Opini

Mempertanyakan Urgensi Proyek IKN di Tengah Pandemi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Siti Subaidah

(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

Kelanjutan mega proyek pemindahan IKN saat ini masih samar-samar terdengar. Diketahui proyek ini di putuskan secara resmi di tahun 2019. Kala itu  proyek pemindahan IKN menjadi topik panas yang di bicarakan dimana-mana baik di forum media nasional maupun di di kalangan masyarakat. Oleh masyarakat Kalimantan Timur sendiri, pindahnya IKN menimbulkan euforia yang besar. Angan-angan akan mendapat jaminan hidup yang lebih sejahtera seolah sudah terbayang di depan mata.

Proses pemindahan IKN ke lokasi yang baru memang bukanlah perkara mudah. Banyak yang perlu diperhitungkan dan di persiapkan. Bahkan proses pemindahan IKN saat ini pun terkesan tarik ulur. Pemerintah pusat yang sepertinya terlihat sibuk dalam penanganan pandemi dan ekonomi, nyatanya terus melanjutkan proyek ini. Proses pembangunan penunjang infrastruktur sampai saat ini masih terus berjalan. Walaupun  lambat dan tak sesuai target namun tetap progres. Padahal belum ada suara bulat dari DPR untuk melanjutkan mega proyek ini.

Diketahui, tiga fraksi di DPR RI belum menyetujui pembahasan rancangan undang-undang (RUU) IKN sebagai dasar hukum pemindahan pusat pemerintahan Indonesia ke Kaltim. Tiga fraksi itu adalah Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Mereka menilai bahwa proyek ini belum mendesak untuk segera dirampungkan. Bahkan Fraksi tersebut ingin pemerintah mengeluarkan RUU IKN dalam pembahasan program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021. (PROKAL.CO 16/3/2021)

Ketimpangan antara dasar hukum dan fakta di lapangan yang tidak berkesesuaian tentu menimbulkan tanda tanya. Mengapa proyek ini terus dikejar? Dasar hukum belum ada, ditambah lagi jika berbicara urgenitas tentu pandemi lebih menuntut untuk segera diselesaikan.

Memanjakan Para Investor

Diawal sejak wacana ini bergulir di tahun 2019, mega proyek ini ibarat hidangan mewah  yang begitu menyita perhatian terutama para investor. Baik investor dalam negeri maupun luar negeri berlomba-lomba ikut terjun dalam proyek ini baik sebagai pemodal maupun penyedia jasa. Keuntungan yang didapatkan tentu bukan hanya bilangan ratusan juta, namun diprediksi hingga milyaran. Hal inilah yang menjadi target mereka.

Proyek pemindahan IKN tadinya digadang-gadang rampung di tahun 2024. Namun diluar dugaan pandemi menyapu bersih angan-angan tersebut. Proyek mandek, tak sesuai target. Pengeluaran anggaran bengkak karena pandemi sementara proyek kerjasama sudah terlanjur ditandatangani. Para investor yang kepalang tanggung berinvestasi tentu tak mau merugi dengan membiarkan dana mereka mengendap tanpa memperoleh untung. Desakan para investor untuk memuluskan proyek ini akhirnya tak terelakkan. Dan inilah Indonesia, konsekuensi kehilangan investor sepertinya lebih membuat pemerintah takut sehingga ngotot melanjutkan proyek ini dengan sembunyi-sembunyi sekalipun belum ada dasar hukumnya. Namun bolehkah ini dilakukan di negeri yang menjunjung tinggi hukum?

Akibat penerapan demokrasi, hal ini niscaya terjadi. Trias politika yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif nyatanya hanyalah simbol pelaksana demokrasi. Legislatif, lembaga pembuat UU banyak sekali melahirkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha ketimbang kemaslahatan masyarakat. Tak perlu jauh-jauh mencari, UU Omnibuslaw salah satunya. Begitupula dengan eksekutif sebagai pelaksana UU, terkadang kebijakan yang dilakukan malah menciderai hak rakyat yang telah dijamin UU. Sementara yudikatif sebagai pengawas pelaksana UU, sekarang lebih berperan sebagai penjaga kepentingan penguasa dan pengusaha. Tajam ke bawah, tumpul keatas.

Kekuasaan yang sejatinya ditangan pemerintah berubah sesuai kemauan pemilik modal (investor). Alih-alih menggunakan kekuasaan dan kebijakan demi kemaslahatan masyarakat, malah hal itu digunakan untuk memanjakan para investor.

Kewenangan Mutlak di Tangan Khalifah

Dalam Islam, kekuasaan tidak dibagi-bagi seperti dalam demokrasi. Semua terpusat pada penguasa atau khalifah. Khalifah memiliki kewenangan penuh atas segala kebijakan. Karena sejatinya merupakan tanggung jawab khalifah dalam mengatur jalannya pemerintahan. Selain itu segala kebijakan di peruntukkan demi kemaslahatan umat. Tidak dibiarkan ada intervensi dari pihak luar dalam penetapan kebijakan khalifah. Kebijakan yang diambil pun bukan mempertimbangkan asas untung rugi. Namun semua disandarkan pada Al-Qur’an dan As Sunnah sehingga kebijakan yang dihasilkan sudah pasti adil dan tidak mendzolimi umat.

Inilah perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dan sistem pemerintahan demokrasi dalam mengurusi rakyat. Jika demokrasi, meniscayakan kebijakan diambil berdasarkan kepentingan maka Islam sebaliknya. Kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan oleh khalifah adalah kunci dalam mensejahterakan umat. Karena ia tahu bahwa tampuk yang ia pikul akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Wallahu alam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here