Opini

Memalak Rakyat Melalui Pajak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Zahroh Hamidah

Wacana-edukasi.com — Beberapa hari ini publik dikejutkan dengan adanya draf kebijakan pemerintah tentang PPN barang dan jasa, termasuk sembako dan sektor pendidikan. Kebijakan ini akan tertuang dalam perluasan objek PPN dalam revisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Meski baru sebatas rencana, tetapi berbagai pihak pun ramai-ramai menolak.

Menurut anggota komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Anis Byarwati, kebijakan ini bisa makin
memberatkan masyarakat bawah. Sementara Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar
Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri, menganggap kebijakan ini tidak tepat, terlebih di saat pandemi (cnnindonesia.com, 12/06/2021).

Bahkan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, meminta secara khusus pada Kementerian Keuangan untuk membatalkannya, karena bertentangan dengan sila kelima Pancasila dan sektor sembako—pendidikan sangat berkaitan dengan inflasi (antaranews.com, 13/06/2021).

Namun, yang mendukung rencana ini juga punya alasan. Wakil Ketua DPD RI, Sultan B.
Najamudin, menyatakan meski tidak populer, kebijakan ini salah satu jalan yang mesti
dilakukan pemerintah (Pikiran-Rakyat.com, 14/06/2021).

Pajak; Tulang Punggung Perekonomian Kapitalis

Dalam sistem kapitalisme dengan kebijakan ekonomi liberalnya, pajak adalah bagian dari kebijakan fiskal yang dianggap membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena bisa menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan dari pajak (cermati.com, 22/11/2019).

Sebagai salah satu instrumen fiskal, pajak berperan penting membangun negara, mendukung jalannya pemerintahan, dan menstimulus perekonomian. Oleh karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan jatuh bangunnya suatu negara tergantung pada pengumpulan pajaknya (kemenkeu.go.id, 29/12/2016).

Ini sejalan dengan peran pajak sebagai fungsi bujeter, yaitu sumber utama pendapatan negara. Wajar jika negara mendorong rakyat untuk taat pajak dan terus ‘kreatif’ mencari apa saja yang bisa dikenai pajak. Alasannya, kas negara sudah tak sepadan dengan beban. Penyelesaian realistis adalah dengan menaikkan besaran pajak dan menambah variannya, selain menambah utang.

Pajak juga memiliki fungsi regulasi, yaitu alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan ekonomi dan sosial, sehingga jadi sarana pendistribusian kekayaan dari orang kaya pada orang miskin. Namun ironisnya, sebagian besar hasil pajak tidak kembali pada rakyat, melainkan untuk membayar bunga utang, dimana tahun ini mencapai 270 triliun lebih. Akibatnya, alokasi APBN untuk rakyat menjadi kecil, subsidi terus dikurangi dan bakal dihilangkan.

Antara Tax Amnesty dan Tax Sembako

Merespons penolakan publik, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari, menjelaskan draf tersebut merupakan wacana ke depan, tidak untuk saat ini. Pemerintah masih fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi, sehingga sembako jadi salah satu objek yang disubsidi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (cnnindonesia.com, 12/06/2021).

Menkeu pun menegaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum. Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, tetapi disusun untuk melaksanakan asas keadilan (kompas.tv, 15/06/2021).

Terlepas dari kapan pemberlakuannya, pertanyaannya adalah, di mana letak keadilannya? Apakah dalam hal tarikan pajak yang sama rata atau keadilan untuk semua rakyat yang harus membayar pajak? Jika ditelisik lebih jauh, justru orang-orang kaya mendapat tax amnesty dan diberi relaksasi. Tax amnesty pernah diberlakukan pemerintah pada 2016 dalam tiga tahap (cnbcindonesia.com, 31/05/2021).

Tanpa PPN saja, harga sembako fluktuatif, sering kali naik. Biaya pendidikan pun tak murah, apalagi dengan pembelajaran daring, butuh biaya untuk membeli gawai dan pulsa. Jika benar-benar diberlakukan, rakyat terus menerus menjadi korban, terutama masyarakat bawah. Rakyat sudah harus menanggung beban hidup yang berat ditambah lagi dengan pajak.

Pajak dalam Pandangan Islam

Pajak dalam fikih Islam dikenal dengan dharibah. Al-‘allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum mendefinisikan “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi tidak ada harta di Baitul Mal untuk membiayainya.” ( Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah,  hal. 129).

Meski sama-sama diberlakukan, filosofi dan praktiknya berbeda dengan sistem sekuler
kapitalis. Pajak bukan sumber tetap pendapatan Baitul Mal, hanya diambil ketika kas negara kosong, sementara ada pos yang wajib dibiayai, seperti jihad, industri perang, pengeluaran untuk fakir, miskin, dan ibnu sabil, gaji tentara, pegawai negara, dan lainnya.

Jika problem kekosongan ini teratasi, pajak harus dihentikan. Sehingga pajak dalam Islam bukanlah bentuk kezaliman penguasa, terlebih hanya dikenakan pada orang kaya yang muslim, bukan seluruh rakyat, bukan pula bagi nonmuslim. Bahkan, pajak dipandang sebagai kontribusi warga yang berkelebihan harta atas urusan umat, yang berimplikasi pahala dan kebaikan.

Dengan demikian, pajak dalam Islam hanyalah pemasukan insidental. Justru sumber
penerimaan dari kepemilikan umum, seperti fasilitas umum dan SDA termasuk tambang, berpotensi memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Inilah yang seharusnya dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diprivatisasi, yang akhirnya menjadikan pajak sebagai tumpuan perekonomian negara.

Wallohualam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here