Oleh : Neti Ernawati (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023 jumlah penduduk berusia muda (15-24 tahun) mencapai 44,47 juta atau sekitar 16% dari total penduduk Indonesia. Sedang pengangguran pada usia tersebut dinyatakan telah mencapai titik kritikal, yaitu sebanyak 9,9 juta orang. Dalam artian, ada sekitar 22,25% atau sekitar 10 juta lebih penduduk usia muda yang masih belum memiliki pekerjaan. Baik itu berupa kegiatan sekolah, bekerja atau mengikuti pelatihan (radarjogja.com, 22/10/2024).
Padahal merujuk pada rentang usia tersebut, mereka termasuk dalam kategori gen z yang notabene merupakan generasi produktif dengan tingkat melek huruf 99,98%. Belum lagi bila dilihat dari segi kemampuannya berbaur dengan kecanggihan teknologi. Generasi inilah yang paling akrab dengan teknologi digital dibanding dengan generasi sebelumnya.
Gan Z Terbuai Zona Nyaman
Gen z adalah generasi yang termanjakan oleh kehadiran teknologi. Dalam setiap aspek kehidupannya, generasi ini tak pernah lepas dari gadget sebagai sarana koneksi dengan dunia digital. Tidak dipungkiri, segala hal yang berbau digital telah memberi banyak kemudahan dalam setiap bidang kehidupan. Dari mulai urusan belanja, bekerja, hingga mengerjakan tugas sekolah. Kemudahan inilah yang secara tidak langsung menjadi sumber kemalasan pada diri Gen Z.
Generasi yang mendapat sebutan generasi rebahan ini mampu berlama-lama berdiam diri sembari berinteraksi dengan gadget yang menghubungkan mereka dengan dunia digital. Mereka tidak perlu keluar rumah untuk membeli barang, karena semua sudah tersedia secara online. Mereka juga tidak perlu keluar rumah bila memerlukan pelatihan, semua dapat dilakukan secara digital. Tak sedikit pula yang kemudian mengambil profesi yang berhubungan dengan dunia digital saking nyamannya dengan kehidupan yang berinteraksi terus dengan teknologi ini, tanpa perlu lelah dan kepanasan keluar rumah. Bahkan banyak juga dari mereka yang mempergunakan teknologi AI dalam mengerjakan tugas.
Jaminan kemudahan dan kesenangan yang diberikan oleh teknologi digital telah membangun zona nyama bagi Gen Z. Mereka jadi tidak terlatih bekerja keras untuk meraih sesuatu. Hal ini tentu memiliki sisi negatif bagi kehidupan Gen Z. Gen Z menjadi pribadi yang cenderung malas, dari kemalasan fisik, hingga kemalasan berpikir.
Pola Asuh Turut Membentuk Karakter
Pola hidup anak sangat bergantung pada pola pengasuhan orangtuanya. Ada orangtua dengan tipe altruistik yaitu orangtua yang memiliki kecenderungan mengikuti semua keinginan anak. Pola seperti ini berisiko membentuk mental anak yang lemah dan kurang sabar. Sedangkan orangtua tipe paternalistik cenderung membimbing anak untuk memiliki banyak pertimbangan demi masa depan, terutama memberi pemahaman mengenai risiko dan konsekuensi setiap tindakan.
Tanpa sadar, peran ibu sebagai pengurus rumah tangga turut menjadi penyumbang terbesar sisi lemah dan malas Gen Z. Kerasnya kehidupan pada zaman dahulu menuntut anak ikut berpartisipasi membantu urusan rumah tangga, seperti membersihkan rumah, menjaga adik, mengurus pakaian, bahkan memasak. Sedang pada zaman sekarang, ketika ibu rumah tangga memilih untuk bekerja, anak-anak dibuai dan dimanjakan dengan keberadaan pembantu, baby sitter, laundry, katering, semua yang tidak membutuhkan tenaga sendiri, tapi uang sebagai pembayaran atas jasa yang didapatkan. Dari sinilah orientasi gen z terhadap materi atau uang terbentuk. Muncul pernyataan dengan uang semua bisa teratasi, dan uang lah sumber kebahagiaan yang perlu dicari.
Gen Z Berpotensi Mendukung Perubahan
Meskipun Gen Z memiliki banyak sisi negatif, namun Gen Z memiliki potensi dan peluang yang besar dalam mendukung perubahan kehidupan. Segala ilmu pengetahuan dapat dengan mudah mereka dapatkan melalui dunia digital. Semudah itu pula mereka menyebarkan informasi. Satu opini Gen Z yang dikirimkan ke dunia digital akan mampu memberi pengaruh kepada orang lain tanpa terkendala waktu dan tempat, dimanapun mereka berada.
Disini lah titik rawan dari generasi ini. Bila pribadinya baik, opini yang disebarkannya pun akan baik. Sebaliknya, bila pribadinya buruk, opini yang disebarkannya pun akan buruk. Untuk itu, diperlukan Gen Z yang berakidah untuk mendukung perubahan tatanan kehidupan yang hakiki. Yaitu tata kehidupan Islam sesuai ajaran Nabi. Tatanan kehidupan yang sempurna yang di syariat kan oleh Allah Yang Maha Sempurna, pencipta kehidupan, agar terwujud keselamatan bagi semua umat manusia.
Gen Z Memerlukan Pembinaan Secara Islam
Demi mempersiapkan Gen Z yang memiliki semangat, mereka harus dibina dengan kaidah Islam. Mereka perlu penanaman akidah sebagai landasan berpikir dalam segala situasi. Kesadaran tentang hakikat kehidupan akan membuat mereka tidak lagi berorientasi pada uang atau materi dan kesenangan dunia semata. Sehingga terciptakan generasi yang kuat, melek teknologi yang diimbangi dengan ketakwaan, agar kecerdasan intelektual tidak disalah gunakan. Kemampuan interaksi secara digital tidak digunakan untuk melenceng dari aqidah atau pun melakukan kemaksiatan.
Gen Z memerlukan pendidikan shahih melalui partai yang shahih. Yaitu partai atau kelompok yang berideologi Islam. Kelompok ini harus memiliki tiga unsur didalamnya, yaitu pemikiran mendalam secara Islam, tata cara yang jelas secara Islam, dan manusia-manusia yang bersih di dalamnya. Dengan begitu, terwujudnya perubahan menuju kebangkitan Islam adalah suatu keniscayaan.
Views: 28
Comment here