Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pola belanja rutin masyarakat Indonesia terhadap air minum dalam kemasan (AMDK), disebut sebagai salah satu penyebab turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di negara ini. Mengutip pernyataan ekonom senior Bambang Brodjonegoro di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pada tanggal 2 September 2024, bahwa kebiasaan tersebut secara tidak sadar telah menggerus pendapatan secara signifikan (cnbcindonesia.com, 02/09/2024).
Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap AMDK tersebut mayoritas dalam bentuk galon. Jumlah galon yang dikonsumsi masyarakat Indonesia mencapai jumlah yang fantastis yaitu 1 miliar galon dalam setahun, sebagaimana diungkapkan oleh Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin (suarakalbar.co.id, 31-07-2023). Hal ini menunjukkan bahwa belanja rutin AMDK tersebut tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan air minum, namun juga untuk memenuhi berbagai keperluan sehari-hari.
Krisis Air di Tengah Kelimpahannya
Indonesia merupakan salah satu negara kaum muslimin yang dikarunia Allah ta’alaa dengan sumber daya air yang melimpah. Tak tanggung-tanggung, sekitar enam persen potensi air dunia Allah anugerahkan berada di negara Indonesia. Namun sungguh ironi ketika dalam kelimpahan kekayaan air tersebut, rakyat justru terpaksa menggunakan AMDK khususnya air galon karena krisis air bersih.
Ada tiga hal utama penyebab krisis air bersih. Yang pertama karena air yang tersedia tercemari mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatanm salah satunya oleh bakteri Escherichia coli (E-coli). Masalah kedua, rakyat miskin sulit mendapatkan akses terhadap air bersih akibat ulah mafia air. Masalah ketiga, krisis air bersih akibat tidak adanya daerah tangkapan air di perkotaan karena buruknya drainase (pslh.ugm.ac.id, 24-03-2022).
Krisis air tersebut masih ditambah dengan kapitalisasi penyediaan air yang dikukuhkan lewat World Water Forum (WWF) ke 10 di Bali bulan Mei 2024. Dalam forum tersebut, penguasa negeri ini lewat Menteri Keuangannya menyatakan bahwa penyediaan air bersih memerlukan investasi yang besar yang membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta, sehingga air tidak mungkin disediakan secara gratis bagi rakyatnya (muslimahnews.net.id, 31-05-2024).
Pemerintah pun memberikan kesempatan kepada perorangan untuk menguasai sumber-sumber air bersih untuk diproses menjadi AMDK. Bisnis AMDK ini memang menjanjikan cuan yang menggiurkan. Proses perijinannya pun mudah (kabarmadura.id/, 05-09-2024). Dari bisnis AMDK ini, rakyat semakin terbebani dengan biaya pembelian AMDK sementara penguasa mendulang cuan dari pajak yang dikenakan terhadap pelaku bisnis AMDK.
Sistem kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negara ini memang meniscayakan minimnya peran pemerintah dalam meriayah rakyat dan justru membuka selebarnya peran swasta dalam berbagai urusan kenegaraan. Dengan adanya kemitraan tersebut, penguasa yang semestinya bertanggung jawab untuk menyediakan air bersih, justru berbisnis dengan rakyatnya. Rakyat harus mengeluarkan uang yang sangat banyak sehingga menjadi semakin miskin hanya demi mendapatkan haknya terhadap air bersih.
Sesungguhnya Allah ta’alaa telah memperingatkan semua kesempitan hidup akibat penerapan sistem kapitalisme batil ini lewat firman Nya dalam QS Ar Rum ayat 41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Oleh karenanya semua kerusakan dan kesempitan hidup hari ini harus segera kita akhiri dengan beralih kepada sistem kehidupan yang sahih dan amanah.
Pengelolaan Air dalam Daulah Khilafah Islamiyyah
Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang sahih dan amanah. Syariat Islam telah menegaskan bahwa sumber daya air termasuk salah satu kepemilikan umum yang haram untuk dikapitalisasi dan diprivatisasi seperti halnya sumber daya alam (SDA) lainnya seperti barang tambang, migas, dan hutan/padang gembalaan.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” Juga sabdanya dalam hadis dengan periwayat yang sama, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” Dalam kedua hadis tersebut Rasul menegaskan bahwa negara wajib mengelola semua kepemilikan umum tersebut dan memberikan manfaatnya kepada rakyat.
Dalam pengaturan negara berdasarkan syariat Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, pihak swasta diperbolehkan untuk ikut memanfaatkan air sebagai bagian dari umat. Namun seseorang atau pihak swasta dilarang mengeksploitasi guna kepentingan bisnis skala luas. Karena eksploitasi besar-besaran berpotensi pada penggunaan teknologi canggih yang mampu menyedot air tanah jauh ke kedalaman bumi. Hal ini menyebabkan rakyat yang tinggal di sekitar sumber air menjadi kesulitan mendapatkan air karena kedalaman sumur mereka tidak sebanding dengan yang dimiliki perusahaan air.
Khilafah akan mengembangkan inovasi pengelolaan air agar layak dan aman dikonsumsi dan juga membuat bendungan penampungan air maupun danau dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kegemilangan pengelolaan air tercatat dalam tinta emas sejarah pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid. Pada tahun 789 M Khalifah Harun ar Rasyid membangun waduk bawah tanah yang berfungsi sebagai penampung air hujan dan jalur transportasi perdagangan di kota Ramla. Sampai saat ini waduk tersebut menjadi situs sejarah yang dikagumi dunia dan masih memberi manfaat bagi penduduk kota. Contoh keberhasilan pengelolaan air juga ditunjukkan oleh Khalifah Fannakhusru bin Hasan (324—372 H/936—983 M). Khalifah yang lebih populer dengan nama Adud ad-Daulah ini mempunyai sebutan “Khalifah pembangun bendungan” karena pada masanya banyak bendungan dibangun untuk mencegah krisis air.
Sungai-sungai besar di wilayah kekhilafahan pada masa lalu juga mendapat perhatian besar. Pada masa Sultan An-Nuwayri dan Sultan Al-Makrizi serta penguasa lain dari Dinasti Ayyubid dan Mamluk, Sungai Nil di Mesir dikelola sedemikian rupa seperti pembersihan sungai, pengerukan kanal, dan perbaikan dam. Dalam melakukan periayahan ini, Daulah Khilafah membayar beberapa tenaga pengawas maupun konsultan dari dana yang ada di Baitul Maal. Sumber pemasukannya yang melimpah dari jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA dan sebagainya mencukupi pembiayaannya.
Para khalifah ini meriayah rakyat dengan amanah berdasarkan keimanan, karena mereka sangat memahami bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang kelak pada hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.”
Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam, wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 6
Comment here