Opini

Masjid Hilang Fungsi Karena Sekularisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ummu Adibsa
(Komunitas Tinta Pelopor)

wacana-edukasi.com, OPINI– Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mengimbau kepada Capres Partai NasDem Anies Baswedan untuk tidak melaksanakan kegiatan sosialisasi yang menjurus pada aktivitas kampanye di masjid. Lagi pula belum ada penetapan calon presiden 2024 secara resmi.

Imbauan ini ditegaskan oleh Bawaslu RI usai bertemu Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Anies juga dilaporkan karena menerima petisi dukungan terkait Pilpres 2024 di Masjid Raya Baiturrahman, Aceh.

Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu RI, Totok Hariyono mengatakan, bahwa meski saat ini belum ada penetapan calon presiden 2024, namun larangan kampanye di tempat ibadah, termasuk masjid diatur dalam Pasal 280 huruf h UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Isinya, para peserta Pemilu dilarang menggunakan tempat ibadah, pendidikan serta fasilitas pemerintah untuk kepentingan kampanye. (Merdeka.com/17/12/2022)

Pelarangan penggunaan masjid sebagai tempat kampanye ini berpotensi mempersempit fungsi masjid sebagai tempat ibadah ritual saja. Padahal, masjid dapat difungsikan lebih dari itu, baik sebagai tempat beribadah ataupun tempat berjalannya berbagai aktivitas masyarakat, baik aktivitas ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.

Penyempitan fungsi masjid seperti saat ini terjadi karena sekularisme hanya membatasi peran agama dalam ranah privat saja. Demikian pula hanya membatasi masjid sebagai tempat ibadah saja. Akhirnya, muncul kekhawatiran terpecah belahnya umat akibat masjid digunakan untuk kegiatan politik.

Padahal, umat terpecah belah muncul karena lemahnya pemahaman umat akan politik yang sebenarnya, yaitu politik merupakan aktivitas mengurusi urusan umat. Saat ini, politik hanya dipahami sebagai politik praktis untuk meraih kekuasaan sebagaimana yang diamalkan oleh partai politik kini. Lebih dari itu, umat terpecah belah dimulai ketika partai Islam bukan lagi partai ideologis Islam dan umat sudah terpecah belah ketika parpol Islam mengejar kepentingan pribadi dan golongan, bukan kepentingan umat secara keseluruhan.

Jelas hal ini sangat berbeda dengan pemfungsian masjid pada masa kekhilafahan dulu. Masjid pada umumnya tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk menunaikan shalat tapi juga memiliki fungsi sosial dan edukasi. Di mana, kaum muslimin yang berada di dekat masjid berinteraksi dan memperoleh pengetahuan. Sejarah kekhilafahan Usmaniyah telah berhasil memfungsikan masjid lebih jauh dari pada itu.

Mereka berhasil menjadikan masjid tidak hanya sebagai pusat keagamaan dan pendidikan warga di kawasan sekitarnya tetapi bahkan menggerakkan aktivitas penduduk suatu kota. Inilah yang dikenal sebagai Kulliye. Dari sebuah masjid Kulliye berkembang menjadi pusat pengajaran, sentra ekonomi, dan pada akhirnya menjadi urat nadi kota.

Kulliye, yang ada pada khilafah Usmaniyah khususnya sejak abad keempat belas hingga abad keenam belas, merupakan elemen penting dalam dinamika pengembangan ilmu pengetahuan dan interaksi sosial di kota tersebut. Kulliye pada dasarnya adalah sebuah kompleks berisi sejumlah bangunan di mana terdapat sebuah masjid yang dikelilingi oleh berbagai fasilitas pendidikan dan sarana penunjangnya.

Kulliye tidak hanya berisi sekolah tetapi juga ditopang berbagai fasilitas modern di zamannya, mulai dari pasar, rumah sakit, penginapan, hingga pemandian umum. Praktis, warga kota bisa menjalankan berbagai aktivitas di Kulliye, mulai dari belajar, berbelanja ataupun mencari pelayanan kesehatan. Sehingga, bisa terbayangkan, jika ada warga yang membutuhkan bahan makanan maka ia bisa membelinya di pasar dekat masjid. Jika waktu shalat tiba, mereka tinggal berjalan kaki menuju masjid. Demikian pula para pelajarnya bisa seharian berada di masjid baik untuk mengikuti pelajaran di sekolah ataupun mencari ilmu di perpustakaan.

Pengelola Kulliye juga menyediakan dapur besar dan makanan. Makanan tersebut biasanya dibagikan kepada para pelajar dan orang-orang miskin. Para khalifah membangunnya dengan tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang besar dan menggunakan material mahal dalam pembangunannya.

Bursa, sebuah kota di Turki Barat yang menjadi ibukota pertama kekhilafahan Usmani, adalah tempat di mana Kulliye didirikan untuk pertama kalinya, tepatnya di akhir abad ke-14. Kulliye kemudian dikembangkan pada masa-masa berikutnya dan mencapai puncaknya di pertengahan abad ke -16. Ketika itu kekhilafahan Usmani berada di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman I atau Sulaiman Al Qanuni.

Dalam pengembangannya, Kulliye dijadikan model pengembangan kota oleh pemerintah Usmani, guna menghidupkan kawasan yang sepi atau tidak berpenghuni. Para Khalifah Usmani mendirikan Kulliye sebagai magnet untuk menggerakkan aktivitas masyarakat.

Pembangunan kota untuk kemakmuran masyarakat ini tentu tidak lepas dari paradigma kepemimpinan dalam Islam yakni sebagai pengurus umat dan pelayan umat. Sehingga, masyarakat benar-benar merasakan mudahnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan hingga aktivitas ekonomi.

Konsep Kulliye ini menunjukkan bahwa kekhilafahan pada masa itu, tidak hanya menggratiskan pendidikan dan kesehatan, tetapi memudahkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan tersebut dengan bangunan-bangunan yang dekat dan merata di seluruh wilayah daulah. Dengan demikian, pemfungsian masjid yang maksimal mampu menghantarkan kepada kemaslahatan umat secara keseluruhan. Hal ini bisa dicapai dengan menjalankan konsep politik Islam dalam kepengurusan rakyat. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here