Oleh: Ummu Haneem (Pendidik dan Pemerhati Kebijakan Pendidikan)
Wacana-edukasi.com — Negeri ini masih di landa pandemi. Setiap hari jumlah angka pasien yang terkena virus mematikan itu terus merangkak naik. Belum ada tanda-tanda kapan virus korona akan hengkang dari bumi pertiwi. Bahkan, pakar ilmu epidemiologi dan ahli pemodelan matematika mengatakan bahwa peningkatan virus terjadi disebabkan oleh adanya mobilitas masyarakat dengan tatanan kehidupan baru pada masa new normal (bbc.com, 13/07/2020). Jadi, wajar jika para pemangku kebijakan sibuk membuat terobosan-terobosan baru, tak terkecuali Pak Mendikbud, Nadiem Makarim.
Dalam rangka memutus rantai penyebaran covid-19, maka diambillah langkah daring atau pembelajaran secara online atau yang dikenal pula dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ditakutkan jika anak-anak berkumpul mengikuti pembelajaran di sekolahan dalam waktu yang lama, maka resiko penularan covid-19 akan semakin tinggi. Berharap kebijakan tersebut menjadi solusi, tetapi kenyataan di lapangan didapati bahwa kebijakan tersebut tetap menuai masalah.
Dilansir dari Liputan6.com (20/10/2020) seorang siswi sekolah menengah atas (SMA) di Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, ditemukan tewas dengan mulut berbusa di kamarnya pada Sabtu (17/10/2020). Pelajar berusia 16 tahun itu diduga tewas setelah menenggak racun rumput karena depresi tugas daring dari sekolahnya. Persoalan lain yang muncul adalah banyaknya tugas daring membuat para orang tua jadi darting (darah tinggi). Orang tua merasa terbebani karena mereka harus menjadi guru baru bagi anak-anak. Saat anak-anak yang diajari tidak segera memahami bahan ajarnya, di antara para orang tua ada yang cenderung marah dan melakukan kekerasan pada anak.
Senada dengan hal tersebut, dikutip dari KompasTV.com (16/09/2020) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berusia 8 tahun ketika mengalami kesulitan belajar jarak jauh secara daring (online).
Problem lainnya adalah ketidakmampuan orang tua dalam mengajarkan materi karena latar belakang pendidikan yang kurang memadai. Ditambah lagi, ketiadaan jaringan dan fasilitas mobilephone, seperti HP. Semuanya bercampur menjadi deretan panjang problem pendidikan di masa pandemi.
Dilansir dari Suara. com, 25/10/2020, berdasarkan data didapati bahwa siswa memperoleh bantuan kuota internet gratis sebesar 35 GB, sementara guru 42 GB. Namun, realitanya bantuan kuota yang tidak ditunjang dengan adanya jaringan, maka PJJ menjadi terkendala. Siswa maupun guru tidak bisa mengakses data atau mengirim data dengan baik.
Memang benar bahwa covid-19 merupakan wabah menular dan mematikan yang datangnya di luar kuasa manusia, akan tetapi bukan berarti pengambilan kebijakan itu bersifat prematur dan tidak diukur.
Akibatnya, hak generasi untuk mengenyam pendidikan yang layak di negeri ini teramputasi. Lagi-lagi anak-anak seolah hanya menjadi kelinci percobaan saja.
Kebijakan yang tambal sulam pun berimbas kepada para pendidik yang gagap terhadap terobosan-terobosan baru. Tak bisa dipungkiri, ada di antara para pendidik yang masih gagap dengan teknologi. Tidak adanya fasilitas yang memadai, seperti mobilephone pendidik yang masih “jadul” juga menjadi penghalang bagi guru untuk transfer ilmu. Lagi-lagi, ketiadaan jaringan. Tentu saja menjadi penghambat bagi para pendidik menunaikan kewajiban.
Pada akhirnya, ketidaktepatan pengelolaan negara, tak terkecuali dalam masalah pendidikan di masa pandemi tersebut semakin menyingkap wajah buruk pendidikan di negeri ini. Membuat kebijakan tanpa disertai dengan pemetaan masalah pada tiap-tiap wilayah, jelas kebijakan yang dikeluarkan menuai masalah. Demikianlah, pendidikan yang diselenggarakan di alam kapitalistik, bukannya menyelesaikan masalah, malah menuai masalah.
Meneladani Sistem Pendidikan Warisan Nabi
Sejatinya krisis dan pandemi pernah terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia, yakni pada era keemasan Islam. Namun, semua ujian tersebut berhasil dilalui karena negara berbasis pada akidah Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Berpijak pada akidah Islam pula, negara terdorong menjalankan perannya sebagai periayah segala urusan masyarakat. Hal ini terbukti bahwa selama 14 abad negara telah memberikan pendidikan secara gratis dan berkualitas serta mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan, bagi warga negara yang jauh dari ibu kota, maka negara akan menyediakan guru khusus beserta berbagai fasilitas yang menunjang pembelajaran.
Konsep pendidikan warisan Nabi adalah sebuah konsep yang berasal dari Allah Swt. Bersumber dari mata air pemikiran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah. Adapun di antara yang prinsip dari konsep agung tersebut adalah:
Pertama, pendidikan adalah pelayanan dasar publik. Maka dari itu, negara berupaya memberikan pelayanan pendidikan secara gratis dan berkualitas.
Kedua, Negara bertanggung jawab penuh. Allah telah mengamanahkan rakyat di pundak seorang kepala negara. Maka dari itu, dia harus bertanggung jawab penuh dalam mengurusi rakyatnya. Ditegaskan oleh Rasulullah dalam tuturnya, yang artinya imam yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. (H. R. Bukhari)
Ketiga, Pendidikan diberikan secara gratis. Berlaku bagi siapa saja yang menjadi warga negaranya.
Keempat, kendali mutu jaminan pendidikan dalam Islam berpedoman pada tiga strategi utama, yakni administrasi yang simpel, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh individu yang kapabel.
Dengan meneladani apa yang telah dicontohkan oleh nabi tentunya pelaksanaan pendidikan akan berlangsung secara optimal, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Lebih dari itu, negara senantiasa melakukan kontroling terhadap pelaksanaan pendidikan. Hal yang tidak kalah pentingnya lagi adalah penyelenggaraan pendidikan tersebut ditopang oleh sistem politik dan ekonomi yang memadai. Jadi, meski dalam kondisi pandemi negara tetap bisa memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi seluruh warga negaranya, tanpa memandang kaya ataupun miskin, mslim atau nonmuslim, dan dari berbagai suku yang berbeda-beda.
Wallaahu’alam bi ash showab
Pati, 4 November 2020
Views: 3
Comment here