Oleh: Novianti
wacana-edukasi.com– Berbagai kebijakan tahun 2022 menjadi kado pahit bagi rakyat dan mengisyaratkan bahwa negara sudah tidak memiliki kekuatan. Pemerintah mengeluarkan aturan-aturan yang didominasi oleh kepentingan kelompok minoritas tertentu sementara nasib rakyat diabaikan.
Terekam sejak awal tahun, negara membuat kebijakan yang bersifat eksklusif. Dikatakan demikian karena minimnya partisipasi publik sehingga terkesan dipaksakan.
Seperti UU IKN yang proses pembahasan RUU nya dengan rekor tercepat dalam sejarah pembuatan UU. Padahal, proyek ini masih menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat tetapi selama pembahasan di DPR tidak diberi ruang untuk interupsi. IKN menjadi mirip proyek akal-akalan demi ambisi.
Megaproyek ini dinilai tidak tepat di tengah perekonomian yang belum pulih dan masih banyak pelayanan terhadap masyarakat yang belum optimal. Selain itu, dari mana dana proyek masih menjadi pertanyaan besar pasca mundurnya Sofbank sebagai investor, yang kabarnya diikuti oleh konsorsium lainnya.
Kebijakan lain yang mengejutkan adalah Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Melalui Inpres ini, keikutsertaan BPJS menjadi syarat untuk memperoleh layanan publik. Meski pemerintah berdalih sebagai upaya untuk memastikan semua lapisan masyarakat mendapat jaminan kesehatan, namun Inpres ini merupakan bentuk pemaksaaan dan pelanggaran terhadap hak layanan publik.
Disusul dengan kenaikan harga minyak goreng yang mengakibatkan antrian dimana-mana. Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sudah mengibarkan bendera putih menghadapi para mafianya. Situasi ini tentu sangat berdampak pada masyarakat terutama usaha kecil yang bergantung pada minyak goreng.
Tidak cukup sampai disitu, setelah pemerintah menaikkan gas LPG pada Desember 2021, PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi tabung 5,5 kilogram dan 12 kilogram per 27 Februari 2022 lalu. Ini merupakan kenaikan harga gas elpiji yang kedua dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Beban rakyat semakin bertambah dengan kelangkaan Pertalite di sejumlah daerah. Sementara PT Pertamina (Persero) telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500 – Rp 13.000 per liter dari sebelumnya Rp 9.000 – Rp 9.400 per liter. Kenaikan harga yang siginifikan.
Pemerintah juga tidak menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% mulai April 2022. Dengan kenaikan ini, harga sejumlah barang dan kebutuhan masyarakat pasti akan ikut terkerek.
Lengkap sudah penderitaan rakyat. Sudah jatuh tertimpa tangga.
*Bantuan Sosial Solusi yang Tidak Solutif*
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira di tahun 2021 ketika terjadi kenaikan LPG mengatakan inflasi akan meningkat di tahun 2022. Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti pangan tidak bisa dihindarkan. Kehidupan rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah akan sangat merasakan dampaknya (kontan.co.id, 29/12/2021).
Bisa dibayangkan penderitaan rakyat sekarang dimana harga berbagai kebutuhan dasar naik berbarengan padahal situasi pandemi belum sepenuhnya pulih. Keadaan ekonomi masih tertatih, pengusaha dan pedagang kecil baru mau bernafas. Semua kenaikan memberikan efek domino tidak hanya harga bahan pangan dan barang, biasanya diikuti oleh kenaikan layanan jasa seperti transportasi, pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah tetap berargumen bahwa kebijakan ini demi rakyat, kenaikan pajak akan dikembalikan pada rakyat. Kebijakan menaikkan berbagai harga dan pajak harus dilakukan karena jika tidak, akan menambah beban keuangan negara.
Untuk membantu masyarakat kecil, pemerintah sudah punya solusi yaitu mengalokasikan dana untuk bantuan sosial alias bansos. Setidaknya ada tiga jenis bansos yang masih akan diberikan dengan jenis dan jumlah yang beragam. Dengan bantuan ini diharapkan kesejahteraan dan daya beli masyarakat meningkat (cnbcindonesia.com, 02/01/2022).
Tetapi faktanya meski Bansos sudah disiapkan bukan berarti persoalan terselesaikan. Di lapangan banyak keluarga miskin yang tidak menerima atau pernah menerima kemudian terhenti padahal masih layak menerima.
Ketidakakuratan data menyebabkan tidak semua masyarakat yang membutuhkan bisa mendapat Bansos, sebagaimana yang disampaikan Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) (bbc.com, 21/ 07/2021). Selain persoalan data, jumlah bantuan belum bisa menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk hidup secara layak. Bantuan masih jauh dari kata cukup untuk menopang pemenuhan kesehatan, gizi, dan pendidikan.
*Ancaman Bom Waktu*
Di saat akan memasuki usia ke 77 tahun, nampaknya wajah Indonesia semakin suram. Kemerdekaan yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan makin jauh dari harapan. Situasi saat ini benar-benar dalam keadaan karut marut.
Kehidupan masyarakat bertambah sulit, persolan korupsi masih membelit, ruang kebebasan publik makin dipersempit, sementara para pejabat sibuk sendiri. Mereka membahas isu tiga periode, pembangunan ibu kota baru, gelar lomba sirkuit Mandalika yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat.
Masyarakat sudah hampir pada titik jenuh karena alih-alih menunjukkan empati, tanpa merasa berdosa pemerintah hanya menawarkan solusi seadanya. Demo masak tanpa minyak goreng ala PDIP, usulan Wapres cukup makan 2 pisang sudah tak perlu nasi, ajakan ubah gaya hidup dan jalan kaki.
Kritikan masyarakat disampaikan dalam berbagai rupa, rakyat kecil ikut bersuara di media sosial. Video ibu-ibu mengungkapkan kekesalannya pada seorang petinggi partai yang nyinyir pada pengantri minyak goreng. Vidro bapak-bapak yang ngamuk ketika mendengar perpanjangan tiga periode.
Meski kritikan dikemas dalam bentuk komedi namun ini menunjukkan kekesalan hampir pada titik kulminasi. Jika tidak segera direspon, setidaknya ada dua ancaman yang dapat menjadi bom waktu. Pertama, rakyat akan menumpahkan kemarahannya di jalanan dan ini bisa memicu pergesekan horizontal. Kedua, penurunan kekuasaan secara paksa yang dapat mengakibatka kekosongan jabatan kepemimpinan. Keduanya dapat mempengaruhi stabilitas sosial.
*Giliran Islam Aktor Panggung Dunia*
Potret rakyat akibat kedzaliman penguasan tidak hanya terjadi di Indonesia. Negeri-negeri lainnya juga mengalami kondisi sama. Ini buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis yang berorientasi pada kemajuan semu. Keberhasilan berdasarkan angka-angka yang bisa memanipulasi fakta dan tidak mencerminkan kondisi rill. Kemajuan dilihat dari infrastruktur sementara pembangunan manusia diabaikan.
Disinilah umat Islam seharusnya hadir menawarkan konsep yang datang dari Allah SWT. Membangun harapan dan menjadi oase bagi masyarakat yang sudah rapuh karena tercerabut sisi-sisi kemanusiannya.
Islam adalah sistem yang dapat diterapkan secara praktis menyelesaikan seluruh persoalan. Keunggulan Islam sebagai sebuah ideologi adalah memiliki aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia yang tidak ada dalam agama lainnya. Sedangkan idiologi sekuler kapitalis bersumber dari akal manusia yang terbatas.
Dakwah Islam Kaffah harus digencarkan agar keinginan kembali pada syariat Islam menjadi mayoritas. Pergantian ke sistem Islam tidak akan menimbulkan kekacauan karena perjuangannya anti kekerasan dan tidak melalui penggulingan kekuasaan. Inilah perubahan hakiki yang berada pada arah jalan yang benar.
Views: 13
Comment here