Opini

Mengatasi Pengangguran, Masihkah Ada Harapan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Mustika Anshorullah
(Pemerhati Sosial)

wacana-edukasi.com, OPINI– Seiring berkembangnya dunia usaha dan industri, rupanya menjadi tantangan serius bagi rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, di tengah kondisi tersebut ternyata tidak diimbangi dengan serapan tenaga kerja yang besar pula. Lapangan pekerjaan tersedia, jumlah tenaga kerja juga banyak, akan tetapi tidak semua orang berpeluang memasuki dunia kerja. Akhirnya banyak rakyat negeri ini yang tidak bekerja atau mengaggur, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada sekitar 7,99 juta pengangguran di Tanah Air per Februari 2023 lalu.

Pemerintah mengharapkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dapat menurun pada tahun 2024 mendatang. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai efektivitas kebijakan fiskal dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional bisa membantu hal tersebut hingga di kisaran 5,0%-5,7%. Meski begitu, beliau pun tidak menampik bahwa perkembangan teknologi digital yang dapat menghemat tenaga kerja akan mengancam para pekerja nasional yang terbatas secara keterampilan karena pendidikannya yang rendah. (kontan.co.id, 19-5-2023).

Fenomena pengangguran yang makin berjibun di Indonesia memang memusingkan semua orang, baik itu di desa maupun di kota-kota besar. Jutaan manusia harus siap melangsungkan kehidupan tanpa pekerjaan, di tengah impitan hidup yang kian berat. Kemiskinan terus melanda, sementara sumber pemasukan untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari tidak ada. Andaipun ada, hanya dari bekerja serabutan.

Mengapa kondisi ini terus terjadi? Agaknya sejak dahulu negara kita tidak pernah mampu mengurai masalah pengangguran, sebaliknya dari waktu ke waktu persoalannya makin kompleks. Padahal, Indonesia dengan potensi SDA yang melimpah, pembangunan industri skala besar, mestinya relevan dengan terciptanya lapangan pekerjaan yang banyak, dan serapan tenaga kerjanya juga besar. Sayangnya, ada saja alasan pihak tertentu sehingga potensi tenaga kerja lokal kurang peminatnya. Mulai dari mutu pendidikan yang bermasalah, keterampilan SDM yang jauh dari kriteria, hingga kemajuan teknologi. Pihak pemerintah, termasuk pemilik proyek lebih tertarik mempekerjakan tenaga kerja impor yang konon lebih terampil dan ahli.

Harus dipahami bahwa persoalan ini tidak berdiri sendiri, melainkan antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan membentuk rantai panjang masalah pengangguran. Berangkat dari sistem pendidikan dalam negeri yang problematis, programnya yang menggaungkan penguasaan keahlian tertentu, dapat berkolaborasi dengan industri, membentuk skill dan profesionalitas yang dibutuhkan pasar kerja, hingga menjanjikan jaminan siap pakai di dunia kerja, faktanya gagal total menjawab persoalan yang satu ini. Bahkan, penyumbang pengangguran terbanyak di Tanah Air adalah mereka yang berpendidikan. Tercatat, 9,60 persen dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia berasal dari lulusan SMK, 7,69 persen dari lulusan SMA, termasuk lulusan diploma dan sarjana turut menyumbang angka yang cukup besar.

Tidak jarang pula kita menemukan fresh graduate yang berharap langsung bekerja dan mengasilkan uang, harus pupus karena keadaan. Sekalipun bisa bekerja, bukan sebagai tenaga ahli, melainkan budak industri, atau pelayan-pelayan perusahaan multinasional. Karena industri sangat mengincar tenaga para pemuda pribumi yang mau dibayar murah. Bayangkan ketika berbicara upah yang diterima, ada kesenjangan lebar antara pekerja lokal dengan pekerja asing. Meski konon tergantung kontribusi dalam perusahaan, realitanya tidak selalu demikian. Mengutip dari tempo.co (21-1-23), pihak KSPI menyatakan sudah sejak 5 tahun silam menemukan upah TKA lebih tinggi dari tenaga kerja Indonesia, sekalipun untuk posisi yang sama yaitu hard worker atau pekerja kasar.

Situasi makin kompleks ketika negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas persoalan ini seolah pasrah dengan situasi. Tidak ada upaya maksimal dari negara untuk menyelesaian masalah ketenagakerjaan, seperti menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dan memaksimalkan penempatan pekerja lokal di dalamnya yang tentu saja dengan dukungan sistem pendidikan yang bermutu. Strategi kurikulum yang ditetapkan pemerintah hanya demi menciptakan lulusan target industri, bukan dalam rangka membekali lulusannya dengan ilmu-ilmu terapan yang dibutuhkan masyarakat, sekaligus tenaga ahli yang dapat memberikan kontribusi terbaiknya untuk mengelola potensi negara. Alhasil, rakyat tidak dapat keluar dari masalah yang membelit ini.

Beginilah gambaran kehidupan dalam sistem kehidupan kapitalisme-sekuler, dimana kinerja negara sangat jauh dari kata ideal. Negara kehilangan perannya untuk mengurus urusan rakyat, justru membiarkan rakyatnya luntang-lantung berkompetisi sendiri dan mandiri untuk mempertahankan kehidupan. Pada waktu yang bersamaan mengizinkan para pemodal turut serta berkompetisi untuk memperkaya diri sendiri, dengan memperbudak rakyat pribumi.

Mengharap perbaikan nasib dalam sistem cacat ini, rasanya angan belaka. Meski terus berbenah dalam berbagai sektor, ujungnya tetap menyesuaikan dengan kepentingan pihak ketiga. Buktinya di tengah banyaknya proyek industri strategis, lapangan pekerjaan yang “sebenarnya” ada, tetapi hanya terbuka lebar untuk pekerja asing, sementara untuk pekerja lokal tetaplah langka. Jelas ini menipu dan bertentangan dengan realita.

Kebijakan pendidikan, ekonomi atau apa pun namanya, mustahil menurunkan angka pengangguran. Ketika negara tidak peka dalam urusan ini, seperti enggan mengevaluasi kebijakan, tidak berani bertindak tanpa intervensi pihak pemodal, bahkan tidak menghendaki perubahan, selama itu pula persolan yang membelit ini tidak akan menemukan ujungnya. Rakyat Indonesia tetap dalam kesulitan hidup, dan makin jauh dari kesejahteraan.

Masalah pengangguran, kemiskinan dan semacamnya memerlukan solusi sesegera mungkin. Akan tetapi tentu saja bukan dengan versi kapitalisme sekuler yang merupakan biangnya, yang sudah terbukti gagal menyelesaikan masalah apa pun. Melainkan Islam yang menawarkan solusi terbaik, langsung dari pencipta manusia, Allah Swt.

Dalam Islam, pemimpin negara memegang tanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya. Dalam hal ini negaralah yang harus mengupayakan solusi sebaik mungkin, termasuk dalam menyiapkan lapangan pekerjaan, merekrut tenaga kerja, bahkan menyiapkan tenaga ahli. Ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka mewajibkan pula negara yang akan menfasilitasi sarana pendukungnya. Dengan ini tidak ada lagi rakyat, utamanya laki-laki yang tidak bekerja.

Terlebih persoalan upah, Islam menentukannya dengan standar keadilan di dalamnya. Artinya, antara manfaat jasa dengan upah yang diberikan akan sepadan, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pengupahan wajib dilakukan oleh pemilik usaha tepat pada waktu yang disepakati. Dengan begitu, tidak ada salah satu pihak yang merasa terdzalimi.

Adanya perkembangan teknologi bukan berarti menjadi pembenaran atas tingginya angka pengangguran. Islam tidak pernah antiteknologi, bahkan dengannya akan memudahkan segala urusan rakyat. Negaralah yang akan mendorong rakyatnya untuk memanfaatkan teknologi sesuai penempatannya, termasuk mempermudah pelayanan kepada manusia yang lain tanpa ada pihak yang dirugikan.

Termasuk dunia pendidikan, disebabkan Islam memahami bahwa keahlian tertentu tidak terlepas dari pendidikan yang didapatkan, maka negara juga bertanggungjawab membentuk sistem pendidikan yang berkualitas dan semua orang mudah mengaksesnya. Jika mau jujur, dengan mengurai persoalan ketenagakerjaan seperti di atas akan mampu menghadirkan solusi yang benar. Negara adalah juru kunci yang akan menentukan apakah masalah semacam ini bisa selesai atau tidak.

Sesungguhnya Islam adalah satu-satunya problem solver bagi kehidupan manusia. Dengan menerapkan aturan syariat di bawah naungan sistem Islam mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil untuk mencapai kesejahteraan. Inilah aturan Islam, yang mendatangkan kebaikan untuk manusia, dan tentunya diridhoi Allah Swt. Dengan ridho-Nya, dapat membawa keberkahan hidup. Wallahu a’lam bi showwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 71

Comment here