagiaan yang akan menjamin keselamatan dunia dan akhirat. Bersama hukum Islam, tidak akan ditemukan perselisihan, ketidakadilan, ketimpangan, maupun pembelokkan hukum sebab petunjuknya jelas, yakni Allah SWT.

Akan tetapi, penerapan dan penegakan hukum Islam tidak akan bisa direalisasikan di negara dengan demokrasi sebagai landasan pemerintahannya karena demokrasi dengan sekularisme-nya senantiasa memisahkan agama dari kehidupan, sehingga keimanan berdasarkan ideologi Islam tidak diberi ruang dalam sistem ini.

Maka dari itu, harus ada sebuah institusi negara yang bisa mengimplementasikan penerapan dan penegakan hukum yang berasal dari Allah SWT, yakni negara dengan sistem Islam sebagai standar hidup masyarakat sekaligus dalam menjalankan pemerintahannya. Penerapan hukum di dalamnya melalui sistem sanksi yang akan dilaksanakan oleh seorang khalifah sebagai pemimpin yang ditunjuk dan diamanahi untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan bentuk dari sistem sanksi tersebut diklasifikasikan menjadi empat macam yakni, hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Keempat jenis sanksi itu masing-masing memiliki barometer dan fungsinya sendiri sesuai dengan jenis pelanggaran hukum atau kejahatan yang dilakukan seseorang.

Maka dari itu dengan penerapan dan penegakan sanksi yang jelas dan tegas akan mampu menyolusi dan memberikan rasa aman dan tentram bagi manusia. Hal ini karena berdasarkan sebagai zawajir atau pencegah kejahatan yakni mencegah orang lain untuk berbuat kejahatan yang serupa. Sedangkan yang kedua sebagai jawabir atau penebus dosa, artinya ketika pelaku kejahatan sudah mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah SWT akan menghapus dosanya dan menghilangkan sanksi akhirat (siksa neraka).

Demikianlah keutamaan penegakan hukum Islam dalam sistem khilafah, sangat berbeda sekali dengan hukum dalam demokrasi sekuler. Oleh karena itu hanya aturan Islam yang diimplementasikan dalam bingkai Daulah khilafah Islamiah, keadilan akan jelas dan tegas, tidak akan membedakan siapapun pelakunya, hukum akan dilaksanakan dengan adil serta tanpa ada kepentingan manusia di dalamnya.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 77

Comment here