Oleh Ummu Hani (Pengiat Literasi Aceh)
wacana-edukasi.com, OPINI– Fenomena kekerasan seksual pada anak di Indonesia bukan hal yang asing. Hampir setiap harinya terjadi kekerasan seksual pada anak, hanya saja tidak terdata jumlahnya. Seperti fenomena gunung es yang tampak kecil dipermukaan padahal sejatinya jauh lebih besar saat dilihat secara keseluruhan. Begitulah fakta kekerasan seksual pada anak di negeri yang jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari pada usia tidak produktif.
Indonesia memasuki era bonus demografi yang tentunya ini merupakan aset penting yang harus dikelola dengan baik. Namun sayangnya, bonus ini justru dihantui dengan kekerasan seksual yang terus meningkat tiap harinya. Baru-baru ini saja, kita dikejutkan dengan pemberitaan yang menyayat hati nurani. Bagaimana mungkin seorang anak berusia 15 tahun “diperkosa” oleh 11 orang dewasa dan yang paling mengejutkan adalah pelaku bukanlah orang biasa melainkan oknum yang memiliki jabatan dalam pemerintahan, salah satunya Perwira Polri berpangkat Inspektur Dua (Ipda), (kompas.com/04/06/2023).
Meskipun Kapolda Sulteng Irgen Agus Nugroho mengatakan bahwa kasus ini bukanlah pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur, namun tetap saja perbuatan keji yang dilakukan tersebut menjadi sinyal kepada kita bahwa kondisi negeri ini dalam darurat seks bebas sudah mencapai tingkat kronis. Bagaimana tidak, anak di bawah umur saja sudah mengerti adegan porno bahkan tak tanggung-tanggung ikut serta dalam hubungan zina tersebut. diperparah dengan sikap buas orang dewasa dalam melampiaskan nafsunya tanpa melihat halal dan haram lagi. Standarnya adalah kepuasannya terpenuhi dan imajinasinya terealisasi meskipun dengan dengan cara merendahkan harga dirinya sekalipun.
Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada tahun 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu 4.162 kasus, (cnnindonesia.com/28/01/2023). Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2023 ? tentu jumlah persentase kasusnya lebih besar lagi. Bahkan korban kekerasan seksual terhadap anak mulai dari usia bulanan hingga belasan tahun. Bagaimana mungkin anak baru usia beberapa bulan di lecehkan oleh ayah kandungnya. Belum lagi pelecehan dilakukan oleh sesama anak pra baligh, seperti kasus seorang siswi TK diperkosa sebanyak 5 kali oleh anak SD berusia 8 tahun di Mojokerto. Sungguh memiriskan hati.
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nazar menyebutkan bahwa modus dan faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak yang paling dominan adalah dampak dari kecanduan menonton pornografi. Tampaknya kecanduan menonton pornografi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, melainkan sudah menjalar ke ranah anak-anak dan remaja. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan remaja (SNPHAR) menyatakan bahwa 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia sudah menyaksikan video porno melalui media sosial. Bahkan Robert Parlindungan S. Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan 34,5 persen anak laki-laki pernah terlibat mempraktikkan langsung kegiatan seksual dan 25 persen anak perempuan melakukan pornografi. Robert juga menyebutkan bahwa sekitar 38,2 persen dan 39 persen anak pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media sosial. Bagaimana dikalangan para remaja? Ternyata di tahun 2010 saja Komisi perlindungan Anak mengungkapkan 97 persen remaja pernah mengakses pornografi, 62,7 persen anak remaja pernah melakukan pornografi , 21 persen remaja pernah aborsi. Hal ini berdasarkan survei oleh KPA terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia. (kompas.com/09/05/2010). Jika di tahun 2010 saja kondisi remaja sudah sangat memprihatinkan, bagaimana dengan kondisi remaja di tahun 2023? Fakta memperlihatkan kepada kita bahwa arus seks bebas telah menggerogoti pikiran generasi kita.
Maraknya kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini tidak lain karena terjaminnya perilaku seks bebas di mata negara, sehingga tidak ada batasan yang absolut di masyarakat. Perilaku seks bebas ini tentunya disokong oleh sebuah sistem yang diterapkan dalam negara tersebut, seperti Indonesia yang menganut sistem Kapitalisme-Demokrasi mengakibatkan kehidupan masyarakat diatur oleh seperangkat aturan yang berlandaskan pemisahan agama dari kehidupa. Dalam sistem ini tidak mempermasalahkan bila masyarakatnya mengkonsumsi situs porno, tidak memberi sanksi yang tegas pula bagi pelaku zina bahkan aktivitas zina difasilitasi oleh negara. Maka hal yang lumrah kita melihat masyarakat yang tercipta adalah masyarakat yang hedonis, seks bebas, individualis dan sebagainya
Tentu pula masyarakat yang liar dan jauh dari martabat ini tidak dijumpai dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Pasalnya sistem Islam dengan jelas dan tegas mengatur manusia sesuai fitrahnya, memuaskan akalnya dan menenteramkan jiwa yang mengadopsinya, sehingga sulit menemukan orang-orang yang “buas” dalam melampiaskan nafsunya. Selain itu sistem Islam juga menciptakan lingkungan masyarakat yang peduli satu sama lain, aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar benar-benar dijalankan oleh negara dan masyarakat. Ditambah dengan sistem pendidikan yang berbasis Islam dan sanksi yang tegas bagi pelaku maksiat membuat pelakunya jera dan berpikir puluhan kali jika ingin melakukan tindakan yang keji.
Sejatinya Islam hadir sebagai solusi setiap permasalahan baik skala individu, masyarakat bahkan negara. Hanya saja masih banyak yang belum sadar akan keunggulan sistem Islam dan berani keluar dari zona nyaman untuk mendobrak sistem yang jelas-jelas membawa kepada kehancuran peradaban dan martabat manusia, seperti sistem Kapitalisme dan Sosialisme.
Views: 16
Comment here