Oleh Anidah, S.Si., M.T.Pn.
(Food Safety & Halal Enthusiast)
wacana-edukasi.com, OPINI– Keamanan pangan kembali menjadi sorotan pasca ditariknya mie instan produksi Indonesia oleh beberapa negara, diantaranya Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia (Kompas.com, 27/04/2023). Penarikan ditengarai akibat ditemukannya cemaran Etilen Oksida (EtO) pada sampel mie, bumbu, dan bubuk cabe yang melebihi ambang batas negara Importir, sehingga dinilai dapat membahayakan kesehatan. Meski demikian BPOM sebagai otoritas keamanan pangan olahan di Indonesia menilai produk yang ditolak tersebut tetap aman dikonsumsi karena masih di bawah ambang batas yang ditetapkan BPOM. Adanya perbedaan tersebut membuat masyarakat khawatir. Benarkah produk tersebut aman, dan mengapa terdapat perbedaan standar keamanan pangan di dunia? Bagaimana pula realitas & jaminan keamanan pangan saat ini?
EtO, Isu Baru Keamanan Pangan
Recall atau penarikan produk dari pasar akibat ditemukannya zat berbahaya EtO dalam pangan, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Di tingkat global, cemaran EtO pada produk pangan memang merupakan emerging issue (isu baru) dalam keamanan pangan. Diawali pada tahun 2020, The European Union Rapid Alert System for Food and Feed (EURASFF) yang merupakan sistem informasi bahaya keamanan pangan & pakan Eropa, mengeluarkan notifikasi (pemberitahuan) temuan EtO dari biji wijen asal India dengan kadar yang sangat tinggi yaitu 186 mg/kg (atau ppm). Jauh melebihi batas maksimal residu (BMR) EtO di Eropa sebesar 0,5 ppm (Regulation (EC) 396/2005). Selanjutnya di tahun 2021 dan 2022 juga kembali ditemukan cemaran EtO dan senyawa turunannya 2-chloro ethanol (2-CE), tidak hanya pada biji wijen namun temuan meluas dari bahan tambahan pangan (BTP), rempah, ataupun pangan olahan, termasuk mie instan dan es krim. Total terdapat 857 notifikasi terkait EtO dari September 2020 – September 2022, dan 1 diantaranya merupakan produk mie instan asal Indonesia yang ditemukan di Jerman pada Desember 2021 (BPOM, 2022).
Sejak itu negara-negara lain mulai memperketat pengujian EtO pada bahan pangan maupun pangan olahan yang diimpor dari luar negeri. Hasil pengujian EtO oleh negara Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia menemukan beberapa produk telah tercemar EtO termasuk beberapa diantaranya produk dari Indonesia.
EtO adalah senyawa kimia berupa gas, sangat mudah menguap, tidak berwarna, dan bersifat karsinogenik (pemicu kanker). EtO digunakan sebagai fumigan untuk mencegah pertumbuhan bakteri Salmonella selama penyimpanan dan pengiriman produk pangan. Setelah proses fumigasi, residu EtO dihilangkan dengan aerasi selama 24 jam. Residu EtO yang tertinggal dan bereaksi dengan klorin pada bahan pangan, menghasilkan senyawa beracun non-volatile 2-CE. Senyawa inilah yang dideteksi pada saat pengujian, lalu nilainya dikonversi menjadi EtO. Taiwan mendapatkan kadar 2-CE sebesar 0,34 ppm pada mie instan asal Indonesia, sementara BPOM merekomendasikan BMR 2-CE sebesar 85 ppm. Atas dasar ini BPOM menyatakan produk mie tersebut masih aman dikonsumsi. Sementara itu produsen mie mengklaim tidak menggunakan EtO dalam proses produksi serta telah mengikuti regulasi negara tujuan ekspor. Hingga kini asal muasal EtO pada produk mie tersebut masih menjadi spekulasi dan diperlukan penelitian lebih jauh.
Perbedaan Standar dan Kepentingan
Terdapat perbedaan BMR EtO dan 2-CE pada pangan olahan di berbagai negara. Perbedaan tersebut disebabkan belum adanya kesepakatan ilmuwan karena data yang ada saling bertentangan dan masih diperlukan penelitian lanjutan. BPOM dalam Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida, 2,6-Diisopropilnaftalena dan 9,10-Antrakinon menyebutkan beberapa standar di tingkat global terkait EtO dan 2-CE diantaranya dari Codex Alimentarius Commission (CAC), Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Singapura (BPOM, 2022).
CAC sebagai komisi yang menjadi acuan regulasi pangan untuk perdagangan internasional, belum mengatur BMR EtO dalam pangan olahan. Negara-negara lain bisa saja menetapkan standar yang lebih ketat sepanjang disertai dengan bukti ilmiah. Uni Eropa menetapkan BMR EtO berkisar antara 0,01-0,1 ppm bergantung pada jenis produknya. Di Amerika Serikat dan Kanada, BMR EtO dan 2-CE dibatasi maksimal masing-masing 7 ppm dan 940 ppm, didasari bahwa EtO akan hilang lebih cepat dan residunya akan berkurang secara signifikan setelah penggunaannya. Jepang tidak mengatur BMR EtO secara spesifik, namun senyawa tersebut dikenakan aturan batas maksimum yang sama untuk semua jenis produk pangan yang mengandung residu EtO sebesar 0,01 ppm. Singapura hanya mengatur kandungan EtO pada komoditas rempah-rempah, dengan batas maksimal 50 ppm. Namun, residu pestisida selain yang diatur pada regulasi tersebut tidak diizinkan. Artinya, makanan apapun tidak boleh mengandung residu pestisida, termasuk dalam buah-buahan.
Di Indonesia penggunaan EtO sebagai pestisida telah dilarang melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida. BPOM baru merekomendasikan acuan BMR EtO dan 2-CE pada pangan olahan di akhir tahun 2022 pasca kasus recall produk mie Indonesia di luar negeri. Berdasarkan analisis risiko, BPOM menetapkan BMR 0,01 ppm untuk EtO, dan 85 ppm untuk 2-CE. Harmonisasi regulasi di tingkat Kementrian dan BPOM jelas diperlukan, karena faktanya proses yang terjadi sejak bahan pangan ditanam, dipanen, diproses menjadi pangan olahan adalah proses yang saling terkait.
Perbedaan standar keamanan pangan di dunia saat ini tak bisa dilepaskan dari tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, semakin kompleks tuntutan yang diajukan. Pangan tak hanya dituntut cukup jumlahnya (secure), juga harus aman (safety), menunjang kebutuhan aktivitas (nutrition), bercita-rasa (palatability) hingga menunjang kesehatan (fungsionality). Eropa merupakan negara dengan standar keamanan pangan yang paling ketat, yang ditunjang dengan sistem pengawasan pangan yang responsif sepanjang tahun. Standar EtO di Eropa misalnya menjadi yang terketat dengan nilai yang sangat rendah yaitu 0,001 – 0,1 ppm. Contoh lainnya adalah cemaran aflatoksin B1 yang kerap menjadi alasan penolakan produk rempah Indonesia di Eropa, ditetapkan maksimal 5 µg/kg (atau ppb), sementara Indonesia menetapkan maksimal 15 ppb (BPOM, 2018). Sehingga apa yang dinyatakan aman di Indonesia belum tentu aman bagi Eropa.
Meski kadang banyak pihak menganggap pengetatan standar tersebut merupakan upaya menghambat masuknya produk impor ke negara-negara Eropa, atau dikenal dengan hambatan non-tarif. Pemutakhiran standar juga kerap dilakukan seiring dengan inovasi teknologi yang dicapai. Penemuan instrumen analisis canggih dengan kemampuan limit deteksi yang sangat rendah turut mendorong perubahan nilai standar menjadi lebih rendah juga. Sehingga negara-negara eksportir mau tidak mau harus menyesuaikan produknya dengan standar baru tersebut, termasuk berinvestasi pada instrumen analisis baru yang notabene hanya bisa diproduksi di negara-negara maju.
Ditinjau dari sisi ekonomi, standar yang sangat ketat mencerminkan besarnya upaya yang harus dilakukan petani, industri pangan, hingga distributor pangan untuk memenuhi standar yang ditetapkan agar produk pangan tidak tercemar, yang tentunya membutuhkan dukungan teknologi dan biaya yang tidak sedikit. Alasan ekonomi itulah yang kadang menjadikan banyak negara-negara berkembang menetapkan standar yang lebih longgar untuk kebutuhan di dalam negerinya, selama masih manageable dan disertai bukti ilmiah.
Jaminan Keamanan Pangan
Pangan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Jaminan atas kecukupan dan keamanannya diakui sebagai salah satu hak asasi manusia dalam sidang keamanan pangan WHO. Pangan juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya dijamin oleh UUD tahun 1945. Jika akses terhadap pangan yang aman, bermutu dan bergizi terhambat atau bahkan tidak dapat dipenuhi, maka dapat membahayakan dan mengancam masyarakat.
Penjaminan keamanan pangan bertujuan agar pangan yang beredar di tengah masyarakat aman dan bebas dari kontaminan atau cemaran bahaya pangan, baik yang bersifat fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Kontaminasi pada pangan dapat terjadi di sepanjang rantai produksi, dari lahan hingga makanan terhidang di piring, atau dikenal dengan istilah from farm to table. Kontaminasi juga bisa terjadi secara disengaja ataupun tidak. Pihak yang terlibat di sepanjang rantai produksi pangan turut berkewajiban memastikan dan menjaga pangan yang sampai ke konsumen dalam aman dikonsumsi.
Munculnya kasus terkait keamanan pangan saat ini menggambarkan ada kebocoran dalam hal penjaminan. Sebelum isu EtO muncul, kasus temuan bahan berbahaya dalam pangan seperti formalin dalam tahu, pewarna Rhodamin B dalam jajanan anak, boraks dalam bakso menjadi kasus rutin yang ditemukan pada saat inspeksi. Berikut KLB keracunan pangan di Sekolah Dasar juga kerap tercatat dalam laporan tahunan BPOM. Upaya preventif belum dilakukan dengan agresif, misalnya memperketat aturan perdagangan dan distribusi bahan berbahaya seperti formalin, nitrit, boraks, dan Rhodamin B. Negara merupakan pihak paling berwenang sekaligus paling bertanggung jawab apabila terjadi kasus yang mengancam keamanan pangan.
Dalam Islam, Allah swt memerintahkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan tayib.dalam firman-Nya yang artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tayib) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).
Allah swt juga berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]: 9).
Perintah tersebut menyiratkan harus adanya penjaminan pangan yang tidak hanya halal namun juga tayib untuk menghasilkan generasi penerus yang sehat dan kuat. Penjaminan secara komprehensif tak bisa dilakukan dalam skala individu maupun kelompok masyarakat saja. Banyaknya produk-produk pangan yang telah melalui serangkaian proses tertentu yang diperjualbelikan, menuntut harus adanya pengawasan mutu dan keamanan dari para ahli. Belum lagi ditambah maraknya produk impor dari luar negeri, termasuk negeri non-muslim yang harus dipastikan status halalnya. Sehingga pengurusan dan penjaminan keamanan pangan mutlak dilakukan oleh negara secara sistematis.
Salah satu upaya penjaminan negara adalah memenuhi standar keamanan pangan di masyarakat dengan layak dan adil, dari sisi kecukupan, keamanan, nutrisi, cita rasa, dan kesehatan. Negara tak harus menunggu masyarakat menuntut, namun atas dasar kepatuhan pada perintah syariat, negara berinisiatif menjaga dan memenuhi standar keamanan pangan yang layak dan adil.
Upaya lainnya yang tak kalah penting adalah dukungan terhadap penelitian terkait potensi bahaya keamanan pangan, meski belum ada laporan keracunan atau efek negatif di lapangan. Kemandirian dalam hal riset menjadikan negara tidak perlu bergantung pada data-data dari negara lain yang belum tentu bersih dari kepentingan politis. Data-data hasil penelitian yang komprehensif akan menjadi landasan kuat bagi negara menetapkan regulasi keamanan pangan.
Dukungan masyarakat terhadap penjaminan keamanan pangan tak kalah penting. Masyarakat yang telah menyadari pentingnya pangan yang aman dan halal, akan turut memastikan pangan yang dikonsumsi di tingkat rumah tangga halal dan tayib. Tidak saja terhadap bahaya keamanan pangan, namun ancaman penyakit kronis dari BTP yang lumrah dikonsumsi seperti gula, garam, dan lainnya juga akan menjadi perhatian. Demikianlah Islam mewajibkan negara hadir sebagai penjamin keamanan pangan dengan seperangkat sistem yang dimilikinya. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan mengadopsi Islam sebagai sebuah sistem hidup. Wallahu’alam.
Referensi:
1. https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/27/130000065/daftar-produk-mi-instan-indonesia-yang-pernah-ditarik-dari-peredaran-di?page=all
2. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 229 Tahun 2022 Tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida, 2,6-Diisopropilnaftalena dan 9,10-Antrakinon.
3. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Batas Maksimum Cemaran Kimia Dalam Pangan Olahan: BPOM.
Views: 23
Comment here