Opini

Menggalang Koalisi demi Mendapatkan Kursi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sartinah

(Pemerhati Masalah Publik)

wacana-edukasi.com — Pandemi Covid-19 tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Berbagai kebijakan pemerintah untuk memutus penyebaran virus pun belum efektif. Di tengah karut-marutnya penyelesaian pandemi, ternyata ada hal yang lebih menarik perhatian para pejabat negeri, yakni kontestasi politik demokrasi.

Penggalangan dukungan untuk kontestasi politik 2024, sayup-sayup menggema di seantero negeri ini. Meski hajatan lima tahunan masih tiga tahun lagi, tetapi partai politik dan wakil rakyat telah sibuk menggalang koalisi. Pada akhirnya, penanganan pandemi pun seolah kalah pamor oleh kontestasi politik demi mengamankan ‘kursi’. Apalagi setelah bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi koalisi pendukung pemerintah. Hal ini pun memantik komentar dari berbagai pihak, termasuk para pakar.

Pengamat politisi dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menduga, masuknya PAN ke dalam parpol koalisi pendukung pemerintah disebabkan Presiden Jokowi ingin menambah kekuatan politik pemerintah. Hal ini, kata Ujang, bukan tanpa alasan. Pasalnya, suara-suara masyarakat yang menginginkan Jokowi turun dari jabatannya sebagai presiden mulai terdengar (kompas.com, 16/8/2021)

Demokrasi Melahirkan Politik Transaksional

Masuknya PAN ke dalam partai koalisi pendukung pemerintah memunculkan banyak spekulasi. Banyak pengamat menilai hal ini dilakukan untuk mengamankan posisi pemerintah dan memperkuat dukungan politik pemerintah. Bahkan, ada suara-suara yang menganggap semakin tambunnya koalisi, demi mengegolkan amandemen UUD 1945.

Proses amandemen UUD 1945 sendiri telah empat kali dilakukan sejak republik ini berdiri. Yakni, pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Sayangnya, UUD 1945 yang memang tidak dirancang menjadi konstitusi tetap, pada akhirnya memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi. Hal ini tentu saja berpotensi diterjemahkan sesuai perkembangan politik terbaru dan sejalan dengan keinginan pihak penguasa.

Setelah lama meredup, wacana amandemen UUD 1945 pun kembali mencuat di permukaan. Sejumlah pakar bahkan menilai ada aroma tak sedap menyeruak di balik wacana amandemen tersebut. Yakni, demi memuluskan upaya penambahan jabatan presiden menjadi tiga periode. Lantas, siapakah yang paling diuntungkan jika amandemen benar-benar dilaksanakan?

Sejatinya, masuknya partai oposisi ke dalam koalisi pendukung pemerintah menjadi semacam barter politik antara kedua belah pihak. Rezim penguasa akan semakin banyak mendapat dukungan politik, sementara partai pendukungnya akan di-backup dalam banyak hal oleh pemerintah. Tentu saja partai politik berpotensi mendapat jatah kursi di parlemen sebagai balas jasa atas dukungannya.

Demikianlah gambaran politik demokrasi. Sistem ini meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Dengan filosofis ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, sistem demokrasi memberikan hak prerogatif kepada rakyat (dalam hal ini wakil rakyat) untuk membuat dan menetapkan undang-undang. Dengan asas sekularisnya, aturan agama pun ditiadakan dalam mengatur urusan masyarakat.

Karena itu, lahirlah berbagai kebijakan yang penuh kepentingan. Sebab, politik demokrasi adalah politik transaksional yang bersifat pragmatis. Segala sesuatunya dilaksanakan untuk ‘memberi dan menerima’. Tak ada makan siang gratis, sebagaimana tidak ada pemberian tanpa imbalan. Tak heran, jika politik demokrasi hanya terfokus pada pembahasan seputar koalisi, oposisi, pemilu, kader partai, upaya meraih jabatan, ataupun menjaga kekuasaan.

Sistem yang catat sejak lahir tersebut pada akhirnya hanya melahirkan para politisi dan partai politik pengabdi kursi. Bukan menjadi pelayan yang memprioritaskan kemaslahatan umat. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya demi memuluskan jalan partai politik untuk menduduki kekuasaan. Jika sudah seperti ini, pejabat dan partai politiklah yang diuntungkan, sementara rakyat tetap ‘buntung’.

Peran Partai politik dalam Islam

Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Syariatnya menjadi tuntunan bagi setiap manusia, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Islam pun mengatur seluruh aspek, termasuk mengatur fungsi dan peran partai politik. Dalam Islam, keberadaan partai politik adalah wajib. Hal ini tertuang dalam QS. Ali Imran [3]: 104, yang artinya: “Hendaklah ada di antara kalian, umat yang menyeru kepada Islam dan memerintahkan pada kemakrufan serta mencegah dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Secara umum, tujuan berdirinya partai politik dalam negara khilafah adalah untuk menyerukan Islam dan membina pemikiran umat. Kemudian menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari berbagai tindakan kemungkaran, baik yang dilakukan oleh individu maupun negara. Dalam konteks sistem pemerintahan, peran dan fungsi parpol adalah untuk check dan balance. Juga untuk melakukan muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa).

Sebab, meski seorang khalifah, penguasa adalah manusia yang berpotensi melakukan kesalahan. Karena itu, untuk menjaga penguasa agar tetap berada dalam koridor syariat, dibutuhkan koreksi dari partai politik. Peran dan fungsi partai politik inilah yang akan menjaga keberlangsungan penerapan Islam secara kafah oleh negara.

Karena itu, partai politik haruslah berlandaskan akidah Islam. Akidah ini pula yang akan digunakan untuk membangun ikatan dengan umat. Karena landasan partai adalah akidah Islam, maka negara akan melarang berdirinya partai apa pun yang tidak menjadikan akidah sebagai landasannya. Pada pokoknya, partai politik hanya fokus pada aktivitas dakwah, bukan yang lain.

Demikianlah gambaran parpol dalam Islam. Partai yang hanya berjuang demi tegaknya Islam dan menjaga keberlangsungan Islam, bukan demi mengamankan kekuasaan. Parpol seperti ini tidak akan ditemui dalam sistem demokrasi yang hanya berjuang demi ‘kursi’.
Wallahu ‘alam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here