Oleh: Meilina Tri Jayanti, S.P.
wacana-edukasi.com, OPINI-– Baru beberapa hari ini, umat muslim di seluruh dunia kembali mendapati bulan yang senantiasa dirindukan yakni bulan Ramadan. Bulan istimewa dimana di dalamnya Allah melimpahkan rahmat-Nya. Bulan yang diberkahi dimana umat muslim saling berlomba untuk melakukan kebaikan serta mengejar pelipatgandaan pahala. Mereka terkondisikan untuk taat. Malam dan pagi harinya meraka ramaikan dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Namun tampaknya niat ikhlas ibadah di bulan Ramadan mulai tergerus. Anomali aktivitas di bulan Ramadan mulai tampak. Pergeseran makna ini tak lepas dari pengaruh budaya hedon sistem kapitalis yang bercokol saat ini. Meskipun sebagian dari mereka tidak meninggalkan ibadah-ibadah yang menjadi ciri khas bulan Ramadan seperti shalat tarawih berjama’ah serta tadarus Al-Qur’an, namun sebagian yang lain justru disibukan dengan kegiatan berbelanja untuk menyiapkan hidangan istimewa saat berbuka puasa, serta perayaan hari raya idul fitri.
Memang tidak ada yang salah dari tradisi tersebut apabila dana penunjangnya tersedia dan tidak membebani ekonomi keluarga. Ironisnya tak sedikit dari mereka yang memaksakan kemampuan sampai harus berhutang. Diberitakan pada laman tirto,id (5/3/2024), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pertumbuhan utang pada perusahaan P2P lending atau pinjaman online (pinjol) akan meningkat pada saat Ramadan sampai lebaran 2024. Ini karena meningkatnya kebutuhan masyarakat pada saat ramadan dan lebaran, seperti pembelian barang-barang untuk puasa dan lebaran, serta pembelian tiket transportasi untuk mudik lebaran.
Tak ketinggalan para ibu yang berbisnis kue-kue lebaran pun kebanjiran pesanan. Agar semua pesanan terpenuhi, suntikan dana sangat dibutuhkankan. Tak ayal pinjol menjadi alternatif pilihan karena proses permohonan dana bisa lebih sederhana dan pencairan dana pun lebih cepat, bila dibandingkan dengan lembaga perbankan.
Penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan jantung perekonomiannya dari aktivitas ribawi, membuka jalan yang sangat lebar dalam kemudahan mengakses sarana ekonomi ribawi. Untuk memenuhi dan melengkapi kebutuhan hidup, masyarakat didorong melakukan pinjaman berbaris riba. Kebiasaan tersebut yang akhirnya melahirkan slogan “bila tidak berutang (ala kapitalis) ya ga punya apa-apa.” Berawal dari sini, budaya ribawi mendarah daging, mulai dari masyarakat perkotaan hingga pelosok desa. Padahal tak jarang didapati transaksi pinjol berujung maut. Ujung-ujungnya masyarakatlah yang menjadi korban.
*Meninjau Hukum Riba*
Sebagai seorang muslim tentunya apa yang kita yakini tentang keberadaan Allah tidak hanya sebatas kenyakinan tanpa bukti. Dunia adalah tempat dimana Allah menguji kebenaran keimanan manusia dengan segala perintah dan larangan-Nya. Bagi muslim sejati pastinya ketika Allah melarang suatu perbuatan maka ia akan bersegera meninggalkannya. Sesulit apapun kondisi yang dihadapi, sebagaimana halnya perintah untuk meninggalkan riba.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat zalim lagi terzalimi.” (TQS. Al-Baqarah: 278).
Khusus perkara riba, Allah memberi indikasi yang sangat keras. Orang yang dengan suka cita bertransaksi riba, berarti orang tersebut dianggap tengah mengumumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka sangat tidak layak bagi manusia yang senantiasa mengharap belas kasih dan rahmat Allah Swt. di yaumul hisab kelak, untuk terus melakukan aktivitas ribawi.
*Penguasa Pelindung Rakyat*
Rasulullah Saw., bersabda: “Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dia lah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.”
Konsep kepemimpinan yang tersurat dalam hadis tersebut sangat sederhana namun penuh makna. Seorang penggembala bertanggung jawab atas hewan-hewan yang digembalakannya. Dia akan mengarahkan hewan gembalaannya agar tetap berada di tempat yang aman, cukup makan dan minum, sehat, gemuk-gemuk serta terjaga dari hewan pemangsa. Rasa tanggung jawab ini muncul dari kesadaran bahwa dia harus bisa mempertanggungjawabkan kondisi hewan gembalaan tersebut kepada pemiliknya dalam kondisi baik dan tidak teraniaya.
Luhurnya konsep kepemimpinan dalam Islam yang menjadikan pemeliharaan urusan rakyat tidak hanya berdimensi dunia, namun sampai akhirat. Upaya pemerintah dalam mengurusi rakyat dilakukan dengan cara mengumpulkan pundi-pundi pendapatan negara yang dikelola dalam suatu lembaga yang disebut dengan baitul mal. Lembaga inilah yang menjadi jantung sistem ekonomi Islam, dimana setiap aliran dana dari berbagai sumber kepemilikan (individu, umum, dan negara) masuk kedalamnya dan dikeluarkan sepenuhnya bagi pemenuhan kebutuhan rakyat.
Penguasa akan menutup rapat-rapat bahkan menghapus celah aktivitas ekonomi yang bersifat ribawi. Karakter ekonomi Islam yang berasaskan tuntunan Ilahi, menjadikan negara mampu menunaikan kewajibannya dengan berdaulat. Jangankan kebutuhan primer seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, negara juga akan mendorong warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Bagi mereka yang memiliki usaha namun mengalami kesulitan modal, negara akan mendukung usahanya dengan memberikan pinjaman tanpa riba, bahkan dengan akad hibah (pemberian cuma-cuma).
Sementara untuk kebutuhan mudik, pemerintah akan mengatur dan menyiapkan sarana prasarananya. Kelayakan jalan serta moda transportasi akan menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah akan berupaya agar para pemudik merasa nyaman selama perjalanan dan selamat sampai mereka berkumpul bersama sanak saudara.
Satu hal yang juga tak luput dari perhatian penguasa adalah pembinaan masyarakat dengan ilmu dan pemahaman Islam. Mereka dipahamkan dengan konsep zuhud. Mengarahkan masyarakat untuk mengejar dunia seperlunya, dan mengejar akhirat seutuhnya. Sehingga senantiasa tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan dunia.
Penjagaan penguasa serta kepercayaan masyarakat pada penguasa yang bermuara pada ketaatan untuk meraih rida Allah inilah, yang menjadikan setiap muslim mampu menggapai kemuliaan bulan Ramadan. Tanpa harus teralihkan pusat perhatiannya akibat hedonisme, apalagi sampai terjerumus pada transaksi ribawi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Views: 10
Comment here