Opini

Mengaku Untung Saat SDA Dikelola Asing, Mimpi!

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com– “Kita tidak boleh lagi berpikir Freeport ini punya orang lain, Freeport sekarang ini punya pemerintah Indonesia dengan sahamnya 51 persen punya BUMN,” demikian sesumbar Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia (tempo.co, 08/10/2022).

PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari perusahaan asal Amerika Serikat (AS) Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Masuk secara legal lewat UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu, PTFI mengeksploitasi SDA di dataran tinggi di kabupaten Timika, provinsi Papua, yang kaya akan tembaga, emas dan perak. PTFI pun menjadi salah satu tambang emas terbesar di dunia.

Jalan panjang “perjuangan” akuisisi PTFI dianggap sudah mulai signifikan. Dari saham 0%, kemudian 10% di tahun 2001 hingga 51% pada tahun 2018. Presiden Jokowi sumringah saat meninjau penggunaan teknologi 5G di tambang PTFI. Lebih bangga lagi ketika melihat yang mengoperasikan adalah pekerja yang orang Indonesia asli termasuk penduduk Papua.
Apalah arti saham 51% jika sebenarnya tambang itu bisa menjadi milik rakyat Indonesia sepenuhnya. Syaratnya, pengelolaan tambang tidak dengan sistem kapitalisme. Sebab meskipun PTFI menargetkan dapat menyetor uang mencapai US$80 miliar atau setara dengan Rp1.128 triliun, kurs Rp15.230, pada kas negara secara langsung hingga 2041 mendatang. Nilai itu masih terlalu kecil dengan pendapatan PTFI sesungguhnya.

Presiden mengklaim 70% penghasilan PTFI masuk kantong RI (cnnindonesia.com, 11/10/2022). Seharusnya bisa 100% namun karena masih dikelola sistem kapitalisme, manfaat SDA yang sangat besar itu tak dirasakan oleh rakyat. Klaim 70% masuk kantong RI itupun masih menyisakan tanda tanya besar: “kantong siapa?”. Cukuplah fakta korupsi pejabat hingga mafia peradilan menjadi jawaban atas tanda tanya besar tadi.

SDA di Sistem Kapitalisme

Di sistem kapitalisme, tak ada pengaturan tentang kepemilikan. Siapapun bisa memiliki apapun, selama memiliki modal. Termasuk SDA, jalan, gunung, laut, pantai dan hutan. Asas sekularisme mengizinkan manusia membuat aturan sendiri. Jadilah para penguasa membuat aturan yang memudahkan para kapital menguasai SDA. Seperti UU PMA, UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Penguasa hadir untuk melayani kepentingan para pengusaha atau kapital. Simbiosis mutualisme diantara keduanya tercipta saat kontestasi politik. Para kapital memberikan dana yang tak sedikit untuk memuluskan langkah calon penguasa menuju tampuk kekuasaan. Wajar jika aturan yang dihasilkan justru mengakomodir kepentingan para kapital, bukan untuk rakyat. Jadi, mimpi jika menganggap keuntungan akan didapat sementara SDA masih dikelola oleh asing. Faktanya, kekayaan SDA hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan seluruh rakyat.

SDA di Sistem Islam

Memaksimalkan keuntungan SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat hanya bisa terwujud di sistem Islam. Akidah Islam menjadi standar dalam kehidupan. Sistem Islam memiliki aturan yang lengkap dan membawa kemaslahatan bagi manusia sebab bersumber dari Zat yang menciptakan manusia dan alam semesta yaitu Allah SWT.

Dalam sistem ekonomi Islam, SDA yang jumlahnya seperti air mengalir, termasuk kepemilikan umum. Hal ini berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw. Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Berdasarkan hadits tersebut, ketika Rasul mengambil kembali tambang garam yang sudah diserahkan ke individu, pada saat itu posisi Rasul sebagai kepala negara. Ini maknanya, SDA adalah milik rakyat dan negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan umum.

Haram bagi negara menyerahkan pengelolaannya kepada swasta individu ataupun korporasi. Haram pula mengambil keuntungan dari pengelolaan SDA. Negara bisa menjual hasil pengolahan SDA kepada rakyat dengan harga pasar. Jika ada keuntungannya, negara bisa mengembalikan kepada rakyat dalam bentuk hasil pengolahan tambang itu sendiri, misal perhiasan emas, atau uang.
Keuntungan penjualan hasil tambang akan masuk ke Baitul mal pos kepemilikan umum. Dari pos kepemilikan umum ini, negara bisa membiayai pendidikan dan kesehatan. Sehingga setiap rakyat bisa mengakses dengan mudah, berkualitas dan cuma-cuma.

Pengelolaan SDA yang akan membawa kesejahteraan itu hanya ada di sistem Islam kaffah yaitu Khilafah. Wallahu a’lam []

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here