wacana-edukasi.com– Tren korupsi seolah tiada henti. Dari tahun ke tahun pejabat negeri yang terjerat korupsi semakin menjadi. Korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Sungguh, mau dibawa ke mana nasib negeri ini? Jika para pemimpinnya tega menempuh jalan haram demi keuntungan pribadi.
Sepanjang tahun 2021 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021. Dari jumlah tersebut, KPK telah selesai memproses 3.673 laporan. Sementara sepanjang bulan November 2021, KPK menangani 101 perkara korupsi dengan 116 pelaku. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya mengatakan bahwa penanganan perkara korupsi yang ditangani lembaga antirasuah pada tahun ini lebih banyak dari tahun 2020 sebelumnya. Di mana pada tahun 2020 KPK mencatat telah menangani 91 perkara dengan 101 tersangka (liputan6.com 20/12/21).
Wajar saja, dalam sistem kapitalisme ongkos politik tak semurah harga terasi. Para calon politikus harus meronggoh kocek dalam-dalam guna mahar partai politik (parpol), keperluan kampanye, cetak spanduk/baliho, dan biaya lainnya. Maka, jika sudah menjabat jalan pintas untuk ‘balik modal’ adalah dengan korupsi. Di sisi lain, keringnya iman calon pemimpin negeri menjadikan mereka bebas melakukan perbuatan sesuai kehendak sendiri. Lihatlah, betapa banyak korupsi dilakukan secara berjamaah.
Selain itu, penegakkan hukum bagi koruptor di negeri ini masih lemah. Penanganan korupsi masih bersifat mendasar belum menyeluruh dari akar. Yakni permasalahan sistemis terjadinya korupsi. Belum lagi diperparah adanya pemberian remisi bagi koruptor. Sehingga mengakibatkan korupsi terjadi lagi dan lagi.
Oleh karena itu, saat ini kita tentu mendambakan negara yang bebas akan korupsi. Negara yang menerapkan sistem Islam untuk mengatur kehidupan. Ketakwaan individu menjadi modal utama seseorang dalam melakukan perbuatan, agar sejalan dengan perintah Rabb-nya. Dalam Islam, korupsi adalah perbuatan yang diharamkan. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Maka, pemimpin yang memiliki ketakwaan menyeluruh akan takut melakukan korupsi.
Selain itu, ongkos politik dalam sistem Islam tidaklah sekarang. Sebab, pemilihan pemimpin dilakukan dengan sederhana, efektif, dan efisien. Negara Islam juga akan menindak tegas para pelaku korupsi. Yakni ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksinya dapat berupa penjara, pengumuman pelaku di media umum, cambuk atau bahkan hukuman mati. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menghentikan pelaku korupsi.
Ismawati
Palembang, Sumatera Selatan
Views: 11
Comment here