wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Gelaran pesta Demokrasi telah usai. Saatnya para calon legislatif (caleg) menanti hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Para caleg yakin akan mendapatkan suara terbanyak, setelah sebelumnya menebar “serangan” pada masyarakat kebanyakan. Modal menjadi pemimpin negeri dikeluarkan sebanyak-banyaknya, asal sebanding dengan tujuannya yakni menjadi wakil rakyat dalam pemerintahan.
Namun, bak sebuah kompetisi, tentu ada cerita si menang dan si kalah. Menang bahagia, kalah bisa menderita. Diperparah jika sudah keluar modal banyak, tapi hasilnya tak sesuai harapan. Suara yang diharapkan berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Hingga muncul fenomena caleg stres akibat gagal dalam masa pemilu.
Sebagaimana terjadi di tahun ini, melansir dari tempo.com (17/2), beredar di media sosial aksi caleg yang diduga stres lantaran gagal di pemilu 2024. Dalam akun Instagram @bwi.info dan diunggah ulang oleh akun @jawatimurinfo, pada Jumat (16/2) seorang caleg mencabut paving block yang akan digunakan untuk pemavingan jalan kampung Dusun Panjen dan Simberejo.
Selain itu, aksi seorang caleg yang menyuruh sejumlah orang untuk melakukan pembongkaran kuburan warga di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Diketahui bahwa warga tersebut telah dimakamkan dua tahun yang lalu di tanah sang caleg. Namun, lantaran keluarganya tak memilih caleg tersebut, makamnya diminta untuk dipindahkan.
Ironi memang. Sudah bukan rahasia lagi jika pemilihan pemimpin dalam Demokrasi berbiaya tinggi. Lembaga Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPM FE UI) mencatat bahwa modal untuk menjadi caleg bervariasi tergantung pada tingkatan legislatif yang diincar. Besarannya untuk Calon anggota DPR RI kisaran Rp 1,15 miliar – Rp 4,6 miliar. Jika Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 250 juta – Rp 500 juta.
Angka yang sangat fantastis. Wajar saja, jika pintu stres terbuka lebar saat tidak terpilih. Namun, fenomena caleg stres ini faktanya bukan kali ini terjadi. Beberapa rumah sakit di Indonesia mengaku telah menyiapkan layanan dan fasilitas untuk menampung para caleg stres di Pemilu 2024. Beberapa rumah sakit di DKI Jakarta dan Jawa Barat telah mengumumkan adanya penyediaan layanan dokter spesialis, psikolog, psikiater dan ruang rawat khusus untuk para caleg tersebut.
Kita telah mengetahui bersama berapa rusaknya sistem Demokrasi yang menjadi sistem kehidupan umat saat ini. Ditambah fakta bahwa memilih pemimpin dalam Demokrasi, hanya untuk menjalankan sistem hukum buatan manusia. Sebab, dalam Demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Sistem hukum bisa berubah tergantung keputusan anggota parlemen.
Islam telah mencotohkan bagaimana mekanisme memilih pemimpin yang cepat, tepat, efisien, dan berbiaya murah. Dimana memiliki Khalifah adalah dengan cara bai’at. Sementara pemilihan pemimpin level daerah diangkat langsung oleh Khalifah. Pemimpin yang dihasilkan pun adalah pemimpin yang berkualitas. Beriman, bertakwa, dan mempunyai kapabilitas dalam memimpin.
Lalu, masihkah kita ingin mempertahankan Demokrasi? Mempertahankan Demokrasi sama saja mempertahankan kerusakan yang bertambah jadi.
Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50)
Ismawati
Banyuasin, Sumatera Selatan
Views: 11
Comment here