Oleh: Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– “Wahai kaum muslim, demi Allah, sesungguhnya hal yang kalian takuti ini pada hakikatnya inilah yang kalian cari yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh karena jumlah kita banyak atau kekuatan. Tapi, kita memerangi mereka dengan agama ini yang menjadikan kita dimuliakan oleh Allah. Berangkatlah, kalian akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid.”
Itulah pesan menggugah sang orator sekaligus panglima perang Abdullah bin Rawahah di tengah kebingungan yang melanda pasukan muslim di tengah berkecamuknya perang Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 Hijriyah. Kala itu, pasukan kaum muslim dilanda kebingungan saat melihat jumlah pasukan musuh yang begitu besar yakni 200.000 pasukan gabungan, yang terdiri dari 100.000 pasukan Romawi dan 100.000 pasukan kabilah-kabilah Arab dari wilayah Syam. Sedangkan pasukan kaum muslim saat itu berjumlah 3.000 pasukan.
Sungguh jumlah yang tidak seimbang, sangat jauh perbandingannya sebanyak 80 kali lipat dari jumlah kaum muslim, apalagi ini adalah perang besar pertama tanpa kehadiran Rasulullah di tengah-tengah mereka dan sangat jauh dari Madinah yakni di wilayah Mu’tah yang menjadi wilayah kekuasaan Romawi. Di tengah kebingungan yang melanda, sebagian dari para sahabat berpendapat untuk mengirim surat kepada Rasulullah untuk memberitahukan jumlah kekuatan pasukan musuh, agar Rasulullah mengirim pasukan tambahan atau memerintahkan mereka untuk pulang.
Di saat keriuhan dan kebingungan yang melanda itulah Abdullah bin Rawahah berusaha memotivasi para sahabat dan mengingatkan mereka tentang tujuan mereka datang ke tempat tersebut, yang tidak lain adalah untuk berjihad di jalan Allah tanpa mempertimbangkan jumlah, dan kekuatan pasukan musuh. Seberapa besar pun pasukan musuh, itu bukanlah faktor utama kemenangan atau kekalahan bagi kaum muslim, sebab yang memenangkan kaum muslim di setiap kancah peperangan yang telah mereka lalui adalah turunnya pertolongan dari Allah SWT. Semangat pasukan kaum muslim pun semakin berkobar karena mendengar orasi sang panglima perang Abdullah bin Rawahah.
Itulah gambaran jihad dalam Islam, sesungguhnya kaum muslim tidak pernah mengenal rasa takut akan kematian. Sebab jihad dalam rangka menyebarkan dan menegakkan agama Allah, memberikan dua kebaikan bagi kaum muslim, yakni hidup mulia atau mati syahid. Sejarah telah membuktikan bagaimana kaum muslim mempertahankan kehormatan, kemuliaan, dan kewibawaan mereka selama 1.300 tahun lamanya dalam naungan sistem Islam, hal itu salah satu sebab jihad yang selalu berusaha dipertahankan oleh kaum muslim hingga akhir keruntuhan Islam di tahun 1924.
Konsep dakwah dan jihad yang selama berabad-abad dipegang teguh oleh kaum muslim, dan menjadi senjata utama tersebarnya Islam hampir ke seluruh dunia akhirnya runtuh, rahasia konsep ini diketahui oleh musuh Islam, yakni raja Louis IX dari Perancis, setelah ditawan oleh kaum muslim akibat kekalahannya pada perang salib VII. Di mana ia mempelajari apa yang menjadi kekuatan pasukan muslim. Dalam memoarnya ia menuliskan :
“Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya menjadi jelas bagi kita, kehancuran kaum muslim dengan jalan konvensional (perang fisik) adalah mustahil. Karena mereka memiliki manhaj yang jelas dan tegas di atas konsep jihad fii Sabilillah. Dengan manhaj ini, mereka tidak pernah mengalami kekalahan militer, ia melanjutkan : “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer), yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar manhaj dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai takwil (memalingkan lafaz dan makna zahirnya kepada makna lain) dan tasykik (peragu-raguan, dimana umat muslim dibuat ragu dengan agama dan syari’atnya).”
Memoar Raja Louis IX pun disambut hangat oleh generasi-generasi para pemimpin barat setelahnya, dan dengan ambisi menggebu mereka menggunakan berbagai cara untuk merealisasikan strategi mereka, salah satu tokoh yang juga sangat terkenal akan strateginya dalam menghancurkan umat muslim adalah perdana menteri Inggris W.E. Gladstone (1809 – 1898), seruannya yang terkenal adalah :
“Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dalam dada pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka. Minuman keras dan musik lebih menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam. Oleh karena itu, tanamkan ke dalam hati mereka rasa cinta terhadap materi dan seks.”
Inilah senjata mematikan yang dilancarkan oleh kaum kuffar, perlahan tapi pasti senjata yang mereka susupkan secara perlahan-lahan berhasil menjauhkan umat muslim dari akidah mereka, sampai saat ini senjata mematikan ini masih saja menggempur akidah umat muslim, bahkan semakin masif menyerang. Mereka menyebarkan gaya hidup dan cara pandangnya yang sarat akan cinta materi dan seks. Melalui berbagai media baik televisi maupun digital, hingga berhasil merusak akal hingga akidah umat muslim. terbukti saat ini bagaimana kualitas keimanan umat muslim yang semakin jauh dari agamanya, bahkan banyak dari umat muslim lebih memilih gaya hidup barat.
Berita-berita tentang pergaulan dan seks bebas kerap mewarnai berita hari ini, umat muslim menjadi tidak peduli dengan agama dan jati dirinya karena sibuk dengan kepuasan hasrat syahwinya, tanpa umat muslim sadari sedikit demi sedikit barat berhasil mengubur sejarah dan ajaran Islam. Salah satu ajaran Islam yang begitu krusial yakni jihad, barat telah mendistorsi kebenaran tentang jihad setelah keruntuhan institusi Daulah Khilafah di Turki. Yang sampai ke tengah-tengah umat tentang jihad sesungguhnya adalah penjelasan yang dikemas oleh barat agar umat muslim takut dan membenci ajaran agamanya.
Melalui peran media massa dan digital jihad kini diwarnai dan dibajak dengan nuansa eksklusif dan radikal. Atas nama jihad, seseorang rela mempertaruhkan nyawanya demi mendapatkan kebahagiaan sesaat dan jangka pendek. Dengan pemahaman yang sangat sederhana dan dangkal, jihad sering diartikan sebagai tindakan membunuh orang-orang non muslim atas nama agama agar bisa disebut sebagai mati syahid. Jihad juga menjadi propaganda orang-orang kafir barat sebagai tindakan teroris yang merenggut ketenangan dan ketentraman masyarakat melalui aktivitas bom bunuh diri di tempat-tempat keramaian.
Padahal sejatinya dalam Islam makna jihad yang sesungguhnya begitu mulia. Jihad secara ma’na lughawi (makna bahasa) didefinisikan sebagai upaya mengerahkan atau mencurahkan seluruh kemampuan dan kesanggupan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Ibnul Atsir, An Nihayah fi Gharib Al – Hadits, 1/319, Ahmad bin Muhammad bin Ali Al Fayumi, Al Misbah Al Munir fi Gharib Al Syarah Al Kabir, 1/112).
Sedangkan menurut ma’na syar’i (makna syar’i) jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam berperang di jalan Allah, baik secara langsung berperang maupun dengan memberikan bantuan untuk berperang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, menambah jumlah pasukan perang, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhsiyyah Al Islamiyyah, 2/145, Ibn ‘Abidin, Raddul Muhtar ‘Ala Al Durr Al Mukhtar (Hashiyah Ibnu ‘Abidin), 3/336.
Dari definisi jihad di atas jelas bahwa makna jihad adalah berperang (Al Qital). Sedangkan yang dimaksud dengan berperang secara tidak langsung seperti memberikan bantuan berupa harta adalah menginfakkan harta untuk keperluan peperangan seperti membeli peralatan perang, obat-obatan, makanan dan sebagainya untuk para Mujahidin di medan perang. Jadi jika ada seorang muslim yang menginfakkan sebagian hartanya untuk membentuk lembaga amal, menyantuni fakir miskin, anak yatim, dan semisalnya tidak dapat disebut sebagai berjihad dengan harta. Sebab penginfakkan harta tersebut tidak berkaitan dengan perang.
Demikian berjihad dengan pendapat, adalah memberikan pendapat yang terkait dengan peperangan yang akan berlangsung ataupun sedang berlangsung. Seperti lokasi strategis untuk peperangan, strategi yang dilancarkan pasukan saat di medan perang, berapa jumlah pasukan yang akan diberangkatkan ke medan jihad, jenis senjata apa saja yang akan digunakan selama berperang, dan semisalnya. Jadi, jika ada seorang muslim yang memberikan pendapatnya mengenai suatu peperangan di acara TV ataupun seminar-seminar tidak dapat disebut jihad dengan pendapat, karena tidak berhubungan langsung dengan peperangan yang sedang terjadi di waktu dan tempat tertentu.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memahami jihad dalam makna syar’i adalah bahwa sasaran jihad adalah orang-orang kafir. Jadi, orang-orang kafir yang tidak terikat perjanjian atau orang-orang kafir yang secara terang-terangan memusuhi Islam dan kaum muslim (kafir harbi fi’lan) menjadi sasaran utama jihad. Seperti Yahudi dan Nasrani (At Taubah [9] : 29). Sehingga tidak dapat dikatakan sebagai jihad jika ada muslim yang memerangi sesama muslim, seperti seorang Khalifah yang memerangi pemberontak yang melawan negara dengan senjata (bughat). Maka perang ini tidak dapat disebut sebagai jihad, definisi jihad tidak dapat diterapkan pada aktivitas memerangi kaum bughat. (Muhammad Khair Haikal, Al Jihad wa Al Qital fi As Siyasah Al Syar’iyyah, 1/66).
Inilah penjelasan singkat tentang hakikat jihad yang sebenarnya, sehingga sudah seharusnya kaum muslim ketika memahami jihad harus sesuai sudut pandang syar’i, tidak hanya sebatas pada makna bahasa saja. Agar makna jihad yang sesungguhnya tidak kabur dan disalahpahami oleh kaum muslim.
Views: 4
Comment here