Opini

Menelisik Arti Kata ‘Perubahan Radikal’

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Siti Aisah, S.Pd.

(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

Wacana-edukasi.com — Lagi, isu radikalisme masih menjadi bahan gorengan oligarki politik negeri ini. Tak habis dari situ instrumen penilaian pejabat publik pun tak luput dari isu ini. Atas nama penjagaan instansi negara, beberapa lembaga publik menjadikan isu ini sebagai bahan penilaian.

Radikalisme sudah menjadi bahan politisasi negeri ini. Pandangan ini erat berkaitan dengan paham ekstrimis yang berkeinginan mengubah tatanan sosial negara. Nahasnya isu ini pun sering dikaitkan dengan ajaran terorisme yang notabene adalah tindakan di luar perikemanusiaan. Hal ini karena ide tersebut sering berkaitan dengan kekerasan sehingga gerakannya itu patut untuk diperangi dan ditentang oleh semua orang.

Komisi pemberantasan korupsi (KPK) pada waktu yang lalu telah melakukan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang bahasannya mengenai radikalisme. Hasilnya KPK memberhentikan 51 orang dari 75 pegawai yang gugur dalam TWK. Menurut pengamatan Boni Hargens sebagai analis politik, ia menilai isu TWK di KPK telah dipolitisasi secara berlebihan. TWK sebenarnya penting sebagai instrumen kebijakan dalam menjaga instansi negara dan semua lembaga publik bebas dari bahaya radikalisme. (akurat.com, 12/05/2021).

Arti Perubahan Radikal

Perlu diketahui, radikalisme memiliki asal kata yaitu radikal. Dalam bahasa latinnya disebut ‘akar’. Sehingga ide ini mengacu kepada hal-hal yang mendasar, berprinsip fundamental sehingga menimbulkan pokok soal yang esensial terhadap macam-macam gejala sosial. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep radikal diartikan sebagai “maju dalam berpikir atau bertindak”. Jika kata radikal itu dipasangkan pada kata perubahan, sehingga membentuk kalimat “perubahan radikal” maka diartikan sebagai perubahan “secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip)”. Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, atau paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Dengan demikian istilah radikalisme dari sisi sosial politik diartikan sebagai paham yang menginginkan perubahan atau pergantian secara mendasar pada suatu sistem kehidupan hingga ke akarnya. Sedangkan istilah radikal menurut Cambridge Dictionary adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. Dari sisi kamus Oxford ‘radikal’ diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh.

Namun sayangnya, saat ini label radikal berkonotasi buruk, patut dijauhi atau bahkan dimusuhi. Pemaknaan ini didukung pula oleh hegemoni penguasa, sehingga kontes penilaian pemilihan pejabat publik ataupun instrumen penilaiannya (baca: Soal TWK KPK) saat ini menjadi dasar layak tidaknya ia menduduki posisi tertentu (baca: ASN). Jika penilaiannya kurang maka akan diadakan pembinaan pemahaman nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara.

Kata radikal ini telah terkooptasi oleh penguasa untuk kepentingan politik. Labelling atau penjulukan definisi ini bersifat buruk dan mosterizing pun tak terelakkan. Sayangnya, cap radikal itu disematkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang cenderung dilihat secara keseluruhan, bukan kepada masing-masing perilaku. Contohnya, jika guru melabeli muridnya sebagai anak nakal maka pandangan murid lain melabelinya sama dengan cap nakal, walaupun ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batas kenakalan.

Khilafah: Citra Islam Konotasi Positif

Nahas isu monsterialisasi ini ditujukan kepada ajaran Islam kini lebih kuat lagi, pasalnya labelling radikalisme yang disangkutkan kepada politik Islam tak bisa dibendung lagi. Melalui berbagai media masa milik penguasa lebelling ini terasa lebih menakutkan. Hal ini karena kebangkitan Islam (baca: Politik Islam) terus menggeliat dilihat dari aksi protes bela Islam 1,2,3. Walhasil membuat para pembenci Islam berupaya menghadangnya hingga tidak bisa lagi bangun. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengkriminalisasi dan memonsterisasi islam. Hingga terciptalah sekatan Islam. Julukan Islam radikal, fundamental, dan terorisme inilah yang membuat Islamofobia makin kuat. Dengan demikian terbentuknya pelabelan terhadap semua orang atau kelompok yang menginginkan tegaknya kehidupan Islam sebagai Islam radikal berkonotasi buruk, bukan ke label perubahan radikal dengan Islam yang berkonotasi positif.

Kelompok atau gerakan yang menginginkan Islam diterapkan dalam sendi kehidupan. Artinya segala permasalahan di dalamnya diselesaikan dengan syariat Islam (baca: hukum-hukum Islam) secara sempurna, bukan Islam yang bersifat umum (baca: Islam seputar ibadah mahdah). Ini sebagai kelompok yang membahayakan, perlu diwaspadai atau bahkan dimusuhi karena berpotensi mengancam hingga merusak negara.

Sasaran utama pencitraan sebagai monster yang jahat dan kejam ini ditujukan kepada ide khilafah dan para pengusungnya. Sungguh miris, di tengah mayoritas penduduk muslim ini khilafah sebagai ajaran Islam dipandang demikian menakutkan. Sepertinya rekayasa ini dibuat sistematis dan dimaksudkan agar publik (baca: masyarakat) dapat menjauhi ide khilafah. Sehingga upaya mensekulerisasikan kaum muslim bisa diwujudkan dan politik Islam tidak akan pernah bangkit.

Islam sebagai agama yang diturunkan Allah SWT, sebagai rahmatan lil alamin tidak mungkin membahayakan atau menghancurkan negara. Tuduhan terhadap syariat khilafah yang agung jelas sangat tidak masuk akal. Hal ini diibaratkan sebagai seorang yang mengalami sakit, tetapi ia malah membenci dokter dan membuang obatnya, sehingga sakit yang dialami bukan sembuh malah semakin parah. So, labelling dan monsterizing ini tidak boleh dibiarkan, ini harus dilawan dan dihilangkan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 416

Comment here