Oleh : Eti Ummu Nadia
wacana-edukasi.com– Lagi-lagi aksi mematikan mikrofon kembali dipertontonkan di ruang sidang DPR RI oleh Puan Maharani yang memimpin rapat paripurna DPR pada Selasa (24/ 05/2022) kepada Amin Ak fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sebelumnya, Puan juga pernah melakukan hal sama pada tahun 2020 lalu, ketika Puan Maharani jadi pemimpin sidang membahas Undang-Undang Cipta Kerja. Ketika itu politikus partai Demokrat Irwan atau Irwan Fecho tengah melakukan interupsi terkait Undang-Undang Cipta Kerja, yang mana mikrofonnya mati saat Irwan belum sempat mengakhiri kalimatnya.
Saat ini pun, Puan kembali mematikan mikrofon salah satu anggota dewan. Kejadian itu terjadi ketika Puan hendak menutup rapat Paripurna, dikarenakan waktu rapat sudah habis. Akan tetapi Amin AK meminta waktu untuk interupsi terkait tidak adanya aturan hukum bagi pelaku sex bebas dan menyimpang. Ia juga mendorong atau mendesak agar revisi kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur hukum tindak pidana kesusilaan secara lengkap. Akan tetapi, setelah 3 menit Amin berbicara, tiba-tiba suaranya hilang tidak terdengar, dan rapat pun diakhiri.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengomentari sikap Puan yang justru merugikan, karena publik bisa menilai dengan sikap Puan sebagai otoriter. Dilansir dari Tribun-Timur.com. (25/05/2022).
Sikap Puan mematikan mikrofon kepada anggota dewan sungguh disayangkan. Peristiwa itu, publik bisa memandang dan menilai sikap Puan yang tidak mencerminkan akhlak yang baik. Publik bahkan bisa menilai sendiri bahwa jabatan tujuannya tidak lain meraih kekuasaan, ajang mencari reputasi dan identitas.
Dalam politik Demokrasi, terlihat jelas bagaimana seorang pejabat yang anti kritik atau sulit menerima masukan, di saat wakil rakyat menyampaikan tuntutan perihal hak-hak rakyat dalam Undang-undang atau terkait penyimpangan LGBT yang belum jelas hukumnya. Belum selesai kalimat yang disampaikan, pejabat itu justru mematikan mikrofon, dan terkesan tidak mau mendengar atau menerima masukan dari anggota dewan tersebut.
Padahal, anggota dewan tersebut mewakili suara dari perasaan rakyat saat ini, yang menuntut hak-hak mereka dalam Undang-undang, dan sekaligus menuntut hukuman bagi pelaku LGBT yang semakin meresahkan masyarakat. Tapi sayang, masukkan itu seolah tidak didengar, bahkan tidak ditanggapi. Hal ini membuktikan, bahwa penguasa lebih cenderung berpihak kepada segelintir orang yang memiliki kekuasaan atau para pemilik modal. Hal ini terlihat dari adanya UU yang dibuat wakil rakyat, yang lebih menguatkan ambisi para kapitalis.
Maka pantas saja, rakyat kecil yang tidak memiliki jabatan atau kekuasaan selalu merasakan beban hidup yang sulit, dikarenakan dampak sistem demokrasi-sekuler, yang lebih berpihak kepada kapitalis, sehingga abai terhadap masyarakat kecil. Walhasil hukum yang terlahir dari rahim demokrasi-sekuler pun, akan menghasilkan hukum sesuai keinginannya dan tujuan para Kapitalistik.
Jabatannya hanya menjadi sebuah kekuasaan yang dipergunakan untuk kepentingannya, demi meraup keuntungan. Sehingga tujuannya bukan lagi untuk melayani pemenuhan kebutuhan rakyat sebagaimana mestinya. Akan tetapi lebih cenderung kepada para pemilik modal (kapitalisme).
Itulah watak rezim saat ini, akibat buah busuk hasil penerapan sistem demokrasi-sekuler. Sistem demokrasi-sekuler yang memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum. Seakan suara anggota dewan menjadi suara Tuhan yang wajib dipatuhi. Ayat konstitusi atau Undang-undang yang dibuat manusia telah menyerupai ayat suci. Padahal, Ayat suci jauh lebih tinggi dari pada ayat konstitusi atau Undang-undang yang dibuat manusia. Ayat suci Al-Quran, bersumber dari sang Pencipta Allah SWT yang Maha Sempurna. Sedangkan ayat konstitusi atau Undang-undang berasal dari pemikiran manusia yang terbatas atau lemah. Maka pantas saja, hukum demokrasi-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sudah jamak terlihat kecacatannya.
Berbeda dengan negara Islam yang dikenal dengan Khilafah, realitas buruk wakil rakyat tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Dalam Khilafah, wakil rakyat dikenal dengan “Majelis Umat” yang mewakili kaum Muslim untuk menyampaikan pendapat atau kritikan.
Dalam Khilafah, tugas Majelis Umat tentunya mengoreksi penguasa. Ketika Rosulullah menjadi kepala negara,sikap Rosulullah sangat menerima aduan dari rakyatnya. Begitupun di masa Umar bin khotob yang pernah di kritik oleh seorang perempuan terkait penentuan mahar.
Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai.
“Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”Usai berpidato, Khalifah Umar turun dari mimbar. Seketika, seorang wanita berdiri dan memprotes Khalifah Umar.
“Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. Bahwa dalam firman Allah Swt ;
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Qs Annisa :20)
Ini menunjukan bahwa Umar bin Khathab tidak anti kritik, bahkan sangat menghargai pendapat dari rakyatnya. Begitulah tugas majelis umat juga memiliki tanggung-jawab memberi masukan kepada penguasa. Majelis Umat adalah orang-orang yang benar-benar merupakan agen atau perwakilan rakyat.kesejahteraan Di sinilah perbedaan wajah Majelis Umat dalam sistem Khilafah, dan wajah wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
Khilafah menegakkan sistem atau aturan berasal dari Allah SWT, sedangkan parlemen mengambil hukum kufur berasal dari pemikiran manusia. Maka dari itu ketika kita menginginkan hidup dengan keberkahan, sebagaimana sejarah mencatat ketika Khilafah memimpin selama 14 abad lamanya, yang mana penerapan hukumnya berasal dari Allah SWT, yang terbukti memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh umat.
Apakah sistem kufur saat ini bisa memberikan kita keadilan atau kesejahteraan? Atau kita butuh adanya sistem Islam, yang dikenal dengan “Khilafah” yang penerapan hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunah?
Wallahu’alam Bishawab
Views: 7
Comment here