Penulis: Sri Mulyati (Mahasiswi dan Member Amk)
Wacana-edukasi.com Keindahan alam yang memanjakan mata, semilir angin sepoi-sepoi menghembus kedalam jiwa. Membuat mata tak sanggup untuk berpaling dan enggan untuk meninggalkannya. Sukabumi yang terdiri dari wilayah kota dan kabupaten. Memiliki destinasi alam yang memanjakan mata seperti Pelabuhanratu. Salah satu tempat yang dijadikan wisata dan sangat cocok untuk tadabbur alam. Pantas, orang terdahulu kita memberi nama Sukabumi yang memiliki arti betah dibumi. Setiap orang yang tinggal di lingkungan seperti ini, enggan untuk meninggalkannya dan kembali ke kota-kota besar dengan menyaksikan hingar-bingar kemegahan dunia.
Dibalik keindahan wilayah Sukabumi, tersimpan sejarah yang penuh perjuangan para ulama untuk mengusir penjajah dan menyebarkan Islam. Pada masa itu, pergerakan politik dan keagamaan di dominasi oleh pergerakan Islam dan ulama. Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh yang mampu membuat musuh gentar adalah KH.Ahmad Sanusi yang tergabung dalam Syarekat Islam. K.H.Ahmad Sanusi mendirikan Pesantren di kampung Genteng, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi 1919. Beliau menganggap bahwa pesantren Genteng merupakan alat untuk perjuangannya dalam menegakkan Syari’at Islam dan memngusir penjajah di Sukabumi. (Kompasiana.com, 14/06/2015).
Para ulama yang mukhlis dan hanif seperti K.H.Ahmad Sanusi merupakan salah satu Kiai yang memiliki pengaruh kuat dalam mengusir penjajah dengan semangat membela syari’at Islam dengan menggelorakan jihad fisabilillah. Pada akhirnya penjajah lari terbirit-birit dan menang dalam penjajahan fisik pada waktu itu dalam melawan kolonial Belanda. Walaupun pada akhirnya, K.H.Ahmad Sanusi di buang ke Batavia sebagai konsekuensi dakwah dan perjuangan.
Gelora dakwah dan jihad yang masif disuarakan oleh para ulama di Sukabumi tatkala VOC masuk dan melakukan penjajahan melalui tiga misi utama yag dikenal yakni Gold, Gospel, dan Glory mengandung makna mencari kekayaan, menyebarkan agama dan kejayaan bangsa. Kekayaan yang mereka cari berupa rempah-rempah. Mereka mencari wilayah-wilayah yang strategis dan berpotensi untuk menghasilkan kekayaan tersebut. Wilayah Sukabumi menjadi sasaran empuk bagi para penjajah. Bermula datang dengan bermanis muka, berlaga menjadi pedagang dan pembeli. Pada akhirnya, niat busuk mereka diketahui para ulama yang bermukim di Banten yakni Syekh Yusuf Al-Makasari bergerilya di wilayah Jampang pada tahun 1683 untu melawan VOC.
Selanjutnya, mereka menetapkan dan merubah perannya dari bangsa berdagang menjadi penguasa teritori dan berusaha untuk menguasai tanah yang sudah dikuasai.
Pada tahun 1687 mereka memutuskan untuk mengirim Letnan Tanuwijaya dan Sersan Scipio ke Sukabumi tepatnya ke Gunungguruh sampai Pelabuhanratu untuk melakukan survey. Setelah itu mereka melakukan tanam paksa (cultuur stelsel) kopi dan nila sebagai komoditas yang laku di pasar internasional. Hal demikian menyulut kemarahan umat Islam, salah satunya ulama Jampang bernama Prawalasari yang dijuluki Karaman Jawa dan melakukan pemberontakan. (Sukabumiupdate.com, 02/06/2018)
Mengungkap sejarah perjuangan para ulama untuk mengusir penjajah seharusnya dapat dijadikan contoh pada masa ini dalam menghadapi penjajahan gaya baru yaitu perang pemikiran (Ghazwul Fikr).
Untuk mempertahankan harkat dan martabat bangsa dengan perjuangan penegakan Syari’at Islam dan khilafah. Berbicara tentang khilafah yakni sebagai sebuah institusi pemerintahan Islam yang memiliki peran penting pada saat penjajahan dilakukan keseluruh penjuru Nusantara. Adanya pengaruh yang kuat dan mampu menggetarkan musuh.
Ketika penjajahan Belanda, salah seorang yang bernama Snouck Hurgronje sebagai tokoh yang dikirim pemerintah Belanda untuk mempelajari gerakan politik di Aceh (pernah menduduki wilayah Sukabumi). Dengan strategi liciknya ia mengaku sebagai seorang muslim untuk memudahkan dalam mendekati dan bernegosiasi dengan para ulama. Dari masa tinggalnya di Aceh mulai Juli 1891 sampai Februari 1892, dikutif dari “Christian Snouck Hurgronje: History Of Orientalist Manipulation Of Islam Analysis”, Snouck menyusun laporan Intelejen dengan satu point penting perlawanan di Aceh tidak benar-benar di pimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan Belanda, namun leh ulama-ulama Islam.
Snouck mengakui tidak mungkin bernegosiasi dengan para ulama. Karena, Ideologi Islam yang menentang penjajahan telah tertanam kuat dalam pemikiran mereka. Pada akhirnya, Snouck mengatakan kepada pemerintah Belanda untuk melakukan kekerasan bukan dengan cara melobi. Menurut dia, kekerasan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam, dan konsep politik Islam lainnya; dan hanya bicara soal hari akhir dan ibadah ritual saja.
Melihat hal ini, Sultan Aceh tidak tinggal diam, Alaudin Muhammad Daud Syah mengirimkan surat kepada Sultan Abdulhamid II untuk meminta bantuan dalam menghadapi kelaliman kafir Belanda. Surat tersebut dikirim melalui Mehmed Kamil Bey.
Beliau menulis:
“Hamba adalah salah seorang penguasa Islam dan semua rakyat hamba adalah kaum Muslimin yang beriman. Bagaimana mereka lalu dapat menerima bahwa rohaniawan-rohaniawan datang ke negeri mereka untuk mengajarkan agama nasrani? Karena semua sebab itulah hamba sekarang bebas dari tanggung jawab dan menyerakan kepada Sri Baginda, Amir Al-Mu’minun dan khalifah kaum muslimin. Jika Sri Baginda tidak menolong hamba dan agama Islam, semua hal itu akan menimpa Sri Baginda pada hari kiamat dalam perjumpaan dengan perantara oang-orang yang berdosa (yaitu Muhammad) dan ketika itu ia akan (menghilangkan) kecemerlangan Amir Al-Mu’inin dari nama Sri Baginda. Sebab, Sri Baginda telah melalaikan kepentingan kaum muslimin yang telah meringkuk di bawah tangan kaum penindas dan juga melalaikan agama Allah serta Syai’at Rasul Saw”
Sungguh disayangkan, surat Sultan Aceh tersebut tidak pernah sampai ke tangan Sultan Abdulhamid II, melainkan jatuh ke tangan Snouck. Sehingga, pertolongan dari Kekhilafahan Turki Utsmani tidak kunjung datang. (Tintasiyasi.com, 08/08/2020)
Ulasan sejarah di atas merupakan bukti kepada kita bahwa peran khalifah dan khilafah sangat ditakuti oleh penjajah. Jika tidak ada pengaruh terhadapnya tidak perlu mensabotase surat tersebut. Selain itu, para ulama yang mengemban ideologi Islam akan mampu menggerakkan diri dan orang-orag di sekitarnya dalam berjuang meneggakan kalimat Allah. Tidak ada perbedaan tujuan dalam arah perjuangan seluruh ulama yang ada di Nusantara pada saat kafir penjajah menghadang. Diskursus mengenai jihad, negara Islam dan konsep politik Islam membuat musuh kocar-kacir dan tidak bisa tidur nyenyak.
Begitupun hari ini, jika ketiga hal ini dijadikan topik hangat untuk didiskusikan baik melalui dunia maya maupun dunia nyata akan mengalami hal yang sama. Pengaburan dan penguburan sejarah akan terus mereka lakukan dan mengecoh tentang adanya sejarah ini.
Terlihat dari harapan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah terhadap bantuan dari sang khalifah, merupakan bukti pengakuan adanya Khilafah. Beliau senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan korespondensi. Namun, pada akhirnya kafir penjajah selalu menghalang-halangi. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran memang akan ada aral dan rintangan yang selalu menghadang. Akan tetapi, hal demikian bukan alasan untuk mundur.
Dengan demikian, amat nyata bagi kita bahwa sejarah Islam di Nusantara tak terkecuali kota Sukabumi. Hal ini merupakan peranan dari para ulama yang shalih serta khilafah yang membantu mengusir penjajah. Suatu keniscayaan bahwa khilafah yang di nanti pun akan segera tegak manakala seluruh umat Islam mau memperjuangkannya dengan mencampakkan ideologi demokrasi sekularisme.
Wallahu a’lam bishawab
Views: 10
Comment here